"Kapan lagi jadwal check up Bayi, Naqiya?" Tanya Bara saat mereka kini telah sama-sama mengistirahatkan tubuh di atas ranjang.
Seperti biasanya, setiap malam Bara selalu mengelus perut Naqiya yang buncit. Kata Bara, dia senang menyentuh calon bayinya itu. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah dia menyentuh perut Naqiya, bukan bayinya.
"Masih dua minggu lagi kok, Pak."
"Rewel nggak Bayi hari ini?" Bara selalu bertanya seperti itu. Karena ingin tahu perkembangan bayinya, dia juga tidak ingin Naqiya menanggung beban itu sendiri.
"Tadi pas minum susu agak mual sih, Pak. Nggak tau juga susunya baunya agak aneh gitu, padahal expired nya masih lama," jawab Naqiya. "Di kampus bayi aman kok."
"Mungkin susunya nggak kamu tutup rapet," jawab Bara. Kali ini dia merubah posisi tubuhnya sehingga kepala lelaki itu berada di depan perut Naqiya yang telentang.
Cup!
Bara mengecup perut Naqiya dengan lembut. Meskipun terhalang oleh pakaian tidur yang dikenakan Naqiya.
"Kok dicium sih pak?" Protes Naqiya, "Saya ngebolehinnya megang bayi doang juga!"
"Saya nyium bayi kok," Ujarnya, "Daripada saya cium kamu? Emang kamu mau?"
Naqiya mendengus, Bara memang pintar membolak-balikkan perkataannya. Ujung-ujungnya Naqiyalah yang akan kalah.
"Enggak mau lah," jawab Naqiya, "Udah sini jangan ngadep situ, geli kena napesnya Bapak."
Bara terkekeh, dirinya mengubah posisinya lagi sehingga kini dirinya menghadap Naqiya. Naqiya sendiri masih telentang sembari mengelus perutnya.
"Naqiya," Panggil Bara. Hal itu membuat Naqiya menoleh ke arah pria itu.
"Hm?"
"Kalo saya kasih amanat ke kamu apa kamu bersedia jalaninnya?" Tanya Bara. Pria itu menatap Naqiya tiada ragu.
"Hah? Amanat apa?" Tanya Naqiya bingung. Baru saja menikah, Bara mau memberinya wasiat?
Apakah lelaki itu sebentar lagi...
"Amanat nge-handle bisnis Ibu saya disini."
Bisnis ibu Bara? Di sini? Sampai detik ini Naqiya baru tahu kalau Almarhumah Seruni adalah seorang pembisnis. Hebat sekali ibu mertuanya itu. Tapi kenapa anaknya semenyebalkan Bara?
"Bu Seruni pebisnis? Bisnis apa, Pak? Saya bertahun-tahun disini kok nggak ada tau kalo Bu Seruni pengusaha disini?" Naqiya bertanya. Dirinya penasaran sekali.
Tangan Bara menyingkirkan anak rambut yang sedikit jatuh di wajah Naqiya. Kemudian beralih lagi untuk mengelus perut istrinya itu.
"Pusatnya di Jogja, di sini hanya cabangnya, Naqiya. Dulu, Ibu memang pebisnis, bisa dibilang pebisnis muda. Beliau suka menggeluti bidang itu dan yang saya tahu dari dulu memang ambisi Ibu benar-benar luar biasa. Sampai saat ini bisa dilihat hasil dari jerih payahnya itu," jelas Bara.
Wah!
Hebat sekali ibu mertuanya itu. Zaman dahulu pasti tidak banyak wanita yang terjun menjadi entrepreneur, apalagi di usia muda seperti Seruni.
"Saya tau Ibu gagal nggak sekali dua kali, Naqiya. Dulu sempat bangkrut, sampe Bapak juga mesti jual aset buat menutupi hutang-hutang Ibu. Yang saya rasakan sampai saya mesti diasuh Kakek saya selama beberapa tahun karena keterbatasan biaya orangtua saya," Tambah Bara.
Naqiya menyimak itu dengan mengangguk-angguk. Dia menunggu Bara untuk melanjutkan kalimatnya. Semakin Naqiya penasaran pada sosok suaminya itu.
"Kalo saya boleh memilih, lebih baik saya hidup susah sama orangtua saya ketimbang harus hidup dengan Kakek saya."
"Kenapa, Pak?" Naqiya mulai tersihir akan cerita Bara.
Tiba-tiba Bara duduk dan membuka kaosnya. Naqiya sempat berjengit, jaga-jaga jika Bara akan melakukan sesuatu yang lebih. Namun, tidak. Apa yang Bara tunjukkan malah membuat Naqiya ikut duduk untuk menyentuhnya.
Di sana, di punggung tegap dan gagah itu bisa Naqiya lihat bekas luka panjang yang menyayat. Naqiya menyentuh bekas luka tersebut dengan tangannya. Matanya menatap nanar.
Bara berbalik untuk menatap Naqiya, "Tiduran lagi gih," Pintanya. "Saya masih mau megang si Bayi."
Naqiya mengangguk, dirinya merebahkan kembali tubuh itu, begitu juga dengan Bara.
"Saya dulu nakal, Naqiya. Saya Bara si pemberontak. Setiap saya melakukan kesalahan selalu dihukum begini sama Kakek saya. Karena baginya, mendidik dengan kekerasan itu jauh lebih 'manjur'."
"Nakal gimana maksudnya, Pak?"
Tangan Bara masih mengelus, tetapi tatapannya intens ke istri cantiknya itu. "Seperti nggak mengerjakan tugas sekolah, lupa cuci piring, ato bahkan sedikit melukai kerbau Kakek saya pas saya mandikan."
ASTAGA
Itu kesalahan yang sangat sepele bagi Naqiya. Pantas saja Pak Bara begitu kaku dan menjadi dosen yang tidak berperikemahasiswaan.
"Bapak dicambuk?"
Bara mengangguk, "Tergantung kesalahan saya juga. Kalo masih bisa dipukuli ya dipukul."
Naqiya kali ini bersedih. Sebegitu menyakitkannya hidup Bara kecil. Anak sekecil Bara harus menerima siksaan sedemikian rupa hanya karena masalah sepele.
"Saya nggak mau mendidik anak saya begitu. Jangan sampe anak saya merasa tersakiti karena orangtuanya," Ujar Bara. "Mangkanya saya juga sempat marah sama kamu pas saya tau kamu mau menggugurkan dia."
Ah, iya, Naqiya ingat betapa emosinya Bara ketika memergoki Naqiya ke dukun beranak untuk membunuh anaknya itu.
"Maaf jadi curhat ke kamu gini," ujar Bara. Naqiya menggeleng, tangan kecilnya merengkuh tangan Bara dan mengelus tangan kasar milik Bara itu.
"Nggak papa kok, saya makasih Bapak mau cerita begini ke saya," ujar Naqiya.
Bara tersenyum, "Tadi kamu nanya bisnis Ibu saya ya?"
Naqiya mengangguk.
"Butik tempat kamu beli gaun kemarin itu salah satu cabang bisnis beliau."
"SRN Boutique?!"
"Iya, Naqiya, Seruni Boutique."
*****
Sedih nulis kisah hidupnya Pak Bara. Pukpuk Pak Bara sini peyuk🤗
Huhu ga nyangka hampir 1k vote😭 Terima kasih banyak!🤗 Ayo makin semangat ngevote dan komennya yaa. Kita dukung Pak Bara dan Naqiya! Biar aku jg makin semangat up nya hehe🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Dosenku
General Fiction[CERITA DIPRIVATE, FOLLOW DULU SEBELUM BISA BACA LENGKAP!] "Kamu sakit atau... hamil?" "Kalaupun saya hamil, anak ini tidak akan hidup lama, Bapak tau karena apa?" Gadis itu melangkah pelan mendekati Bara, "Karena saya akan menggugurkannya." ✨✨✨ Naq...