[1] ✓ Sweet Wife in My Arms

140 | Mengapa

Dia tidak bisa memahaminya. Dia telah bertanya kepada Si Nanchong tentang hal itu, tetapi Si Nanchong juga tidak tahu, dan malah menyarankan agar Yan Boxuan bertanya kepada gurunya sendiri. Ini merupakan jalan buntu bagi Yan Boxuan; dia terlalu jauh dalam hierarki untuk bisa bertemu dengan master secara langsung.

Qing Yao, di sisi lain, terus-menerus mengunjunginya dan memintanya untuk memberitahunya seperti apa di bawah gunung.

Yan Boxuan menyimpan dendam padanya karena menelanjangi dia di luar keinginannya, tapi dia akhirnya terbujuk oleh keingintahuannya yang tulus. Dia mengesampingkan keluhan kecilnya dan mulai menghiburnya dengan kisah-kisah alam fana, yang didengarkan Qing Yao dengan senang hati. Dia duduk di atasnya di tangga, matanya yang jernih tertuju pada kejauhan. Rambutnya disisir ke bahunya saat bergoyang tertiup angin. Ekspresi wajahnya adalah salah satu kerinduan yang tak terucapkan.

Bingkai beku.

Pemirsa yang duduk di depan TV akhirnya kembali ke kenyataan — dua episode telah berlalu begitu saja. Dan pertunjukan itu berakhir tepat ketika sudah mulai bagus. Ekspresi naif yang menggemaskan di wajah Qing Yao telah meluluhkan hati semua orang: pria, wanita, orang tua, dan anak muda.

Momen ikonik lainnya di episode hari itu adalah adegan di mana dia menelanjangi Yan Boxuan. Semua penonton tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi polos di wajahnya saat dia secara metodis membuat marah kesopanan Yan Boxuan, seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia. Kenaifannya yang acuh tak acuh dalam adegan itu sangat menawan.

Peringkat pemirsa untuk «Perjalanan ke Negeri Dongeng» telah melesat ke peringkat teratas setelah hanya dua episode. Tempatnya di puncak memang layak, karena peringkatnya tidak pernah turun di bawah 5%,

Yan Huan adalah wajah baru yang relatif tidak dikenal sebelum pertunjukan ditayangkan. Namun, dalam rentang empat episode, popularitasnya meroket ke stratosfer.

Lu Yi menutup laptopnya. Dia memeriksa waktu, mengingat instruksi Fang Zhu, dan mengeluarkan ponselnya. Dia diharuskan meneleponnya setiap malam, tanpa gagal, bahkan jika percakapan telepon mereka hanya terdiri dari:

"Halo."

"Ini aku."

"Oh."

Itu biasanya menandai akhir dari percakapan telepon mereka.

Garis terhubung.

“Ini aku,” kata Lu Yi tanpa ekspresi, suaranya tanpa emosi. Dia bahkan tidak merindukannya. Kebanyakan pasangan lain tidak tahan berpisah lebih dari sehari, tetapi Lu Yi dan Fang Zhu bisa pergi sebulan tanpa bertemu satu sama lain dan tetap tidak merindukan satu sama lain.

"Jangan meneleponku selama beberapa hari ke depan." Fang Zhu sedang mengerjakan penelitian. "Aku sibuk."

Lu Yi meletakkan teleponnya. Dia tidak keberatan. Tidak ada bedanya baginya apakah dia pacaran dengan Fang Zhu atau tidak. Bahkan, dia merasa lega karena tidak perlu mengingat untuk meneleponnya setiap hari, selama dia sibuk. Memanggilnya terasa seperti tugas baginya.

Dia membuka laptopnya sekali lagi dan mulai bekerja. Dia memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi dia bersemangat — dia memiliki episode «Perjalanan ke Negeri Dongeng» besok untuk dinantikan.

Dia terkejut dengan ini. Dia tidak berharap untuk benar-benar menantikan acara TV, dari semua hal.

"Action!" Direktur Jin berteriak.

Yan Huan sudah menjadi karakter. Dia menatap kosong ke tubuh ayahnya; itu tergeletak di tanah, sudah kaku karena kematian. Kekosongan yang luas dan kosong telah terbuka di dalam dirinya. Pakaiannya berkibar tertiup angin, tapi dia tetap tidak bergerak sama sekali.

Setelah sekian lama, bibirnya akhirnya bergetar. Dia menatap pria di depannya saat air mata besar mengalir di pipinya.

"Mengapa?" Suaranya parau, tapi tenang. Dia tidak menyerah pada histeria. Dia tidak berteriak, menjerit, atau mencoba untuk mengambil tenggorokannya. Dia hanya menanyakan alasan dengan suaranya yang serak dan serak — suara yang terdengar hampir putus.

“Mengapa kamu membunuh ayahku? Mengapa kamu menghancurkan Sekte Qingshan? Kenapa kamu melakukan ini padaku?"