85. 2U

1.9K 218 6
                                    

Apa kamu pernah menyukai seseorang tapi tak berani mengungkapkannya? Kalau begitu kamu punya nasib yang sama denganku. Dulu saat SMA, aku pernah menyukai seorang pria.

Dia adalah salah satu pria yang paling dikagumi di sekolah. Wajahnya tampan, otaknya pintar dan dia juga berprestasi. Baik dalam akademik maupun non akademik. Gadis mana yang tak menyukai pria seperti dia?

Bahkan kedua teman dekatku juga menjadi penggemar beratnya. Ada Nayeon dan juga Mina, mereka berdua sangat tergila-gila pada dirinya.

Nayeon, si gadis ceria yang bicara suka blak-blakan apa adanya. Dia mudah bergaul dengan banyak orang. Sementara Mina, gadis itu sangat pendiam dan juga lemah lembut. Siapapun yang dekat dengannya akan menjadi senang. Karena dia membawa aura positif pada semua orang yang berada dekat dengannya.

Sementara aku? Kamu salah kalau menilaiku seorang introvert. Aku bukanlah seperti itu, justru sebaliknya. Aku sangat suka memiliki banyak teman, hanya saja aku cenderung kaku jika bertemu dengan orang yang baru.

Selain itu, aku selalu punya prinsip 'Mata dibalas dengan mata' terdengar menyeramkan bukan? Ah tidak, aku tidak semenyaramkan itu. Maksudku disini jika aku diperlakukan baik, maka aku akan memperlakukannya jauh lebih baik. Sebaliknya, jika diperlakukan dingin maka akupun akan melakukan hal yang sama.

Seperti pria itu yang memperlakukanku dengan dingin, sifat juteknya membuatku segan. Walaupun kami dulu duduk sebangku, tapi dia seperti tak mau berbicara denganku. Adanya dia membuatku merasa diabaikan.

Lalu perlahan semakin lama aku mengenalnya, bukannya aku membencinya malah justru sebaliknya. Perasaan itu tumbuh tanpa ku minta, aku merutuki kebodohan yang kulakukan sendiri. Seandainya aku bisa mengontrol perasaanku, mungkin jadinya tidak akan seperti itu.

Cinta memang gila, aku justru jatuh cinta pada pria yang memperlakukanku dengan dingin. Bukannya kepada mereka yang memperlakukanku dengan manis. Kalian yang membaca ini boleh tertawa, tenang saja aku tak akan marah. Karena aku juga menertawakan diriku sendiri.

Kembali ke ceritaku, saat aku menyadari perasaan yang kumiliki itu. Ternyata aku terlambat, dia sedang dekat dengan gadis lainnya. Lucunya gadis itu adalah salah satu temanku juga yang dulu pernah bilang kalau dia sama sekali tidak tertarik padanya.

Namanya Sana, orang yang bilang mati-matian kalau tidak menyukai dia. Terus tiba-tiba Sana bilang kalau dia menyukai pria itu. Aku kaget, tentu saja! Apalagi disaat perasaan ini mulai tumbuh, tapi dengan bodohnya aku justru mendorong Sana untuk mendekati pria itu.

Aku bahkan membantu usahanya untuk 'pedekate' dengannya. Disaat mereka sedang dekat, aku bimbang apakah harus maju atau mundur. Egoku terlalu tinggi, karena bagiku wanita pantang untuk menyatakan cinta terlebih dulu.

Dan saat aku mendengar Sana dan dia berniat untuk pacaran, aku akhirnya merasa yakin kalau perasaan ini tak seharusnya ada. Yah, aku meletakkan hatiku pada orang yang ternyata bukan untukku. Aku memutuskan untuk mundur sejauh-sejauhnya. Menjadi pecundang adalah pilihanku, aku menjauh dari mereka.

Hatiku terlalu hancur untuk menerima kenyataan, saat itu pergi adalah keputusanku. Aku bahkan tak mau mendengar tentang berita tentang mereka. Mencoba pura-pura tak perduli, padahal aku pengecut karena takut dengan kenyataan yang mungkin saja bisa membuat hatiku semakin hancur berkeping-keping.

Bertahun-tahun berlalu, pandanganku mengenai cinta dan pria berubah. Mungkin aku berada di titik dimana semua ucapan pria adalah omong kosong. Bukankah aku jahat? Kenapa semua pria yang dekat denganku menjadi pelampiasan patah hatiku dulu? Aku menyalahkan dia yang bahkan tak pernah sempat untuk singgah.

EndlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang