15 | Kecewanya Orangtua

166K 12.4K 234
                                    

"Abi? Umi?" Perempuan itu mengerjap sesaat setelah dirinya siuman. Perempuan itu mencoba untuk duduk dan melihat sekelilingnya, "Nay dimana ini?"

Naqiya bisa melihat air mata yang ada di pelupuk mata Zainab. Sementara sang Abi yang wajahnya memerah menahan amarah. Ada apa?

"Abi sangat kecewa sama kamu, Naqiya Adeeza." Jelas Muhammad.

DEG.

Jantung Naqiya serasa berhenti berdetak. Abinya sudah mengetahui keadaan dirinya yang kini tengah mengandung, Kah? Astaga, bagaimana ia bisa berakhir di ranjang rumah sakit? Bukankah sebelumnya dia sedang menjalankan hukuman ospek?

Abinya sudah pergi meninggalkan Naqiya dan Zainab, kini kedua perempuan, ibu dan anak, itu saling menatap. "Sejak kapan Nay mengandung? Ke-kenapa Nay melakukan ini semua?" Uminya, perempuan berhati lembut yang Naqiya tahu kini menangis di hadapannya.

"Ampun, Mi," Naqiya menunduk, tak terasa air matanya juga mengalir.

"Jawab, Umi! anak siapa yang kamu kandung itu?" Tanya Uminya. "Kamu selalu menolak ketika ada yang memintamu ke Abi, tapi kenapa kamu melakukannya di luar pernikahan, Naqiya?"

"Am-ampun, Umi, ampuni Naqiya..." Naqiya bahkan mencium tangan Zainab memohon ampunan wanita itu. Zainab benar-benar sedang diselimuti api kemarahan. Ia dan Muhammad telah gagal mendidik putri semata wayangnya.

"Jawab Umi, anak siapa dia, Naqiya?!" Zainab menahan rasa ingin membentak anak perempuannya. Tetapi Naqiya bahkan bisa melihat gigi Zainab yang ber gemeletuk, menandakan wanita itu menahan amarahnya.

"An-"

"Anak saya, Bu."

Belum sempat Naqiya menjawab pada Uminya mengenai anak siapa yang berada di rahimnya kini. Bara datang dan menjawab itu semua. Ntah, semuanya begitu tiba-tiba.

Naqiya berada di rumah sakit, Abi dan Uminya mengetahui fakta bahwa dirinya tengah mengandung. Lalu, tiba-tiba Bara hadir disini.

"Saya ayah dari bayi yang Naqiya kandung," terus Bara. Bara meletakkan kopi yang ia barusan beli. Ketika Bara berbalik,

PLAK!!

Tamparan Zainab melayang pada pipi pria itu. Pipi Bara tentu saja panas, tetapi dia menerima itu semua. Rasa sakit di pipinya tidak sesakit hati Zainab yang mengetahui fakta bahwa anak perempuannya tengah mengandung di luar pernikahan.

"BAJINGAN ANDA!" Zainab berteriak. Beruntung tempat Naqiya dirawat adalah kelas VIP sehingga suara teriakan Zainab tidak terdengar, "APA YANG ANDA LAKUKAN PADA ANAK SAYA?!"

Zainab memukuli dada bidang Bara. Bara yang merasakan itu semua hanya terdiam, dirinya memang berhak menerima konsekuensi seperti ini.

"Umi, umi sudah!" Melihat Bara yang dipukuli Zainab, Naqiya berusaha melerai Uminya. Tapi apa daya dirinya tidak mudah untuk berdiri.

Uminya, Zainab, terduduk di lantai. Tubuhnya melemas. Air mata tetap tidak berhenti mengalir di pipinya.

"Astaghfirullahal'adzim."
Setelah ia menenangkan dirinya, Zainab bangkit dan duduk di sofa yang tersedia.

"Kalian berpacaran?" Tanya Zainab dengan nada yang dingin.

"Tidak, Naqiya adalah mahasiswi saya, Bu."

Zainab menghela napasnya, berusaha mengontrol emosi yang ada pada dirinya. "Anda dosennya, lalu kenapa Anda melakukan itu pada mahasiswi anda sendiri?" Tanya Zainab lagi, "Dan kamu Naqiya, Abi dan Umi sudah memberikan semua kebutuhanmu. Apa selama ini uang yang kami kasih itu tidak cukup?"

Hati Naqiya luka, demi Tuhan, dirinya bukan merupakan perempuan seperti apa yang Uminya tuduh.

"Demi Allah, Naqiya bukan perempuan seperti itu, Bu. Di sini saya yang sepenuhnya bersalah. Naqiya tidak bersalah. Saya yang menidurinya."

"Anda memang dosen bajingan!"

Bara menunduk, menyadari apa-apa yang dikatakan Zainab adalah benar, "Saya mohon maaf, Bu."

"Saya dan suami saya gagal menjaga anak perempuan kami karena Anda!" Zainab menghela napas, "Saya minta, jaga cucu saya baik-baik. Saya pamit dulu." Zainab melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut.

"Umi..." Naqiya kembali menangis, tentu saja Bara tidak tinggal diam. Dirinya menenangkan ibu dari anaknya tersebut.

Naqiya menangis di pelukan Bara, dengan tangan Bara yang berusaha menenangkan perempuan itu, "Kamu ngga sendirian, Naqiya, kamu punya saya."

Isakannya masih terdengar, tetapi Naqiya mengangkat kepalanya mencoba untuk menatap Bara. Ibu jari Bara mengelap air mata yang terjatuh.

"Kita lewati ini sama-sama, ya?" Mendengar pertanyaan Bara tersebut Naqiya mengangguk.

***

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang