Persis seperti dugaan Geva. Dia lupa memasang alarm dan akhirnya bangun kesiangan.
Dengan ritual mandi ala capung, pria itu bergegas untuk berangkat ke kantor. Dia sangat panik sekali, terlebih atasannya sudah berpesan semalam dan pagi ini benar-benar kejadian, yang dikhawatirkan.
"Be, kenapa kamu nggak bangunin aku?" Geva berjalan mondar-mandir sambil mengancingkan kemejanya.
"Kamu nggak minta," sahut Berlian santai. Dirinya sedang membereskan ranjang dan memasang sarung bantal yang terlepas akibat pergulatannya dengan Geva, semalam.
"Kamu punya apa untuk sarapan?"
Geva berhenti sebentar untuk mengingat stock makanan apa yang dia miliki di dapurnya. Kemudian pria itu menggeleng cepat dan duduk di tepi ranjang sambil memakai kaus kaki.
"Nggak ada apa-apa, Be. Di bawah ada Starbun kalau kamu mau sarapan."
"Roti? Kopi?" Berlian menghela napas kasar.
"Aku mau nasi uduk, Ge. Seenggaknya, lontong sayur, deh." Setelah menepuk bantal dan menumpuknya, Berlian memungut handuk basah milik Geva yang jatuh di lantai.
"Yah, mana ada makanan kayak gitu di sini, Be. Penghuni gedung ini kebanyakan bule."
"Emangnya bule nggak boleh makan nasi uduk ataupun lontong sayur?" Berlian membawa handuk basah milik Geva ke balkon, menjemurnya di jemuran dinding. "Eh, beneran banyak bule," ujar wanita itu ketika melihat beberapa wanita asing sedang berenang di kolam renang umum Steels Tower.
"Nanti kamu cari makan sendiri aja, ya? Atau nggak, pesan online aja, Be. Aku buru-buru banget, nih." Geva meraih tas laptop dan jaketnya, kemudian mencium pipi Berlian dengan cepat. "Aku berangkat. Jaga diri ya. Kalau ada apa-apa, harus hubungi aku!" pesannya terkesan seperti sedang berpesan pada anak kecil.
"Iya, Ge."
"Nanti aku belikan testpack. See ya."
"Hati-hati."
Selepas kepergian sahabatnya, Berlian bercakak pinggang dan menggeleng tidak habis pikir melihat kekacauan yang dibuat oleh Geva pagi ini.
Pakaian kotor berserakan di mana-mana. Tetesan air nampak menggenang di beberapa tempat yang dilewati oleh Geva, tadi.
Menghela napas, Berlian mulai membereskan unit apartemen Geva yang seperti baru saja terkena bencana. Kegiatan bersih-bersih, membuatnya melupakan rasa lapar.Hingga tiba-tiba, Berlian merasa benda di sekelilingnya mendadak berputar. Kakinya bergetar dan dia menjadi sangat mual. Asam lambungnya naik, karena semalam dia juga belum sempat makan.
Berbaring sejenak di atas ranjang, memejamkan kedua mata dan membiarkan dirinya merasa berputar dalam kegelapan, sampai akhirnya rasa itu hilang perlahan, mualnya hilang dan kakinya tidak lagi bergetar.
Membuka mata pelan-pelan, Berlian mengubah posisinya menjadi duduk dan dia mengatur napasnya sejenak, sebelum akhirnya beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum.Segelas air hangat membuat Berlian merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Dia meraih ponsel dan membuka salah satu pesan masuk.
Ibu :
Malam ini tolong pulang untuk makan malam bersama. Kalau kamu lupa akan ibu ingatkan. Ayahmu ulang tahun hari ini.Berlian menghela napas kasar dan melemparkan ponselnya ke atas sofa, setelah selesai membaca pesan masuk dari sang ibu.
Jika dapat memilih, Berlian lebih memilih menjadi anak durhaka dari pada harus menjadi anak bungsu dari Mutiara Chandra yang banyak menuntut juga selalu merasa tidak pernah melakukan kesalahan semasa hidupnya.
Menghabiskan waktu sampai siang hanya dengan bersantai sambil membuka laman e-commers dan memasukkan beberapa dekorasi ruangan yang Berlian inginkan ke dalam keranjang belanja online-nya.
Berlian benar-benar lupa kalau dirinya belum memakan apapun hingga hari nyaris sore. Kepalanya kembali pusing dan kini mulai terdengar suara menyedihkan dari perutnya yang kosong.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya wanita itu memutuskan untuk bersiap-siap menuju rumah orang tuanya dan menyempatkan diri untuk mampir sebentar membeli makanan untuk mengganjal perutnya.
Restoran masakan sunda menjadi tujuannya sore itu. Nasi tutug oncom menjadi pilihannya untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak pagi.
Saat sedang menyantap makananannya, Berlian melihat seorang wanita masuk ke dalam restoran bersama seorang pria. Sang wanita berparas bule itu terlihat sangat cantik dengan pakaian santai dan riasan wajah sederhana.
Keduanya nampak sangat mesra. Sang pria merangkul wanitanya dan sang wanita menyandarkan kepalanya di bahu prianya sewaktu mereka sudah duduk di kursi.Melihat pemandangan itu, nasi tutug oncom yang sudah hampir habis rasanya berubah menjadi tidak se-enak sebelumnya, sehingga Berlian menjadi tidak berselera lagi.
Berlian merasa terganggu karena keberadaan pasangan mesra yang duduk di sampingnya itu. Terlebih ketika dia mendengar sang pria mengucapkan gombalan murahan yang membuatnya menjadi sangat muak.
"Aduh, kasian banget ini bule kena gombalan buaya Jakarta," gumam Berlian dalam hatinya.Setelah meneguk habis minumannya dan menyisakan nasi tutug oncomnya yang masih beberapa suap lagi, Berlian beranjak dari kursi.
Bersamaan dengan itu, sang wanita bule itu juga beranjak dari kursinya di jalur yang sama dengan Berlian, sehingga Berlian kehilangan keseimbangan dan jatuh duduk kembali di kursinya.
"Maaf," ucap keduanya bersamaan.
Berlian mengerutkan kening. Dia kira, wanita itu seorang warga negara asing karena parasnya yang sangat bule. Dia diam sebentar untuk menatap wajah wanita tersebut.
"Kok, wajahnya nggak asing, sih. Pernah liat di mana, ya?" tanya Berlian di dalam hatinya.
"Maaf, aku nggak sengaja," ujar wanita itu sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Berlian kembali berdiri.
"Nggak apa-apa. Aku yang salah." Berlian tersadar dan berdiri setelah menerima uluran tangan itu. Sudut matanya menangkap pergerakan pria di sampingnya sedang menatapnya dalam-dalam.
"Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya wanita itu dengan sangat ramah.
"Uh, enggak. Kebetulan aku hanya menginap di unit temanku," kekeh Berlian sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas dan bersiap untuk pergi.
"Oh, pantas aja, aku baru melihatmu," katanya dengan senyum mengembang. "Sekali lagi, aku minta maaf, ya."
"Sama-sama. Aku juga minta maaf." Berlian tersenyum lagi. "Aku duluan, ya." Dia mengangguk dan wanita itu juga ikut mengangguk—memberi jalan untuk Berlian.
Setelah meninggalkan restoran dan masuk ke dalam mobilnya, Berlian mengingat sosok wanita tadi. Dia adalah wanita yang dilihatnya kemarin. Wanita yang memiliki dada besar yang dilihatnya bersama Geva di Sunflower Land by Steels.
"Orang asing yang tajir ternyata ramah banget, ya. Nggak kayak ibuku yang baru kaya sedikit udah sombong, seolah penguasa bumi," decak Berlian sebal mengingat sosok ibunya.Sambil memanaskan mesin mobil, Berlian mengirim pesan untuk Geva.
Berlian :
Ge, aku pergi ke rumah orang tuaku. Kamu nggak usah beli testpack, deh. Nanti aku langsung pulang aja. Kartu aksesmu, kubawa, besok aku kembaliin.
Menunggu lima menit, Geva tidak membalas. Mungkin pria itu sedang sibuk sehingga belum sempat mengecek pesan masuk di ponselnya, atau mungkin juga sudah dalam perjalanan pulang—tidak dapat mengecek karena Geva mengendarai sepeda motor.
Berlian mendorong perseneling dan menginjak pedal gas mobilnya. Melaju meninggalkan Steels Tower untuk menuju rumah orang tuanya.
Jakarta di sore hari, seperti biasanya ... sangat padat karena arus balik pulang kantor.Hampir satu jam waktu Berlian terbuang di tengah kemacetan, sampai akhirnya dia tiba di kediaman orang tuanya yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Steels Tower.
Setelah memarkir mobilnya di halaman rumah, Berlian tidak langsung keluar dari mobilnya. Dia menghela napas dan mengeluh karena terpamsa harus kembali ke rumah orang tuanya. Dia masih berada di dalam mobil, menunggu sampai seseorang keluar dari dalam mobil hatchback yang baru saja tiba di belakangnya.
Berlian kembali mengecek ponselnya selagi dia sedang menunggu, tapi Geva belum juga membalas pesannya. Sampai tiba-tiba dia dikejutkan oleh kaca jendela mobilnya yang diketuk.Berlian sampai mengumpat karena jantungnya nyaris saja pindah posisi karena terkejut.
"Astaga!" Dia menekan tombol di sisi pintu untuk menurunkan kaca jendela.
"Sedang apa di sini? Cepat masuk! Bantu Ibu memasak!" perintah Mutia dengan sangat ketus. Kemudian wanita paruh baya itu lebih dulu memasuki rumahnya.
Berlian keluar dari mobilnya, dia berdiri mengamati mobil hatchback di belakangnya sambil menggelengkan kepala. Dua bulan tidak pulang ke rumah itu, ibunya sudah membeli mobil baru lagi saja.
"Pasti hanya untuk pamer," cibir Berlian sambil melangkah malas memasuki kediaman orang tuanya.
"Cuci tangan, kaki dan wajahmu terlebih dulu, Berlian!" Baru saja dia masuk, ibunya sudah berteriak memberi perintah.
Mutiara memang selalu megutamakan kebersihan. Dia juga selalu menginginkan segala sesuatunya berjalan sesuai keinginannya, teratur dan sempurna. Itulah yang membuat Berlian muak tinggal bersama sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...