Upah Manis

47 10 2
                                    

Arto melangkah keluar dari kepulan asap tebal. Robot itu kembali kepada Eva untuk sekali lagi.

Musuh telah berhasil dilumpuhkan. Lebih tepatnya Arto telah menghancurkan musuhnya. Tidak ada lagi yang dapat membuat gadis itu menangis kali ini. Hal itulah yang selalu ingin dilihat oleh Arto.

Senyuman gadis itu selalu luntur terkena air mata. Arto tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka dari itu ia selalu mencoba untuk tetap membuat gadis itu bahagia.

Melangkah keluar dari asap, Arto melihat gadis itu. Air mata menetes dari kedua mata Eva. Tidak seperti yang Arto harapkan. Senyuman gadis itu kembali luntur.

"Arto...!!!" Teriak Eva sembari berlari ke arah robot tersebut.

Arto segera menjatuhkan senapannya dan berlutut dengan kedua kakinya. Kedua tangan besinya terbuka untuk mendapatkan gadis itu dipelukannya.

"E-Eva?"

"Arto! A-Aku sangat takut! Aku sangat takut kamu tak kembali!" Ujar gadis itu dengan terbatah-batah.

"..."

Gadis itu memeluk erat tubuh besi Arto seakan-akan itu adalah pelukan terakhir yang dapat ia lakukan. Air mata terus menetes membasahi tubuh Arto.

Sementara itu Arto hanya diam saja. Kedua mata robot itu memandang ke arah jalan yang ada di hadapan dirinya.

Robot itu mengangkat kedua tangannya. Memusatkan perhatiannya ke arah kedua telapak tangan besinya.

Aku...

Adalah penghancur.

Aku...

Adalah mesin pembunuh.

Dengan kedua tangan ini.

.
.
.

Apakah aku pantas untuk melindungi Eva?

Apakah aku pantas untuk melihat senyuman gadis itu?

.
.
.

Aku merasa tidak pantas!
.
.
.

Lamunan robot terhenti kala Eva melepas pelukannya. Gadis itu berjalan mundur beberapa langkah.

Gadis itu memejamkan kedua matanya. Sebuah senyuman tipis tergambar jelas di wajah cantiknya.

"Arto, terima kasih."

Arto melihat senyuman cantik itu sekali lagi. Sebuah upah yang teramat manis setelah mengalahkan musuhnya.

"Eva, aku hanyalah robot perang. Dengan kedua tangan ini aku telah menghabisi banyak musuh." Ujar Arto dengan terus memperhatikan kedua telapak tangan besinya.

"Apakah robot penghancur seperti diriku pantas untuk melihat senyuman itu?" Tanya robot itu melanjutkan ucapannya.

Pertanyaan yang sedikit membuat gadis itu terkejut. Akan tetapi Eva hanya mempertahankan senyuman indah itu tetap di wajahnya.

Gadis itu menggeleng. Eva kemudian meraih tangan besi Arto dengan tangan mungilnya. Sentuhan lembut bak sebuah salju. Sentuhan tangan gadis itu yang mungkin tak dapat Arto rasakan.

"Arto bukan robot penghancur! Arto adalah temanku! Temanku yang paling berharga!"

Gadis itu melipat buku jemari Arto. Membuat tangan besi robot itu mengepal.

"Jadilah temanku selalu! Arto!" Mohon gadis itu sembari memegang kepalan tangan besi Arto.

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang