14 | Orientasi Mahasiswa

178K 12.2K 344
                                    

Perempuan yang duduk di atas ranjang itu masih termenung. Menatap nanar apapun yang ada di hadapan matanya.

"Saya rasa saya nggak punya pilihan lain," ujar Naqiya pada lelaki yang masih setia duduk menemaninya. "Saya terima lamaran Pak Bara. Tapi dengan syarat."

Bara mengangguk, "Katakan."

"Saya mau perjanjian pra-nikah."

Lagi, Bara mengangguk, "Apa isi perjanjian itu? Bukan setelah bayi kita lahir lalu kamu minta cerai 'kan? "

Naqiya menghela napas. Dosennya ini sangat menyebalkan. Bisa-bisanya dia guyon di situasi seperti ini. "Sayangnya bukan. Perjanjian ini hanya bukti kalau pernikahan kita nanti tidak main-main. Maka saya minta Bapak menyetujui perjanjian jika Pak Bara selingkuh, 70% aset yang Pak Bara punya akan menjadi milik saya. Begitu pula dengan saya."

Bara mengulurkan tangannya, "Deal."

Tanpa pikir panjang pria itu setuju atas syarat yang diajukan oleh Naqiya.

"Makasih," Naqiya menjeda kalimatnya, "Saya ada satu permintaan lagi."

"Apa itu?" Tanya Bara pada Naqiya lagi. Permintaan apalagi yang akan Naqiya minta pada pria itu?

"Setelah menikah nanti, saya nggak mau ada kontak fisik," ujar Naqiya tegas. "Maksud saya kontak fisik hubungan suami istri," tambahnya.

Sontak permintaan Naqiya membuat Bara bergidik ngeri. Tidak mungkin! Tidak mungkin dirinya tidak tergoda jika setiap hari, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, matanya selalu disajikan oleh pemandangan Naqiya yang sangat cantik. Mustahil jika Bara tidak tergoda.

Astaga.

Bara ini pria normal.

"Saya nggak setuju!" ucap Bara tak kalah tegas.

Naqiya menoleh, "Lah kenapa?" Tanyanya.

"Kamu tadi bilang, mau pernikahan ini serius, jadi kita juga harus totalitas dalam menjalankan pernikahan ini nanti. Seperti pernikahan pada umumnya," ucap Bara. "dan kalo kamu lupa, saya ini masih pria normal, Naqiya."

Jantung Naqiya berdegup, dirinya masih takut jika harus disentuh oleh Bara. Traumanya diperkosa oleh pria itu masih membekas dalam benaknya. Rasanya sungguh menyakitkan. Ia takut, takut melakukan hal itu lagi dengan pria bernama Bara ini.

Bara melihat gerak-gerik Naqiya yang gelisah. Terlihat jelas bahwa perempuan itu sedang berpikir.

"Saya takut, Pak," cicitnya. Suara Naqiya sangat pelan. Beruntung masih bisa ditangkap oleh telinga Bara.

Bara melunak, kembali menyentuh pipi Naqiya dengan lembut. Jemarinya menggiring kepala Naqiya untuk menatapnya.

"Saya mau menunggu sampai kapanpun kamu siap, Naqiya."

🍀🍀🍀

Di kampus, para mahasiswa baru sedang menjalankan orientasi perkenalan kampus, atau yang biasa disebut ospek. Mereka menggunakan perlengkapan ospeknya lengkap dengan topi dan jas almamater. Ospek dilakukan bertahap, saat ini ia sudah berada di ospek terakhir yaitu ospek program studi.

Sabtu pagi, Naqiya sudah dijemput oleh Cantiya. Sudah beberapa hari semenjak 'diare' nya, sehingga Naqiya kembali mengikuti program kuliah lagi.

Jam tangan Naqiya menunjukkan pukul 6.35 pagi, sementara jadwal ospek itu pukul 6.30, yang artinya Naqiya dan Cantiya terlambat. Cantiya sudah mengendarai motornya seperti orang kesetananya. Karena mereka tahu pasti ada hukuman yang menanti mereka disana.

"CEPAT!" Senior itu meneriaki Cantiya dan Naqiya agar mereka segera tiba di tempat yang ditunjuk.

"Matiin motornya!" Lagi, jarak dekat tapi berteriak.

"Jalan jongkok sekarang!"

WHAT?!

Astaga! Tempat mereka diberhentikan dengan fakultas nya itu masih jauh. Nggak mungkin bisa ditempuh dengan berjalan jongkok! Jalan kaki aja udah gempor, batin Naqiya.

Ketika senior itu ingin berteriak lagi, tiba-tiba ponsel Naqiya berdering. Nama Pak Bara Dosen tertulis disana. Kenapa pria itu menelepon sepagi ini? Refleks Naqiya menjauh dari mereka dan meminta izin untuk mengangkat telepon. Barangkali penting.

"Halo assalamualaikum," salam Naqiya.

"Waalaikumussalam, kamu dimana?"

"Di kampus, Pak. Saya terlambat ini, ada apa? Kalo ga penting saya matiin dulu," balas Naqiya.

"Kamu ngga usah ikut ospek dulu, Naqiya. Istirahat aja di rumah."

"Nggak papa saya kuat kok. Repot nanti izinnya."

"Saya yang izinin."

"Nggak usah, Pak, udah ya assalamualaikum."

"Na-"

Ucapan Bara terputus karena Naqiya mematikan teleponnya. Perempuan itu buru-buru berlari menghampiri Cantiya.

Tanpa menggubris ucapan Bara, Naqiya kini menjalankan hukumannya bersama Cantiya.

"Dasar senior gila!" umpat Cantiya. Mengutuk senior-senior yang seenak udelnya menghukum mereka.

"Udahlah emang kita juga salah, Can. Kamu loh juga baru jemput aku setengah enem lewat," ujar Naqiya.

"Iyasih, tapi kan harusnya ada toleransi keterlambatan. Mereka juga ngga mau dengerin alasan kita telat apa."

Naqiya bergidik, "Kita udah ngelewatin toleransi keterlambatan itu mungkin?"

Meskipun berusaha tetap enjoy, tapi Naqiya tidak bisa menutupi bahwa rahimnya keram sekali. Berjalan jongkok sangat menyakitkan.

Naqiya khawatir akan kandungannya. Tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Rahim Naqiya terus mengalami keram. Sampai perempuan itu kesakitan dan pandangannya gelap.

Cantiya melihat Naqiya sedikit limbung, "Loh, Nay?!"

"NAQIYA!" Sontak Cantiya menghampiri sahabatnya yang kini sudah ambruk. Mau meminta bantuan seniornya juga sudah jauh, walaupun senior-seniornya itu segera menghampiri duluan.

Namun, tanpa Cantiya sadari kedatangannya, dosen tampan kebanggaannya tiba-tiba berdiri disana dan langsung memapah tubuh Naqiya. Bisa Cantiya ketahui bahwa Bara kini begitu khawatir.

Segera saja Bara membawa tubuh Naqiya ke dalam mobilnya untuk segera mendapat pertolongan medis.

Senior-senior itu telah sampai di depan mobil Bara. Sejatinya mereka memang bertanggung jawab atas hukuman yang mereka berikan kepada adik tingkatnya.

Bara menatap senior-senior itu dengan tajam, dan berujar, "Kalian berurusan dengan saya." Sesaat setelah mengucapkan itu, Bara melajukan pajero sport hitam miliknya. Lihat saja kalau sampai Naqiya dan bayinya kenapa-napa, tiada ampun bagi mereka.

***

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang