Air mata Naqiya masih terus mengalir sembari tangannya memasukkan pakaian yang ia miliki ke dalam koper. Zainab yang sedari tadi membantu putrinya itu menghapus buliran air mata yang Naqiya tumpahkan.
"Umi. Nay, nggak sanggup..." Kepala Naqiya tertunduk, tangisannya semakin menjadi.
Zainab menyaksikan putrinya begitu lemah di hadapannya ini tak kuasa untuk menahan air mata. Ia berdiri dan merengkuh Naqiya untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Nay nggak sanggup, Umi..." Naqiya terisak di pelukan Uminya itu.
"Umi memang kecewa sama Nay, tapi..." Zainab mendongak, menahan air matanya meluncur, "Sekecewa-kecewanya Umi, Nay itu tetap anak Umi."
Tangisan Naqiya makin menjadi, perempuan itu semakin erat memeluk Zainab. "Nay nggak bi-bisa hidup tanpa Um-mi sama Abi," ucapan perempuan itu terbata karena isakannya.
Zainab mengelus kepala Naqiya yang tertutup oleh pashmina, "Bisa, Nay pasti bisa. Nay udah mau jadi Ibu, Nay harus kuat dong," ujar Zainab mencoba menghibur putri bungsunya itu.
Naqiya menarik kepalanya dan menatap Uminya, "Nay nggak tahu."
Ibu jari Zainab menghapus air mata yang mengalir di pipi Naqiya, "Nggak tahu apa?"
Naqiya menggeleng, "Nay nggak tahu, Umi...Apa Nay bisa jadi Ibu sehebat Umi. Jadi Ibu sekuat Umi, Nay belum siap sama semua ini," lagi, air mata Naqiya mengalir lagi.
"Bismillah," Zainab mengelus kepala anaknya itu lagi, "Semua udah garis takdir. Nay begini pasti ada hikmah buat Nay. Insha Allah, semua akan baik-baik aja selama Nay selalu minta ampun sama Allah. Minta petunjuk pada Allah untuk jadi Ibu yang baik untuk cucu Umi."
Zainab berjongkok, tangannya kini mengelus perut Naqiya, "Assalamualaikum cucu Umi."
"Apapun yang sudah terjadi di hidup Nay, itu sudah garis takdir. Jangan anggap anak ini petaka buat Nay. Sekarang Nay harus berpikir kalau Allah sudah mempercayai Nay menjadi seorang Ibu, banyak-banyak bersyukur ya, Sayangnya Umi," Jelas Zainab lagi.
Naqiya termenung. Dulu dirinya bahkan berniat untuk membunuh bayi yang dia anggap sebagai petaka ini.
"Nay harus bagaimana, Umi?" Tanya Naqiya.
Zainab memeluk putrinya itu, kali ini dirinya yang lagi-lagi tak kuasa menahan tangisannya.
"Maafkan Umi yang nggak bisa mencegah Abimu, Nay," isakan wanita itu mengilukan hati Naqiya.
"Nggak, Umi nggak salah," kini Naqiya lah yang menenangkan sang Ibu. Zainab tidak bersalah. Masih beruntung wanita itu mau memaafkan Naqiya.
"Nanti Naqiya pikirkan ke depannya gimana ya, Umi. Lagipula Pak Bara juga nggak lepas dari tanggung jawabnya," jelas Naqiya.
Barang Naqiya sudah selesai dikemasi. Barang yang ia bawa tidak begitu banyak, satu koper saja sudah cukup. Sebelum pamit, ia memeluk sang Umi dengan erat.
Tak hanya memeluk, di depan Bara, Naqiya mencium kaki Zainab. Hal serupa ia lakukan juga pada sang Abi.
"Abi, Nay pamit."
"Turuti Abimu, Nay. Pergilah dari rumah ini," Zainab mengangkat tubuh putrinya, mengajaknya untuk berdiri. Ia menghapus air mata Naqiya dan memeluk putrinya itu. "Pergilah, jaga baik-baik kandunganmu. Doa Umi selalu untukmu, Nay."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Dosenku
General Fiction[CERITA DIPRIVATE, FOLLOW DULU SEBELUM BISA BACA LENGKAP!] "Kamu sakit atau... hamil?" "Kalaupun saya hamil, anak ini tidak akan hidup lama, Bapak tau karena apa?" Gadis itu melangkah pelan mendekati Bara, "Karena saya akan menggugurkannya." ✨✨✨ Naq...