23: Calculating Killer (1)

97 28 1
                                    

Pembunuh Berantai (1)
_______________________________

Dari awal aku tidak punya kesempatan memilih. Berdasar rencana Park Deokgu, Jung Hayan akan jijik kalau aku memilih opsi 1.

Lebih tepatnya, tidak perduli apa pendapatku dalam masalah ini, kemungkinan besar Jung Hayan berlari pada opsi 2 dengan sendirinya.

“Zzzzzzz.”

Saat aku mendengar Park Deokgu mendengkur di sampingku, rasanya amarahku membesar dan makin meningkat.

Di posisi pertama, aku bahkan tidak mungkin memasukkan ide pacaran.

Dalam tempat macam ini, dimana ga ada yang tau kapan mereka mati, gak guna mempertimbangkan perasaan kayak gitu.

Terikat dalam hubungan itu kaleng penuh ulat lainnya. (?)

*(Kalimat ori: Getting into a relationship was a whole other can of worms.) entah tau ini metafora atau apa, gua ga paham.

Aku ingin menolak sepenuh hati hubungan intim dengan wanita yang mungkin suatu hari nanti memilih untuk memutilasiku, tapi...

‘Aku tidak bisa.’

Ironisnya, satu-satunya cara menghindari akhir dimana aku terkoyak sampai mati adalah mendekatinya.

Orang yang paling berbahaya, di waktu yang sama, orang yang paling bisa diandalkan.

Aku tidak menikmati taruhan, tapi aku siap melempar dadu kalau diperlukan.

Aku mengangguk singkat nyatanya aku tidak mau mengakuinya, dan berbicara pada Park Deokgu yang masih mengorok.

“Bangun.”

“zzzzzzzzzz…..”

“Bangun, Deokgu-yah.”

“Unnnngh… Apa. Sudah pagi?”

“Kita mulai lebih awal.”

“Hey, Noonim. Tolong bagun.”

“…….”

“Kelihatannya dia cepat tertidur… Noonim, waktunya bangun.”

“…….”

“Uhh… kelihatannya Noonim beeubah menjadi Sleeping Beauty… Mungkin dia butuh ciuman dari Pangerannya?”

‘Anak anjing.’

Dia mengejek tanpa tahu apa yang aku rasakan.

Aku ingin membungkamnya dengan fireball.

Semua manaku sudah kembali tepat waktu. Aku tidak tahu kenapa tapi mendengar sajak ga guna itu cukup membuatku ingin menghancurkan tembok.

Tetapsaja, aku harus membangunkan Jung Hayan, jadi aku tidak punya pilihan selain melangkah maju.

“Hayan-ah.”

“…….”

“Hayan-ah, waktunya bagun.”

“Unngh…..”

Sat aku menepuknya, kepalanya naik sedikit, menggosok matanya yang buram.

Kelihatannya dia belum bangun sepenuhnya.

Meskipun aku melihat dia terkejut dan malu setelah melihatku, aku masih merasa tidak faham, ketakutan terus menerus ada saat aku melihatnya.

“Ah… Oh! Iya, Oppa.”

“Kita akan kembali ke markas secepatnya.”

“Oke.”

“Ayo makan sedikit sebelum berangkat.”

Lee Kiyeon [ 1 ]  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang