12 | Aborsi atau Lamaran?

200K 13.3K 335
                                    

"Apa-apaan kamu, Naqiya?!" Sentak Bara dengan tangannya yang menarik bahu Naqiya.

Tidak habis pikir pada Naqiya. Untuk apa perempuan itu mengunjungi tempat haram seperti ini. Bara bukanlah anak kemarin sore yang tidak tahu tempat apa ini.

Firasat pria itu benar, Naqiya sedang mengandung bayinya.

Brengseknya perempuan itu berniat untuk membunuh bayi yang tak berdosa.

Naqiya terkesiap, bagaimana bisa Pak Bara menemuinya disini? Naqiya yakin, Bara pasti paham tempat apa ini, dan kemungkinan Bara sudah tahu jika dirinya tengah mengandung dan berniat buruk.

"Bapak bilang apa-apaan?" Tanya Naqiya balik.

"Ya!" Napas Bara bergemuruh, amarahnya kian menggebu-gebu. Tidak pernah ia bayangkan Naqiya tega melakukan ini. Naqiya merealisasikan apa yang perempuan itu ucapkan.

"Lebih baik Bapak pergi karena Bapak tidak ada sangkut pautnya disini," ketus Naqiya sebelum dirinya melanjutkan langkahnya memasuki rumah kecil di ujung gang itu.

"Ikut saya!" Bara menarik paksa pergelangan tangan Naqiya.

"Lepas!" Naqiya berusaha melepaskan tangannya yang berada di genggaman tangan Bara.

"Apa? Mau teriak kamu?"

"YA! TOL---"

Segera tangan bara menyumpal mulut perempuan itu. Tangan satunya berusaha untuk terus menarik badan Naqiya. Perempuan itu terus memberontak sampai ia menggigit tangan Bara. Tentunya hal itu membuat sang empu kesakitan.

Setelah lepas dari kungkungan Bara, Naqiya berlari, berusaha menjauhi Bara. Pria itu tidak boleh mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung.

"Awas, Naqiya!" Perempuan itu tak melihat ketika ada batu besar menghambat larinya. Sehingga Naqiya terpeleset.

BUG!

Beruntung Bara menahan berat tubuh Naqiya sehingga kepala Naqiya belum sempat menyentuh dinding rumah-rumah di antara gang tersebut. Bara sudah habis kesabaran. Ia menggendong Naqiya ala bridal style meskipun perempuan itu tetap memberontak.

Bara memasangkan sabuk pengaman pada Naqiya kemudian melajukan kendaraannya. Naqiya sudah aman berada dengannya. Tidak mungkin gadis itu bisa melarikan diri. Di dalam mobil mereka hanya diam, seperti biasa keheningan menyelimuti keduanya. Naqiya emosi, begitupun dengan Bara.

Setibanya di rumah Bara, pria itu tetap menggendong Naqiya setelah memarkirkan mobilnya di pekarangan rumahnya. Bara membopong Naqiya ke kamarnya, tidak lupa ia mengunci pintu kamar tersebut.

Mata Bara menatap Naqiya yang duduk di ranjang dengan tajam, tangan Bara bersedekap di depan dada.

"Kamu hamil dan kamu berniat menggugurkannya. Begitu, Naqiya?" Tanya Bara. Pria itu tetap menatap Naqiya intens. Tatapannya seperti ingin membunuh Naqiya hidup-hidup.

"Bukan urusan Bapak," jawab Naqiya memalingkan wajahnya. Bara berdecak.

"Bukan urusan saya?" Bara mendekati Naqiya dan menyentuh dagu perempuan itu supaya menatapnya, "Saya ingatkan lagi, bayi yang kamu kandung itu bayi saya."

"Bukan," Naqiya menatap Bara seperti menantang pria itu, "Saya bukan cuma melakukan itu dengan Bapak."

Kalimat Naqiya sukses membuat Bara tertawa. Benar-benar perempuan ini berusaha mengelabui dirinya. Bahkan 100% Bara yakini hanya dirinyalah satu-satunya pria yang menyentuh Naqiya.

"Kalo Bapak nggak percaya, bukan masalah buat saya," Naqiya berdiri, "Izinkan saya keluar dari rumah ini."

Tapi yang Bara lakukan justru mendekat pada Naqiya. Membuat perempuan itu kembali duduk di ranjang, dengan Bara yang berlutut di hadapannya.

"Tolong," Bara menelan salivanya sebelum melanjutkan perkataannya, "Tolong jangan bunuh bayi saya, Naqiya. Yang salah itu saya, bukan dia."

Naqiya masih terdiam, dirinya termenung.

"Kalau kamu memang pengen begitu, seharusnya yang kamu bunuh itu saya, bukan bayi saya, Naqiya," tambah Bara.

Demi tuhan, sampai detik ini pun jika ia bisa membunuh pria di depannya ini maka Naqiya akan membunuhnya.

Mati-matian Naqiya menahan air matanya, sejujurnya ia juga tidak tega untuk membunuh darah dagingnya sendiri. Namun, dirinya tidak siap dengan segala kenyataan dan masa depan yang akan ia hadapi. "Apa mau Bapak?" Tanya Naqiya, nadanya tetap dingin.

"Izinkan saya bertanggung jawab atas perbuatan saya. Izinkan saya untuk menikahi kamu."

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang