Bunker Kosong

29 4 0
                                    

Sam menggunakan elevator untuk turun ke lantai paling dasar. Pria itu cukup beruntung karena daya listrik masih tersedia untuk mengoperasikan elevator.

Sam tidak menikmati perjalanannya di elevator. Semua hal yang ada di sana hanya membuat nya semakin cemas dan khawatir. Dia melihat bahwa ada genangan darah di sudut elevator serta beberapa bekas cakaran yang membekas. Pria itu juga menyaksikan kekacauan yang telah terjadi di bunker selama perjalanannya menuju elevator.

"Cepatlah! CEPATLAH!" Teriak Sam sembari menekan tombol tujuannya berulang kali.

Sam mendapati lampu di elevator berkelip cepat serta terasa sebuah goncangan di sana. Sam juga merasa bahwa elevatornya turun semakin cepat dari sebelumnya.

Perasaan Sam tidak enak akan elevator ini. Hal itu segera di buktikan dengan lampu elevator yang mati secara total sehingga menjadikan pria itu buta karenanya.

Tidak berhenti disana, Sam merasakan dirinya seperti melayang didalam elevator. Sensasi itu terasa karena elevator yang ia tumpangi tengah terjun bebas hingga ke dasar bunker.

Sam merentangkan kedua tangannya untuk berpegangan pada dinding elevator, "Sial! Sial! Sial!"

Elevator terjatuh semakin cepat dan cepat, diikuti dengan suara angin yang terhempas dan kabel penggerak yang berputar cepat.

Tidak ada yang dapat Sam lakukan selain menutup matanya dan berteriak, "AAAAHHHHHHH!!!"

Disisi lain, Eva berada pada lantai permukaan bunker. Gadis itu menggunakan tangga darurat untuk pergi ke tiap-tiap lantai. Ia menggunakan tangga darurat karena tidak dapat menggapai tombol di elevator. Setidaknya, kini ia tidak perlu merasakan apa yang Sam terima.

Akan tetapi, menuruni tiap anak tangga menjadi tantangan tersendiri. Energi Eva semakin terkuras habis karena hal itu. Namun tidak ada yang dapat menghentikan gadis itu saat ini, karena ia begitu ingin mengetahui asal jeritan itu.

Gadis itu bernapas dengan terengah-engah. Pandangannya juga kian memudar diikuti dengan kesadarannya yang sudah diujung tanduk.

"A-Aku... Aku..."

Kedua mata Eva terasa begitu berat dan memaksa untuk tertutup. Hingga akhirnya, dia tidak dapat melawannya lagi.

BBBRRUUCCKKK...

"..."

"Hei?"

"Kakak, apakah dia sadar?"

"Siapa kamu?"

"Anna jangan sentuh dia! Mungkin dia terinfeksi!"

"Benar! Lihatlah kulitnya yang pucat itu!"

Eva hanya melihat kegelapan namun secara samar-samar mendengar percakapan beberapa orang yang mengitari dirinya.

Sebuah cahaya merah terang mulai memasuki kegelapan yang Eva rasakan. Tidak lama setelahnya, Eva mendapatkan kesadarannya kembali dan membuka matanya.

"Dia bangun! Dia bangun!" Sorak seseorang di sebelahnya.

"Hei! Jangan jatuhkan obornya!" Balas seorang yang lain.

Eva duduk dengan rasa sakit serta pening di kepalanya. Dia melihat ke arah sekelilingnya dan segera mendapati dua anak berdiri di hadapannya. Eva juga melihat seseorang secara samar-samar tengah bersandar di kejauhan.

Seorang anak laki-laki yang memegangi obor dan seorang anak perempuan disebelahnya. Kedua anak itu terlihat tengah berdebat akan sesuatu.

"Sudah kubilang dia masih hidup!"

"Iya! Aku tidak mengatakan sebaliknya..."

Eva yang masih belum sepenuhnya sadar ikut masuk kedalam perbincangan mereka berdua, "Aku dimana? Siapa kalian?"

"Aku Jill." Balas seseorang yang lain.

Eva segera menoleh kebelakang dan mendapati satu anak perempuan lagi. Gadis itu tengah berlutut dan asik memainkan rambut Eva yang panjang. Gadis itu nampak lebih muda daripada Eva sendiri.

Eva segera berdiri dan menanyakan satu hal yang sama, "Siapa kalian?"

"Jill sudah bilang nama kok..."

Eva menoleh sekilas ke arah Jill dan memberikan tanggapan sederhana, "Uh-huh... Lalu kalian berdua?"

"Namaku Boy! Dan aku yang bertugas memegang obor ini." Ujarnya dengan tersenyum sembari menunjukkan obor di tangan.

"Aku Anna dan aku mau memegang obor itu! Sekarang berikan!" Lanjut gadis di sebelahnya.

Boy mengangkat obornya tinggi-tinggi hingga Anna tak mampu menjangkau, "Kamu harus tinggi seperti aku dulu baru bisa ambil."

"Dih! Tidak adil!" Anna melompat-lompat guna menjangkau.

"Hahahah! Dasar pend-"

"JANGAN MAINKAN OBOR ITU!" Teriak seseorang yang lain, "Obor itu bukan mainan dan hal itu adalah satu-satunya penerangan kita saat ini."

Dia adalah remaja perempuan yang Eva lihat sekilas tadi. Remaja itu tengah duduk bersandar pada sebuah dinding. Cahaya yang minim membuat dirinya hanya terlihat sebagai sebuah siluet.

"Jill selalu takut kalau Kakak Jessy marah."

Boy dan Anna segera terdiam mendengarnya, namun segera Boy memperkenalkan, "Dia adalah Kak Jessy dan dia itu pemara-!! Maksudnya, paling tua diantara kami."

"O-Okee..." Balas Eva yang masih bingung, "Mengapa kalian disini?"

"Jill tidak tahu mengapa Jill disini."

Boy tiba-tiba tersenyum dan dengan nada percaya diri menjawab, "Kami diculik."

"Tunggu! Tunggu! Kenapa kamu bisa mengatakan itu dengan tersenyum?" Tanya Anna dengan bingung.

Boy membuang senyumnya dan menggaruk-garuk kepalanya, "Setidaknya aku tidak berteriak-teriak minta tolong layaknya anak perempuan, seperti mu tadi."

"Itu karena aku memang perempuan!"













GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang