17 | Pasang Badan

170K 12.2K 211
                                    

Hari ini dengan kemeja biru dongker yang digulung sampai ke siku, membuat penampilan Bara begitu menawan. Pria itu baru saja kembali ke kamar rumah sakit dimana Naqiya dirawat. Hari ini juga adalah hari Naqiya sudah boleh pulang.

"Pak Bara," panggil Naqiya.

"Hem?" Bara menoleh. Pria itu mengemasi barang-barang Naqiya ke dalam tas besar.

"Saya pulang kemana?"

Gerakan Bara berhenti, pria itu berbalik menatap Naqiya. Serius Naqiya bertanya seperti tadi. "Ya ke rumah kamu, memangnya kemana?" Tanya Bara.

Naqiya menggeleng, sejujurnya dia masih takut menghadapi orangtuanya. "Saya takut pulang, Pak."

"Naqiya," panggil Bara, "Saya udah bilang kalo kamu itu nggak sendirian. Saya disini, apapun risikonya nanti, saya sudah siap."

"Tapi saya belum siap, Pak."

"Siap nggak siap saya juga tetap mau menikahi kamu secepatnya. Ayahmu masih ada, Naqiya, artinya saya harus memintamu langsung kepadanya."

Naqiya menggeleng, "Gimana kalo Bapak dipukuli lagi nanti?" Tanya Naqiya. Serius dirinya takut akan murka keluarganya.

"Selama bukan kamu yang dipukuli, saya terima."

Naqiya cemberut, dia pikir Naqiya diam saja kalau melihat Bara dipukuli nanti? Melihat Bara dipukul Uminya saja Naqiya tidak tega. Apalagi jika nanti Bara bisa saja dipukuli Abang dan Abinya.

Ya, Naqiya memang masih membenci Bara. Tapi tetap saja bayi di dalam kandungannya tidak terima kalau sang ayah harus terluka.

"Kenapa?" Tanya Bara ketika menyadari Naqiya terdiam.

"Saya masih benci sama Bapak. Saya mau komunikasi sama Pak Bara bukan berati saya udah ngga benci sama Bapak," jelas Naqiya. Ego perempuan itu kembali. Sekali lagi, dirinya adalah korban pemerkosaan. Bagaimana mungkin dia tidak membenci orang yang memperkosanya?

Bara terkekeh, "Iya, Naqiya, iya. Lagian saya juga ngga masalah dibenci sama kamu. Selama kamu mau saya nikahi artinya kamu ada dalam pengawasan saya nanti. Itu aja udah cukup."

"Ya mau gimana lagi," jawab Naqiya.

***

Mobil Bara melaju di tengah jalan raya. Kemacatan tentu saja menghampiri mereka. Banyak pedagang kaki lima dan pengemis yang beberapa kali mengunjungi mobil mereka.

"Naqiya," panggil Bara. Naqiya yang sibuk menatap jalanan refleks menoleh pada dosennya tersebut.

"Apa?" Balasnya, singkat.

"Nanti check up kandungan mesti rutin ya, nanti sesuaiin aja sama jadwal saya, biar saya temenin kamu," jelas Bara.

"Iya gampang," jawab Naqiya. "Saya ngga mikir kesitu, Pak. Saya mikir apa yang bakal terjadi di rumah nanti."

Bara mengangguk, "Iya saya paham."

"Ngga tau deh, Pak, saya pasrah. Udah ga kuat lagi bayanginnya."

"Saya udah bilang kamu nggak sendirian. Saya siap pasang badan buat kamu, Naqiya. Udah udah, ngga usah terlalu dipikir, saya ngga mau kamu nanti stress nanti berdampak ke kesehatan bayi," jelas Bara.

Naqiya diam saja, matanya masih fokus menatap ke luar jendela.

"Apa kamu mau pulang ke rumah saya?" Tanya Bara.

Gila kali dosennya ini? Naqiya tidak yakin jika dirinya akan aman dari 'serangan' Bara. Eh?

"Nggak! Ntar saya diapa-apain lagi!"

Bara tertawa, "Yaudah mangkanya yang berani ngadepin ini." Tangan Bara mengelus kepala Naqiya, "Ibunya bayi saya itu kuat."

***

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang