3 | Rumah, Duka

218K 15.1K 673
                                    

Setibanya di Bandara YIA, Jogja, mereka bergegas mencari taksi untuk segera beranjak ke rumah sakit dimana Ibu Seruni, Ibu Bara, dirawat. Lagi-lagi minim percakapan. Hanya ada percakapan antara Bara dengan sang supir taksi.

Di ranjang itu Seruni terbaring tidak berdaya. Sudah melewati masa kritisnya, sehingga Bara dan Naqiya diperbolehkan untuk menjenguknya. Sebelumnya mereka telah disambut oleh Gatot yang bahagianya terpancar ketika melihat calon istri Bara, Naqiya. Anaknya tidak salah memilih calon menantu. Naqiya begitu cantik dan santun.

"Assalamualaikum, Ibu, lihat siapa yang Bara ajak ketemu Ibu?" Bara mencoba mengajak Seruni berbicara. Namun, Seruni hanya bisa meresponnya dengan senyuman.

"Sayang, perkenalkan diri kamu ke Ibu," Pinta Bara pada Naqiya. Sekujur tubuh gadis itu merinding dengan panggilan 'sayang' yang Bara lontarkan. Dosennya memanggilnya sayang?

"Em, assalamualaikum, Bu, saya Naqiya Adeeza, pasangannya Pak-eum maksud saya Mas Bara," Setelah mengucapkan itu, Naqiya mencium tangan Seruni.

"Ca-ntik," sulit rasanya bagi Seruni untuk mengucapkan kalimat itu. Dirinya bahagia ketika putra satu-satunya ini ternyata sudah memiliki pasangan.

"Iya dong, Bu. Naqiya memang cantik. Cantik kaya Ibu," Bara menggenggam jemari Seruni lalu berujar, "Ibu cepat sembuh, biar bisa lihat pernikahan kami nanti."

Seruni hanya bisa mengangguk dengan perasaan yang begitu bahagia. Tuhan maha baik mengabulkan segala permintaannya termasuk pendamping untuk putra semata wayangnya ini. Air mata bahagia menetes dari sudut matanya. Apalagi kita melihat interaksi putranya dengan calon istrinya itu.

"Ibu Bapak sudah makan, Pak?" Tanya Bara.

Gatot menoleh, "Sudah, 2 jam lalu Ibu makan, abis itu gantian Bapak yang makan, Le."

"Ya sudah kalau begitu," Bara menggenggam jemari Naqiya, demi apapun jika Bara melakukan ini di depan Abi-nya, sudah habis hidup Bara. "Sayang laper 'kan? Kita makan dulu ya?" ajak Bara.

"Eum, iya, Sayang, aku laper," jawab Naqiya terbata.

"Ya sudah, Bu, Pak, kami keluar dulu yaa."

Kini dua sejoli itu sedang berada di restoran yang terdapat pada rumah sakit itu. Naqiya memilih untuk memesan gudeg jogja kesukaannya. Berbeda dengan Bara, pria itu justru lebih memilih untuk memesan nasi kebuli. Sebelumnya, Bara pikir, Naqiya akan memesan menu yang sama, ternyata gadis itu lebih menyukai makanan khas Jogjakarta.

"Kamu anak ke berapa di keluargamu, Naqiya?" Cukup terkejut mendengar pertayaan yang dilontarkan oleh Bara, secepat sepersekian detik Naqiya menelan makanannya.

"Saya anak kedua dari dua bersaudara, Pak," Naqiya membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan tisu makan, "Kalau Bapak?"

"Saya anak satu-satunya. Kamu punya adik berarti?"

Naqiya menggeleng sembari tersenyum, "Saya maunya begitu, Pak, apa daya saya dikasihnya malah kakak cowok," ucap Naqiya.

"Oh begitu, sudah bekerja berati Mas-mu?" Tanya Bara.

"Sudah berkeluarga, Pak. Mas Aufar udah tua, 28 tahun, dan saya punya ponakan yang lucu satu hehe." Naqiya berujar sembari terkekeh membayangkan betapa menggemaskannya putra Aufar.

"Sudah jadi Tante berarti kamu, ya..."

"Betul, Pak," Naqiya meneguk segelas cokelat dinginnya sebelum melanjutkan pertanyaan, "Eum, Pak?"

Bara menoleh, "Iya?"

"Maaf sebelumnya, Pak. Saya ada sedikit informasi kalo bapak berkenan. Bukan informasi, sih, lebih tepatnya saran."

Bara menaikkan satu alisnya, bingung, "Saran apa?"

"Kalau memang Bapak sedang mencari calon istri, saya ada teman yang mungkin bapak berminat untuk mengenalnya lebih jauh. Karena teman saya ini juga punya ketertarikan terhadap Bapak," Jelas Naqiya, "Maaf ya, Pak, tolong jangan tersinggung atas ucapan saya."

"Aubri Cantiya Natakara maksudmu?"

Naqiya menjentikkan jemarinya, dan tersenyum sumringah, "Iya, maksud saya Cantiya, sahabat saya sendiri, Pak. Ngomong-omong dari mana Bapak tau kalau Cantiya tertarik pada Bapak?"

"Dia mengirim pesan ke saya, tapi yang dia maksud tertarik pada saya itu..."

Ucapan Bara terhenti karena ponselnya berdering. Ia segera mengangkat telepon itu. Dari Gatot, Bapaknya.

"APA PAK?" Suara Bara naik, dirinya terkejut mendengar kabar dari Gatot. Segera ia membereskan barang yang ia bawa dan tanpa sadar ia menggandeng telapak tangan Naqiya, menarik perempuan itu agar mengikuti langkahnya.

Naqiya sendiri tidak berani bertanya ada apa? Mengapa ayah Pak Bara menelepon pria itu dan membuat reaksi pria itu kalut?

Bara tidak habis pikir. Tidak lebih dari tiga jam ia pamit untuk makan. Satu-satunya perempuan yang ia sayangi harus terbaring di ranjang rumah sakit dengan keadaan kritis lagi. Ya, kritis lagi. Bara pun tidak tahu apa penyebabnya.

Naqiya melihat dokter keluar dari ruangan Bu Seruni. Raut wajah dokter tersebut terlihat sedih. Dokter itu berbicara pada Gatot dan juga Bara. Sementara Naqiya memilih untuk sedikit memberikan privasi untuk keluarga itu.

Sesaat kemudian, Naqiya melihat Bara terpukul. Tubuh pria itu ambruk, bersandar pada pintu kamar rumah sakit. Dia menekuk lutunya dan menangis disana. Bara Adichandra, dosen dingin dan tak berperasaan itu hancur disana. Tanpa sadar Naqiya juga meneteskan air mata.

Naqiya menghampiri Bara, ia bawa tubuh pria itu ke dalam pelukannya. Tangan kecil rapuhnya mengelus punggung Bara agar tetap kuat.

"Pak, Bu Seruni sudah bahagia disana," bisik Naqiya sembari mengelus punggung Bara.

Sangat terkejut Naqiya dibuat Bara, karena pria itu tiba-tiba membalas pelukan Naqiya dengan lebih erat. Isak tangis Bara semakin memilukan bagi Naqiya. Namun, Naqiya harus lebih kuat untuk Bara yang saat ini sedang membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.

Bara memberikan ponselnya pada Naqiya, "Sudah hampir magrib, pesanlah tiket, lalu kamu bisa pulang."

Rasanya gadis itu tidak akan mampu meninggalkan Bara dalam kondisi seperti ini. Walaupun kenyataannya dirinya dan Bara hanyalah sebatas dosen dan mahasiswi.

Naqiya menggeleng, Naqiya memberikan kembali ponsel Bara, "Tidak perlu malam ini, Pak. Saya tidak keberatan kalau harus pulang besok."

"Kamu bisa mendapat penerbangan terakhir, pesan sekarang selagi ada kesempatan. Saya tidak mau orangtua kamu khawatir nantinya," Bara denga matanya yang merah karena sehabis menangis mentap Naqiya khawatir.

Gadis itu kembali menggeleng, tidak enak rasanya ketika ia harus merepotkan orang yang sedang berduka. Lagipula saat ini di mata Gatot, Naqiya adalah calon istri Bara. Bagaimana reaksinya jika tahu calon istri anaknya memilih pulang ketika ibunya Bara meninggal dunia.

"Ya sudah, kamu ikut ke rumah saya."

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang