43 | Sebuah Nama

136K 10.3K 250
                                    

Hari ini adalah tanggal merah. Tentunya Bara dan Naqiya memilih menghabiskan liburan ini di rumah. Bara terlihat sibuk dengan laptopnya, sedangkan Naqiya hanya sibuk menonton televisi.

"Naqiya," Bara memanggil istrinya itu.

Naqiya yang dipanggil oleh Bara pun langsung menoleh pada pria itu. "Kenapa, Pak?" Tanyanya.

"Saya kepikiran sesuatu," Mata Bara beralih dari laptopnya, "Bayi nanti cewek apa cowok ya?"

Naqiya menggidikkan bahunya, "Belum tau lah, Pak. Emang Bapak maunya apa?"

"Apa aja saya mau kok, 'kan tetep anak saya." Bara memfokuskan pandangannya pada Laptop itu lagi. "Ralat, anak kita." Pungkasnya.

"Emang kalo cewek mau dinamain siapa, Pak?" Tanya Naqiya. Matanya melihat suami di sampingnya itu.

Bara mendongak, memikirkan nama yang bagus untuk calon bayinya jika berjenis kelamin perempuan. Nama itu harus cantik dan memiliki arti yang baik. Karena baginya sebuah nama adalah doa. Doa bagi anaknya kelak dan kehidupan anak itu. Jadi diwajibkan bagi Bara dan Naqiya untuk memilih nama yang terbaik untuk calon bayi mereka.

"Hmm..." Bara menoleh pada Naqiya, "Kalo perempuan mungkin namanya Namira? Itu dari bahasa Arab, artinya gesit, ya doanya semoga dia kelak jadi anak perempuan yang aktif, energik, terus juga sopan, kaya Papanya."

"Kok Papanya? Kayak Mamanya lah!" Protes Naqiya. "Tapi bagus kok, kita keep dulu aja nama itu sambil nyari nama lain."

Bara terkekeh mendengar protes dari Naqiya, "Iya kaya Mamanya juga. Apalagi cantiknya nanti."

Blush!

Pipi Naqiya merona. Sekarang suaminya ini pandai menggombal ya?

"Pak Bara sekarang tukang gombal! Sebenernya mahasiswa-mahasiswa Bapak di kampus tuh ketipu, dosen tukang gombal begini dibilang dosen dingin, ew!" Ujar Naqiya menutupi rasa tersipu malunya.

Bara lagi-lagi hanya terkekeh. Menggoda Naqiya sampai tersipu adalah hobi barunya saat ini. "Ya 'kan gombal ke istri sendiri," ujarnya membela diri.

"Awas aja sampe ke istri orang!"

Bara mengangguk lalu berdehem, "Kalo nama dari kamu gimana? Mungkin kalo cowok bayinya?" Tanya pria itu.

Naqiya berpikir sejenak, "Kalo cowok, apa ya, Pak? Saya suka nama Bapak sebenernya. Nama Bapak artinya apa deh?"

"Bara ya? Bara artinya bisa keteguhan, bisa berkah Tuhan, bisa juga pemilik kekuasaan," ujar Bara menjawab pertanyaan itu. Nama Bara keren juga ya? "Tapi masa Bayi namanya sama kaya saya?"

"Bagus banget artinya," ujar Naqiya, "Ya enggak lah, Pak. Nggak kreatif banget kita ngasih nama sama kayak Papanya."

"Terus apa?"

"Saya pernah denger Kayden sih, bahasa Arab juga artinya kalo nggak salah Teman."

Bara mengangguk, "Bagus kok, ditampung dulu kalo begitu. Biar pas udah lahir nggak bingung mau kasih nama Bayi apa."

"Kalo Kayden Kemal Saqqaf bagus nggak? Itu artinya teman yang sempurna, bahasa Arab semua," Tanya Naqiya.

Bara mengernyitkan keningnya, "Kok Saqqaf?"

Ah, Naqiya lupa dirinya tidak menikahi pria dari keluarga yang sama dengannya, Saqqaf. Itu berarti anak-anaknya tidak bisa menggunakan nama belakang yang Naqiya miliki.

"Emang kenapa, Pak? Nggak bisa pake nama keluarga saya aja, Pak?"

Bahkan dirinya sudah diusir keluarganya sendiri.

Bara menatap Naqiya lembut, "Saya itu 'kan anak satu-satunya, Naqiya. Anak-anak kita nanti ya nerusin nama keturunan keluarga saya, Adichandra."

Naqiya mengangguk paham. Memang biasanya nama belakang anak didapat dari nama belakang ayahnya. Naqiya harus menerima bahwa nama belakang calon bayinya ini nanti menyesuaikan dengan nama belakang yang Bara punya, ya Adichandra, bukan Saqqaf.

Tiba-tiba ponsel Naqiya berdering, pertanda panggilan masuk. Wanita itu meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang masuk itu.

"Assalamualaikum, Nay."

"Iya waalaikumussalam, kenapa Bang?"

"Nay kalo mau pulang, sini ke rumah Abang aja."

"Nggak kok, Bang. Nay disini aman-aman aja kok, Bang."

"Iya kalo Nay nggak betah, Nay ke rumah Abang aja ya. Abi mungkin masih belum bisa nerima Nay, nanti Abang coba bicarain ke Abi."

"Nggak usah, Bang. Nay tinggal sama suami kok, inshaallah aman semuanya."

Aufar mengiyakan kalau begitu maunya Naqiya. Kemudian telfon itu terputus setelah keduanya saling mengucapkan salam.

"Aufar?" Tanya Bara.

Naqiya mengangguk, "Iya, Bang Aufar, Pak."

"Kenapa?" Tanya Bara.

Naqiya menggeleng, "Nggak papa kok, cuma nawarin rumahnya aja kalo saya mau pindah. Bang Aufar tau kalo Abi masih belum bisa nerima saya."

Tatapan Bara menjadi sendu, "Kamu mau pindah?"

"Ya kalo Bapak ngajak ribut, saya pindah," ujar Naqiya bercanda.

Bara menyendu tatapannya, "Kok begitu?"

"Ya mangkanya jangan ngajak ribut!"

Bara mengangguk, "Hm, susu hamil kamu udah diminum?"

"Belum, nanti dulu deh saya masih males bikinnya."

Bara berdiri dari duduknya, tangannya mengelus perut Naqiya dengan lembut, "Saya bikinin aja ya." Pria itu langsung beranjak ke dapur untuk membuat susu untuk istri hamilnya itu.

Tumben?

Setakut itukah Bara jika Naqiya memilih pindah ke rumah Aufar?

Naqiya terkikik geli, enak juga rupanya mengerjai Bara. Tidak melulu dia yang menjadi korban kejahilan Bara.

Beberapa saat kemudian pria itu melangkah menghampiri istrinya dan memberikan segelas susu hamil hangat kepada Naqiya. Naqiya berterima kasih dan meminum susu tersebut, sementara Bara asyik mengelus perut istrinya itu.

Tiba-tiba ponsel Naqiya kembali berdering. Ponsel itu tergeletak di meja sehingga Bara bisa melihatnya.

"Siapa, Pak?" Tanya Naqiya bertanya siapa yang menelfonnya. "Bang Aufar nelfon lagi?"

"Bukan Aufar," Jawab Bara.

"Terus siapa?" Naqiya menggeser duduknya sehingga bisa melihat ponselnya dengan jelas.

"Ali."

✨✨✨

Nohkan yang ditunggu-tunggu muncul! Jangan lupa vote dan comment nya yaaa! biar aku semangattttt jadi makin sering aku up nya🤗🤗



Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang