97 | Penghakiman Terbaik

102K 11.2K 1.2K
                                    

"Apakah kami berhak menuntutmu di pengadilan?" Tanya Nenek Ainun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apakah kami berhak menuntutmu di pengadilan?" Tanya Nenek Ainun.

Jantung Bara rasanya berhenti berdetak detik itu juga. Menelaah setiap kata dari pertanyaan yang nenek itu utarakan padanya. Artinya, kemungkinan besar Bara harus meninggalkan Naqiya karena menjalani hukumannya di sel tahanan.

Kurang lebih begitu bukan?

Lalu bagaimana dengan istrinya yang tinggal menghitung hari lagi akan melahirkan? Bagaimana dengan bayinya nanti? Haruskah bayi itu lahir tanpa seorang ayah di sisinya? Tanpa suara azan dari bibir Bara yang berkumandang di telinganya?

Semua pikiran Bara lagi-lagi tertuju pada Naqiya. Tidak ada hal lain yang begitu ia khawatirkan selain istri dan bayinya itu.

Bara mendongak, menatap lurus ke arah netra Nenek Ainun, "Nenek berhak melakukannya." Jawabnya tegas. Dirinya sadar, perbuatannya memang harus dipertanggung jawabkan.

"Tapi..." Bara menggantungkan kalimat selanjutnya, "Saya mohon Nenek bersedia menjaga istri dan bayi saya setelah saya ditahan nanti." Tambahnya.

"Pasti, Nay itu cucu saya, tidak ada nenek yang mau cucunya menderita. Penjagaan seperti apa yang kamu inginkan?"

Bara mengangguk, membenarkan. "Tolong pastikan mereka aman dan kebutuhannya tercukupi." Ujarnya. "Dan mungkin awal-awal kelahiran bayi kami akan membuat Naqiya butuh waktu beradaptasi. Saya minta tolong agar istri saya mudah mendapat bantuan kapanpun karena dia pasti sangat membutuhkan itu."

Ya, meskipun banyak buku parenting yang sudah dibaca Naqiya, namun Bara yakin menjadi ibu muda tanpa didampingi suami akan cukup memberatkan istrinya.

Nenek Ainun mengangguk, "Kami paham. Ada lagi permintaanmu? Tunjuk pengacara mahal misalnya?"

Kepala Bara menggeleng, "Cukup pastikan hal-hal yang saya sebutkan tadi saja, Nek." Ujarnya.

Nenek Ainun tiba-tiba terkekeh, tentu saja berhasil membuat Bara, Aufar, maupun Zainab di sana mengernyitkan dahi kebingungan.

"Kamu benar-benar mencintainya ya?" Pertanyaan itu terlontar dari bibirnya seketika.

Bara berhasil dibuat semakin melongo. Kebingungan itu menyelimuti dirinya saat ini. Namun ia tetap mengangguk untuk membalas pertanyaan Neneknya Naqiya tadi. "Sangat mencintainya, Nek," Jawabnya.

Nenek Ainun terdiam, bibirnya kemudian mengatup sedikit. "Kamu tau Bara, bukan main kami selalu menjaga anak-anak perempuan kami, hingga kelak dia menikah dengan jodohnya."

Bara mengangguk paham.

"Rasa malu pasti ada untuk saya. Apalagi di dalam keluarga besar Saqqaf." Ujarnya. "Kamu tau siapa yang paling banyak menanggungnya?"

Tanpa menunggu jawaban Bara, Nenek Ainun melirik pada sosok menantunya, "Zainab. Putriku ini pasti merasa gagal menjadi seorang Ibu. Begitu juga dengan Muhammad, pastinya hancur ketika tau putrinya telah mengandung di luar pernikahan." Jelasnya. "Kamu akan tau bagaimana rasanya, Bara, ketika bayimu lahir nanti, terlebih dia adalah bayi perempuan. Akan tau bagaimana rasanya menjaga anak perempuan itu tidak mudah."

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang