Entah sudah berapa jam lamanya dosen kebanggaan mahasiswi-mahasiswi itu berkutat di depan laptopnya. Jemarinya memijat tulang hidung di antara alisnya yang terasa sangat pegal. Memikirkan kejadian kemarin membuatnya tambah suntuk, bayangkan saja, Ia menerima pesan dari mahasiswinya, dan itu membuatnya emosi dan sangat jengkel. Benar-benar mahasiswi baru yang tidak punya sopan santun.
Apakah segitu aibnya belum menikah di usianya saat ini? Demi Tuhan, Bara baru saja menginjak usia 28 tahun dan itu masih sangat normal untuk pria sepertinya belum memikirkan soal pernikahan.
Oh tidak, dirinya salah, ralat. Sudah berkali-kali Bara mencoba mencari wanita yang serius dengannya. Namun sampai detik ini, tidak ada satupun dari mereka yang Bara yakini mampu menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.
Ponselnya berdering, menandakan panggilan masuk. Pria itu segera mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, Bara." Ujar seseorang di sebrang sana.
"Waalaikumsalam, Pak, ada apa?"
"Bara, pulanglah. Ibu masuk UGD lagi, Le."
Detak jantung Bara seakan berhenti di detik itu. Perempuan satu-satunya yang ia sayangi harus berjuang lagi melawan penyakitnya itu. "Iya, Pak. Bara pulang hari ini juga."
Tak lama setelah sambungan telepon itu terputus, pintu ruangannya diketuk dan terdengar salam dari sana.
"Waalaikumsalam, masuk!"
Perempuan keturunan Arab dengan hidung yang mancung indah itu membuka pintu. Sesaat hati Bara berdesir melihat kecantikan mahasiswinya ini.
"Permisi, Pak. Ini laporan kelas A sudah selesai semua," lagi, perempuan itu tersenyum. Lesung pipinya yang dalam sangat indah untuk dipandang.
"Oke, terima kasih ya, Naqiya."
Senyuman indah itu kembali menyapa.
Ponselnya kembali berdering, belum sempat Naqiya pamit, Bara sudah mengangkat telepon tersebut.
"Ibu kritis, Le. Pulango sekarang saja," ujar orang di seberang sana. Bara kembali tersentak. Pikirannya kalut. "Le..."
"Iya, Pak?" Ucapnya.
"Ibu berpesan ke Bapak sesuatu. Bapak mohon maaf kalau seandainya kamu keberatan soal ini, Le." Gatot menghentikan ucapannya, ia menghela napas, "Sebelum kritis tadi, Ibu minta dibawakan calon menantu, Le."
"Ma-mantu?"
Seusai telepon itu selesai, Naqiya hendak meminta izin untuk keluar dari ruangan tersebut. Raut wajah yang ditunjukkan Bara benar-benar mengkhawatirkan. Tidak pernah ia melihat dosen dingin ini bereksperesi seperti ini sebelumnya.
"Naqiya, apa kamu bisa membantu saya?" Tanya Bara. Mata elangnya menatap Naqiya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Ada apa, Pak?"
"Ibu saya kritis, Naqiya. Saya membutuhkan pertolongan kamu untuk berpura-pura menjadi calon istri saya, apa kamu bersedia?" Tanya Bara.
Naqiya terkejut, tubuhnya bahkan tersentak seperti terkena beban dorongan. "Gi-gimana, Pak?" Tanya Naqiya meyakinkan.
"Pagi ini kamu ikut saya terbang ke Jogja, nanti malam saya berikan tiket untuk kamu pulang. Hari ini kamu juga tidak ada mata kuliah lain 'kan? Apa kamu sanggup membantu saya, Naqiya?"
Naqiya Adeeza itu gadis nakal. Ia tahu bahwa abi dan uminya tidak akan pernah memberikan izin untuk dirinya pulang larut malam. Sehingga ia acapkali mengarang alasan ketika pulang terlambat. Namun, kali ini ia akan pergi ke Jogja bersama dosennya? Bahkan belum ada setahun ia mengenal Bara. Bisakah ia percaya pada lelaki itu?
"Bisakah kamu membantu saya, Naqiya? Demi kesembuhan Ibu saya..." Terlihat jelas raut kesedihan di wajah Bara. Mau bagaimanapun, Naqiya jelas tidak tega melihat manusia memelas seperti ini. Toh, tujuan mereka baik, untuk kesembuhan Ibu Bara.
"Iya, Pak, saya bersedia."
Bara menghela napas lega, "Alhamdulillah, terima kasih, Naqiya," Bara mengambil tasnya dan berdiri, "Ayo kita berangkat sekarang."
Mereka berjalan menuju mobil Bara untuk segera bergegas ke bandara. Sepanjang perjalanan hanya diisi keheningan. Bara terlalu kalut untuk membuka percakapan, dan Naqiya terlalu malu untuk melakukan hal yang sama. Naqiya memilih sibuk bermain ponselnya sekaligus mengabari Uminya bahwa ia akan pulang malam hari ini.
"Kamu cukup bicara ketika saya menyuruh kamu bicara saja ya, Naqiya? Tolong buat keluarga saya percaya kalau kamu adalah calon istri saya," ucap Bara tanpa sedikitpun melirik Naqiya.
"Iya, Pak, saya paham." Naqiya melirik pria itu, "Toh, saya juga mau jelasin apa kalau bukan apa-apa yang Bapak suruh."
"Bagus, terima kasih ya, Naqiya."
🍀🍀🍀
Hai hai! Naqiya lucky bgt😭 kapan lagi maba naik mobil pak Bara 😭 Aku dateng lagi nih🤗 Jangan lupa kasih vote dan comment nya yaa hihi🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Dosenku
General Fiction[CERITA DIPRIVATE, FOLLOW DULU SEBELUM BISA BACA LENGKAP!] "Kamu sakit atau... hamil?" "Kalaupun saya hamil, anak ini tidak akan hidup lama, Bapak tau karena apa?" Gadis itu melangkah pelan mendekati Bara, "Karena saya akan menggugurkannya." ✨✨✨ Naq...