Lantai Penuh Masalah

27 4 0
                                    

Eva meraba-raba di udara hingga menemukan permukaan dinding. Ia berniat menelusuri lantai itu hingga bertemu dengan Arto. Gadis itu tahu bahwa sahabat robotnya tidak akan membiarkan dia sendirian.

Eva berjalan tertatih-tatih. Napas yang ia hembuskan terasa berat dan panas. Rasa pening serta kelelahan tidak pernah berhenti menyerang tubuhnya. Ditambahkan sekarang, dia juga perlu menahan luka dan lecet akibat terjatuh tadi.

Rasa kesal akan perilaku Jessy memenuhi pikiran gadis itu. Akan tetapi, tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melukai remaja itu. Eva mencoba berpikir positif untuk memaafkan kesalahannya.

Eva terus berjalan di lorong. Tanpa arah dan panduan serta gelap yang menemani, membuat dia benar-benar tersesat meskipun ini hanya lorong panjang yang lurus.

Mata gadis itu menjadi sayup-sayup dan perlahan menghilangkan kesadarannya. Eva melihat bahwa kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalan, sehingga dia memutuskan untuk duduk bersandar.

Eva meletakkan telapak tangan di dahinya. Sensasi hangat segera menyebar disana, menandakan demamnya kian parah.

Eva berkedip pelan dan mulai merasa bahwa penglihatannya menjadi buram. Sial, dia kembali ke alam bawah sadar.

Beberapa menit telah berlalu begitu cepat. Tentu, gadis itu tidak merasakan apapun selama jeda itu. Akan tetapi, sekarang dia mendapatkan kesadarannya lagi.

Terang adalah hal yang ia lihat kali pertama membuka mata. Lampu di lorong itu sudah menyala lagi. Meskipun mereka berkedip dan terkadang padam beberapa detik, setidaknya lorong itu terlihat jelas.

"Seseorang telah menyalakan daya cadangan." Gumam Eva sembari menggosok matanya.

Gadis itu merasakan sesuatu yang benar-benar dekat dengan wajahnya. Sesuatu yang seperti berhembus pelan diantara rambutnya. Sesuatu yang memiliki bau yang tidak sedap dan terasa menjijikan.

Kini, Eva mendapati White face di hadapan wajahnya. Gadis itu segera membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Kemudian, memejamkan kedua matanya kuat-kuat.

Ia sungguh tidak peduli akan air liur mahkluk itu yang menetes pada dirinya. Dia juga enggan memikirkan bahwa rambutnya teracak-acak oleh napas hembusan mahkluk itu.

"Aku tidak takut... Aku tidak..." Eva mengulangi kata-kata itu hingga dirinya siap.

Eva menarik napas panjang dan menghembuskan, "Aku tidak takut!" Kemudian Eva membuka matanya.

Di lorong itu sudah terdapat mahkluk-mahkluk serupa. Sekitar sepuluh White face bergerak kian kemari di sana. Mereka semua tengah mengendus bau dari rasa takut calon korbannya.

Mahkluk mutasi itu mengendus Eva. Akan tetapi, dia tidak bergeming sama sekali dan bergerak pergi. Mahkluk itu tidak mendapati apapun di tubuh gadis itu. Keberanian Eva telah berhasil mengusir rasa takutnya sendiri.

"Setidaknya aku aman... Selama aku menyanyikan lagu itu dihatiku."

Ia mulai beryanyi di dalam hati. Sebuah nada yang pelan dan tenang. Beberapa lirik telah dilupakan namun itu bukan masalah disaat ia masih ingat nadanya.

Dia seolah menjadi hantu pada perjamuan pesta. Tidak ada satupun monster itu yang mengetahui keberadaan Eva.

Melewati lorong penuh mahkluk mutasi bukanlah perkara mudah. Eva masih harus menghindari cakar tajam mereka yang dapat melukainya. Bersentuhan dengan mahkluk-mahkluk itu juga bukanlah sesuatu yang nyaman untuk dilakukan.

Eva juga harus melewati mereka tanpa menimbulkan percikan rasa takut. Dia akan mendapatkan masalah besar apabila merasakan rasa takut, meskipun itu sedikit saja.

Eva memalingkan muka untuk menghindari kontak mata dengan mahkluk-mahkluk itu. Matanya terpejam dan hatinya bernyanyi lagu itu kembali.

Dia berjalan dengan perlahan dan sangat hati-hati. Semuanya terasa sangat lancar hingga suara raungan terdengar dari arah tangga darurat.

Eva membuka kedua matanya secara spontan dan menoleh ke belakang. Dia mendapati tiga mahkluk serupa datang dari ruang tangga darurat. Menjadikan lorong di lantai ini penuh akan mahkluk itu.

"D-Datang lagi?" Ucap Eva. Gadis itu menggelengkan kepala, kemudian lanjut berjalan.

Hati kecilnya dipenuhi dengan keraguan. Begitu juga dengan pikirannya yang menjadi kacau akan kedatangan mahkluk-mahkluk itu di lantai ini.

Sebuah pertanyaan terbesit, "Apakah aku akan berhasil?"

Semakin Eva melangkah semakin ragu juga dirinya. Hingga tanpa sadar, sebuah percikan rasa takut timbul dari hatinya.

Semua White face di lorong itu mengendus di udara pada waktu yang sama. Mereka semua menjadi lebih agresif daripada sebelumnya.

Eva mencoba memejamkan kedua matanya lagi dan menyanyikan lagu ibunya. Akan tetapi, dia terus mendengar suara raungan yang bersaut-sautan tanpa henti dari mahkluk-mahkluk itu.

Eva membuka kedua matanya dan menyaksikan mahkluk-mahkluk itu mulai memandang ke arahnya. Mereka seolah tersenyum dengan gigi runcing mereka dan bergerak maju perlahan.

Eva menengok ke samping dan mengetahui ada pintu ruangan. Ini adalah kesempatan yang bagus baginya untuk bersembunyi, setidaknya hingga dia mampu menenangkan dirinya sendiri.

Dia masuk kedalam ruangan itu tanpa berpikir panjang. Ruangan ini adalah ruang dapur, tempat para warga bunker mempersiapkan makanan.

Ruangan ini dipenuhi dengan meja-meja stainless di tengah ruangan. Sementara, di sisi ruangan terdapat rak peralatan, mesin pendingin dan kompor.

Eva bersembunyi di balik meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eva bersembunyi di balik meja. Dia bersandar di sana sembari mencoba mengatur napasnya yang kacau.

Pikirannya dipenuhi dengan gigi runcing dan kuku tajam mahkluk-mahkluk mutasi itu. Eva menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan semua hal mengerikan itu dari kepalanya.

Eva duduk sembari memeluk lututnya. Sungguh, dia ingin berteriak karena rasa takutnya sudah dipuncak. Akan tetapi, dia tetap mencoba menahan diri untuk tidak meledak-ledak.

Air mata gadis itu mulai membasahi kedua pipinya. Dia teringat bahwa pada saat seperti ini, ibunya akan hadir di sana untuk menenangkannya. Namun, kini dia hanya punya dirinya sendiri untuk hal itu.

Tidak lama setelahnya, Eva mendengar sebuah langkah kaki. Suara itu bukan berasal dari luar ruang dapur, melainkan berada dekat dengannya.

Eva memandang ke atas dan mendapati Jessy berdiri disana. Remaja itu memegang sebuah pisau dengan kedua tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar dan matanya berkaca-kaca.

"K-Kamu di-disini juga?!" Ucap remaja itu dengan terbatah-batah.

Jessy mengarahkan pisau dapur itu dengan tidak menentu. Kedua tangannya terlalu gemetar untuk mempertahankan posisi yang stabil. Hingga akhirnya, dia menjatuhkan pisau itu di lantai.

Jessy menjatuhkan diri, bersimpuh kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangan, "A-Aku takut...mahkluk itu, me-mereka... semua..."

"..."



GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang