18 | Pulang

159K 12K 260
                                    

Mobil pajero sport hitam itu sudah terparkir rapi di halaman rumah Naqiya. Demi Tuhan, untuk sekadar turun dari mobil itu saja Naqiya tidak berani.

Tidak seperti biasanya, pintu rumah Naqiya kini tertutup. Biasanya pintu rumah itu selalu terbuka, karena keluarga Naqiya dengan para tetangganya begitu dekat. Semua itu karena sifat Muhammad dan Zainab yang sama-sama ramah. Sehingga banyak tetangga yang menyukai keluarga ini.

Bara menyaksikan Naqiya yang belum juga turun. Tangan pria itu terulur untuk melepaskan sabuk pengaman yang berada di depan tubuh Naqiya untuk melindungi dirinya.

Sabuk itu sudah terlepas, tapi tidak dengan pandangan Naqiya. Masih melihat rumahnya dengan intens.

Dia takut. Sangat takut.

"Mau sampai kapan kamu liatin rumahmu itu?" Tanya Bara, kali ini tatapan Naqiya terpalingkan.

Naqiya meremas jemarinya sendiri, "Saya nggak berani, Pak." Ujar gadis itu sembari menggeleng.

Bara menghela napasnya. Lelaki itu membuka pintu mobil dan turun. Kemudian ia berjalan memutari mobil tersebut.

Bara membukakan pintu mobil di samping Naqiya.

"Ayo, saya ada disini, Naqiya," Bara menyentuh tangan Naqiya dan mengajak perempuan itu untuk turun. Beruntungnya Naqiya menuruti Bara.

Bagaimana caranya agar Naqiya mempercayai Bara? Bara ada di sampingnya. Seharusnya dia merasa aman. Ini semua juga salah Bara, bukan Naqiya. Sudah seharusnya lelaki itu untuk melindungi Naqiya di saat-saat seperti ini.

Tangan Bara tetap menggenggam tangan Naqiya, sampai mereka tiba di depan pintu rumah itu.

Bara mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Sementara, Naqiya masih membatu di sampingnya.

"Waalaikumussalam!" Saut seseorang dari dalam rumah. Naqiya yakini itu suara Abinya.

Pintu terbuka. Ya, tebakan Naqiya benar. Abinya yang membukakan pintu tersebut.

"Mau apa kamu kesini lagi?" Tanya Abinya ketus.

"Abi," ucap Naqiya. Untuk mencium tangan Abinya saja Naqiya tidak mampu. Karena Muhammad sudah menepis uluran tangan anak perempuannya itu.

"Saya bisa menjelaskan semuanya, Pak," ujar Bara yang malah mendapati pelototan sengit dari Muhammad.

"Saya tidak butuh penjelasan Anda," Muhammad melirik Naqiya, "Kamu masuk! Dan.... sekarang juga bereskan semua barang-barangmu, Naqiya!"

Sontak Bara dan juga Naqiya terkejut mendengarnya. Naqiya diusir?

"Abi...." Tatapan perempuan itu penuh luka, kesalahannya memang fatal, tapi apakah iya abi yang sangat ia sayangi tega melakukan ini padanya?

"Keluar dari rumah ini sekarang juga!!" Kemarahan Muhammad pada putri bungsunya ini sudah tidak mampu dipendam lagi. Wajah Muhammad memerah setelah mengetahui kenyataan yang sangat memalukan yang datang dari Naqiya.

"ABI!! Tolong ampuni Naqiya Abi...Nay salah Abi... ampun..." Naqiya menangis tersedu-sedu setelah bersujud pada kaki Abinya.

Bara yang melihat itu ikut berjongkok di samping Naqiya. Tangannya menahan bahu Naqiya agar kembali berdiri.

"Saya bisa menjelaskan semuanya, Pak," Bara berujar, "Saya yang bertanggung jawab atas semua ini. Saya yang salah, bukan Naqiya!" Ujar Bara, dirinya masih berjongkok sehingga kepalanya mendongak untuk menatap Muhammad.

Zainab yang mendengar keributan dari luar buru-buru berlari menghampiri. Sudah dia duga sebelumnya siapa yang datang.

"Omong kosong! Apapun itu dia sudah mencoreng nama baik keluarga ini! Sekarang bereskan barangmu dan segera pergi!" Muhammad seperti orang yang kesetanan, berteriak seperti itu tidak pernah dilakukan oleh dirinya sebelumnya.

Uminya, Zainab, memapah tubuh Naqiya dan mengangkatnya, "Ayo, bereskan barangmu, Nay," suara Zainab sangat lembut. Mau tidak mau Naqiya menuruti itu.

"Naqiya akan pergi, Pak," Bara berdiri dan berbicara dengan Muhammad sesaat setelah Naqiya dan Zainab masuk. "Tapi saya minta satu dari Bapak. Setelah itu saya janji akan membawa anak Bapak pergi."

Baru saja akan meninggalkan Bara, Muhammad berbalik, "Apa?" Tanyanya.

"Nikahkan kami."

Amarah Muhammad kembali menguasai, "Dasar bajingan!" Muhammad meninju tepat di pipi Bara

Memang sakit, tapi seperti Bara sudah siap dengan hal itu, Bara hanya terdiam.

"Saya mohon, jadilah wali untuk pernikahan anak Bapak, setelah itu saya akan bawa pergi Naqiya."

Muhammad tidak tahu harus bagaimana lagi. Dirinya juga memikirkan keselamatan anaknya itu. Lagipula pria di depannya ini lah lelaki yang menanam benih di rahim Naqiya. Bara memang harus bertanggung jawab.

"Ya, segeralah pergi dari rumah ini!" Sesaat setelah mengucapkan itu, Muhammad meninggalkan Bara dan masuk ke dalam rumah.

***

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang