Bunker

27 6 0
                                    

Itu adalah sebuah bangunan beton yang berdiri diatas lereng bukit bersalju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Itu adalah sebuah bangunan beton yang berdiri diatas lereng bukit bersalju. Seluruh bagian luar dari bangunan itu terbuat dari beton tebal yang kokoh. Pintu utama yang nampak terbuat dari logam kuat memberikan kesan struktur yang tangguh.

Jejak kaki dari para White face mengarah ke pintu utama. Jejak yang begitu kacau menandakan mereka menyerang dengan membabibuta. Hal tersebut juga diperkuat dengan beberapa pohon yang tumbang pada sepanjang jalur.

Anehnya pintu utama bunker itu masih tertutup rapat. Seluruh lapisan luar bangunan itu juga masih kokoh berdiri. Semua hal itu menjadi bertolak belakang dengan dugaan bahwa bunker telah diserang.

Sam berlari diatas tumpukkan salju yang menutupi lereng bukit. Kakinya menapak cepat mendahului Arto yang tadi memimpin jalan.

"Kumohon! Kumohon!" Bisik Sam menahan kekhawatiran.

Sam tiba pada pintu utama bunker. Tanpa berpikir panjang, pria itu segera memukul-mukul permukaan pintu yang terbuat dari logam. Hal tersebut membuat bunyi yang menggema.

"Jack! Anton!? Siapapun!?" Sam berteriak memanggil nama seseorang dengan nada yang sangat panik. Kepanikan itu segera memuncak disaat tidak respon yang diberikan.

Sam tidak ingin berputus asa dengan cepat. Sam menggunakan tenaga yang tersisa untuk mendobrak masuk pintu logam itu. Tentunya usaha yang pria itu lakukan menjadi sia-sia. Pintu bunker yang dirancang untuk menahan ledakan bom bukanlah sesuatu yang dapat didobrak.

"Sial! Sialan! Siapapun! Buka pintu ini! Aku sudah pulang!" Suara Sam perlahan melemah, kemudian pria itu mulai menabrakkan dahinya sendiri ke pintu besi.

Sam yang semalam tidak beristirahat mulai kehabisan tenaga, "Yang aku inginkan hanya melihat putriku..."

Arto berjalan mendekat ke pintu bunker. Robot itu sedikit menganggumi kemegahan bangunan yang baru saja dia lihat. Akan tetapi perasaan kagum itu segera sirna disaat dirinya melihat Sam yang tertekan.

"Sam, apakah kamu bersedih?" Tanya Arto dengan polos.

Sam menghela napas, "Iya Arto! Aku sedang bersedih, khawatir, marah, semuanya bercampur aduk!" Sam segera menatap Arto dengan muka masam.

"Ada apa? Apakah aku tidak boleh bersedih? Semua manusia punya perasaan itu, Arto. Aku bersedih karena seharusnya ini adalah misi yang mudah, aku bersedih karena seharusnya aku pulang lebih cepat, aku bersedih karena sekarang aku tak tahu putriku masih hidup atau tidak!"

Punggung Sam bersandar pada pintu bunker. Kedua matanya menatap ke langit guna menahan air mata yang hendak keluar. Pria itu berakhir dengan memeluk kakinya bak seorang anak kecil.

"Seharusnya... Aku tidak pernah bertemu denganmu, Arto. Kamu menghambat misiku. Kamulah alasanku bersedih saat ini."

"..."

Arto terdiam dan hanya memandangi Sam. Kedua tangan robot itu masih tetap menggedong tubuh Eva yang mengigil.

"Sekarang katakan padaku, Arto..." Ucap pria itu kembali, "...Apa yang harus aku lakukan?"

"Aku merasakan luapan emosi yang tidak terkendali. Mereka meledak-ledak didalam dirimu. Disatu sisi kamu merasa sedih, namun disisi lain amarahmu juga mengebu-gebu." Robot itu berhenti sejenak, kemudian kembali dengan satu pertanyaan.

"Apakah manusia dapat merasakan dua emosi sekaligus? Aku tidak mengerti."

Sam menutup kedua matanya dan menarik napas panjang, "Kukira aku dapat menaruh hati padamu karena kegigihanmu melindungi seorang gadis."

Sam membuka matanya kembali, dengan tatapan kosong pria itu memandangi shotgunnya, "Kukira kita dapat menjadi saudara karena saling melindungi di terowongan itu."

Sam membuka tali yang mengikat shotgunnya, "Namun kenyataannya, kita tetaplah bukan siapa-siapa. Aku adalah aku dan kamu adalah kamu..."

Sam mengarahkan shotgun itu kearah Arto dengan perlahan, "Kamu hanyalah bedebah sialan yang menyebalkan."

Sam menempatkan jari telunjuknya pada pelatuk, "Kita berdua tidak diciptakan untuk menjadi teman, melainkan musuh."

[Peringatan!]
[Ancaman Terdeteksi!]

Sistem operasi Arto mengarahkan dirinya untuk segera menodongkan senapan runduk nya. Akan tetapi Arto menahan dirinya sendiri untuk melakukan hal tersebut.

Robot itu masih menggendong Eva menggunakan kedua tangganya. Arto tidak ingin menjatuhkan Eva dan mengamankan dirinya sendiri.

[Peringatan!]
[Ancaman Terdeteksi!]

"..."

[Peringatan!]
[Peringatan!]

"..."

"..."

Hentikan.
Hentikan semua peringatan ini.

Jari telunjuk Sam gemetar ketika mulai menarik pelatuknya. Pandangan pria itu mulai kabur dan kacau. Pikirannya sudah tidak dapat dikendalikan karena emosi yang meledak-ledak.

Semua keadaan begitu panas hingga tidak ada satu dari mereka yang sadar bahwa Eva telah siuman. Gadis itu berjalan mendekati shotgun yang ditodong kan.

"Hentikan, Paman Sam..." Eva menempelkan badannya ke lubang peluru shotgun, "Jika kamu ingin meluapkan amarahmu, lakukan saja padaku. Jangan kepada sahabatku."

"..."

Tangan Sam gemetar dengan menunjukkan raut wajah yang tidak percaya. Sementara Arto hanya diam dengan tetap menahan tangannya pada posisi menggendong Eva tadi.

"Uhuk... Uhukk.. Aku yang menyebabkan misimu terhambat. Tidak! Justru karena aku, misi ini diberikan kepadamu. " Suara Eva kian melemah dari sebelumnya.

"Paman Sam... Kamu tidak punya alasan lagi untuk tidak membenciku."

Sam membuang shotgunnya ke tumpukkan salju. Pria itu segera memeluk dirinya sendiri, "Arghh!! Argh!! Hentikan! Persetan dengan semua ini! Aku sudah lelah."

Arto tidak akan pernah menyangka bahwa manusia yang ia lihat sebagai seorang pria tangguh seperti Sam, masih memiliki sisi yang bertolak belakang.

Sam menutupi telinganya dengan kedua tangan, "Yang aku mau saat ini hanyalah masuk ke bunker dan bertemu putriku lagi." Suara Sam kian tenang dengan sedikit meredam emosinya.

Eva kemudian jongkok dan memeluk lututnya sehingga posisi sama dengan Sam yang tengah duduk bersandar.

Meskipun tengah demam, Eva masih berusaha untuk memberikan senyuman, "Aku tahu jalan masuk selain lewat pintu utama."

"..."

Pandangan Sam mulai terfokus ketika mendengar ucapan gadis itu. Begitupula dengan emosi pria itu yang tadinya meledak-ledak secara kacau, kini mulai tenang.

Namun, satu hal yang menjadi pusat perhatian pria itu. Wajah Eva yang berseri dengan senyuman hangat yang menghiasinya terus menenangkan hati Sam.

"Entah mengapa senyuman gadis itu, sungguh menenangkan."










GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang