8 | Mual

186K 12.4K 325
                                    

Sejujurnya bagi Naqiya jadwal hari ini adalah neraka untuknya. Bagaimana tidak? Hari ini ada dua mata kuliah yang masing-masing 3 SKS dan dosennya adalah dosen bajingan itu. Naqiya adalah korban pemerkosaan, dan yang melakukan itu adalah dosennya sendiri yang seharusnya membimbingnya untuk ke masa depan yang lebih baik, bukan justru malah menghancurkan masa depannya.

Bahkan untuk menyimak materi yang diberikan dosen itu saja Naqiya sudah tidak kuat. Muak rasanya melihat lelaki itu yang masih bisa bernapas tanpa rasa bersalahnya.

Hari ini ia melupakan sesi sarapannya karena Naqiya kesiangan. Sehingga ia harus menggabungkan sesi sarapan dan juga makan siang nanti bersama Cantiya. Mungkin karena hal itu Naqiya sedikit mual pagi ini. Kemungkinan asam lambungnya naik.

Ia mencoba fokus pada apa yang disampaikan oleh Bara, tetapi tidak bisa. Mualnya semakin parah. Rasa ingin memuntahkan seisi perutnya makin melonjak.

Ya, akhirnya perempuan itu memilih untuk ke toilet.

"Pak, permisi saya izin ke toilet," izinnya pada Bara yang sedang mengajar. Pria itu hanya mengangguk mengizinkan.

Naqiya mencoba mengeluarkan seisi perutnya, mungkin karena masih kosong jadi hanya air yang keluar, itupun sedikit. Sangat tidak melegakan. Sehingga perempuan itu memilih untuk kembali ke kelas.

Setibanya di kelas, tepat di hadapan semua mahasiswa, Naqiya mual kembali, ia menahan muntahannya dan langsung berlari ke kamar mandi. Bara yang menyadari itu mengernyitkan dahi. Naqiya sakit?

"Ya, silakan kerjakan soal ini, saya keluar sebentar."

"Baik, Pak."

Cantiya, gadis itu melihat sahabatnya mual. Dirinya sudah meyakini semua itu karena kecerobohannya melewatkan sarapan. Ingin menyusul Naqiya, tetapi dosen ganteng memberinya tugas untuk segera dikerjakan.

Bara berdiri di sebelah pintu toilet wanita, bersandar di dindingnya dengan tangan yang dilipat. Jujur saja, dirinya khawatir akan Naqiya. Suara muntahannya terdengar jelas di telinga Bara. Suara itu sangat memilukan. Apa yang sedang Naqiya muntahkan?

Beberapa saat kemudian suara itu berhenti, bersilih dengan suara air kran yang sepertinya dinyalakan oleh Naqiya. Sampai saat langkah perempuan itu berhenti saat menyadari Bara bersandar disana. Namun, ia tak ambil pusing, Naqiya kembali melanjutkan langkahnya.

Tangan Bara mencekal pergelangan tangan Naqiya, "Kamu sakit?" Tanyanya.

Naqiya mengernyit, "Maaf apa bisa Bapak lepaskan ini?" ia melirik pergelangan tangannya, "Atau saya akan teriak disini."

Oke, Bara melepaskan cengkeramannya, "Kamu sakit, Naqiya?" tanyanya lagi.

"Saya sakit bahkan mati sekalipun itu bukan urusan Bapak. Asal Bapak tau, saya muak diajar oleh Bapak. Kalau bisa berhenti saya akan berhenti. Jadi lebih baik Bapak berhenti mengurusi hidup saya!" Ketus Naqiya pada Bara.

Bara terdiam, tetapi dia mengambil langkah mendahului Naqiya sehingga kini ia berada di depan Naqiya, "Kamu sakit atau... ha-mil?"

DEG.

Detak jantung Naqiya berhenti di tempat. Tidak, tidak mungkin dirinya hamil anak dari bajingan ini.

"Kalaupun saya hamil, anak ini tidak akan hidup lama, Bapak tau karena apa?" Gadis itu melangkah pelan mendekati Bara, "Karena saya akan menggugurkannya."

Kemudian gadis itu melenggang pergi.

Bara benar-benar tidak habis pikir dengan perempuan itu. Bisa-bisanya dia bilang akan menggugurkan anaknya jika memang dirinya hamil? Demi Tuhan, sampai Bara mati sekalipun dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

***

Bara mengendarai mobilnya mengikuti Naqiya perlahan. Semenjak kejadian mualnya Naqiya tadi, entah kenapa Bara ingin melindungi gadis itu meskipun belum tentu juga Naqiya sedang mengandung.

Mata elang Bara menatap Naqiya yang masuk ke gerbang rumahnya. Sekarang Bara tahu, rumah Naqiya tidak begitu jauh dari kampus. Dirinya sedikit tenang mengetahui hal itu. Setidaknya mudah untuk memantau keadaan gadis itu.

Bara memutar mobilnya untuk pulang ke rumah. Semenjak kematian Ibunya, Bara merasa sangat hampa. Tidak ada lagi pelipur laranya. Sekarang ia dan ayahnya juga harus terpisah karena Gatot lebih memilih untuk tetap tinggal di Jogjakarta bersama dengan berjuta kenangan dengan Mediang Seruni.

"Bara?"

Bara menoleh, disana ada teman SMAnya yang dulu pernah dekat dengannya.

"Zahra! Apa kabar kamu, Ra?" Tanyanya begitu bahagia melihat teman SMA nya ini.

"Kamu ini pancen nggak pernah ada kabar sama sekali!"

Bara terkekeh, "Gimana-gimana, Ra? Denger-denger kamu sudah menikah juga."

Zahra mengangguk, dia menunjuk ke arah lelaki yang sedang mendorong stroller bayi, "Itu suami sama anak aku, Bara."

"Alhamdulillah, turut bahagia sama keluarga kecilmu, Ra."

"Iya, Bar, alhamdulillah. Kamu kapan nyusul nih, Bar?"

Bara terkekeh, "Belum ketemu jodohnya, Ra."

"Halah, kamu nya aja yang dingin, Bar, jadi cewek-cewek yang mau deketin kamu takut duluan," Zahra tertawa meledeknya.

"SAYANG!" Zahra memanggil suaminya. "Sini!"

Pria itu melangkah ke arah Zahra dan Bara, tentunya disertai dengan bayi mereka, "Kenapa, Sayang?" Tanya nya pada sang istri.

"Kenalin, Sayang, ini Bara, temenku waktu SMA yang dulu segeng sama aku pernah aku ceritakan ke kamu itu."

Aufar, suami Zahra, tersenyum ke arah Bara, "Saya Aufar, suaminya Zahra. Salam kenal, Bara!"

Bara terkekeh, "Siap, Pak Aufar!"

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang