Apa yang terjadi saat Geva mengetahui tentang jahitan operasi yang terbuka dan mengeluarkan cairan?
Pria itu marah. Sungguh. Geva sangat marah dan segera mengajak Berlian ke Steels Care. Lebih tepatnya memaksa dengan menyeret tubuh wanita keras kepala itu.
"Bisa nggak usah kasar nggak, sih, Ge?" Berulang kali Berlian berusaha menyentak tangan Geva namun pria itu kembali lagi meraih tangannya dan mencengkramnya kuat. "Kamu yang sekarang bikin aku nggak betah lagi tinggal bareng."
Geva tersentak akan ucapan Berlian barusan. Tangannya melepaskan tangan Berlian. Wanita itu memijat pergelangan tangannya dan beberapa orang yang berlalu Lalang memerhatikan keduanya.
"Aku ke pendaftaran," ujar Geva kemudian meninggalkan Berlian sendirian di depan meja informasi.
Pegawai yang duduk di balik meja informasi melemparkan senyum. Berlian membalasnya sekilas. Dia tahu kalau pegawai itu jelas-jelas melihatnya diseret oleh Geva saat keluar dari lift, tadi.
Banyak yang berubah dari Geva di mata Berlian. Sikapnya sudah tidak lagi se-manis dulu. Bahkan kini Geva mudah meledak-ledak dan tidak dapat mengontrol emosinya.
Entahlah, karena keadaan yang sedang tidak baik-baik saja ... atau karena pria itu memang benar-benar sudah berubah.
Berlian memilih duduk di salah satu sofa di ruang tunggu. Geva datang dengan langkah cepat. "Dokter Ezra nggak ada jadwal praktik hari ini." Pria itu memberitahu dan Berlian memutar matanya. Dia pun bangkit kemudian berjalan begitu saja meninggalkan Geva. "Be! Berlian!"
Suara pria itu bergema dan membuat Berlian justru mempercepat langkahnya masuk ke dalam lift. Dia malu. Malu ditonton oleh orang-orang di sana.
"Bisa nggak, kalau nggak usah teriak di tempat umum?" kesal Berlian sambil menekan-nekan tombol lift, berharap pintunya akan segera menutup.
"Maaf," lirih Geva. "Nggak usah ditekan-tekan begitu. Nanti juga ketutup sendiri." Geva lupa bahwa dirinya juga pernah melakukan itu sewaktu dia terburu-buru karena Giana akan melahirkan namun akhirnya dia justru menemani Berlian hari itu.
"Be," panggil Geva tepat saat pintu lift terbuka di lantai 27 dan Berlian sudah melangkah keluar. Wanita itu berbalik sedangkan Geva menahan pintu lift dengan tangannya. "Aku beliin alkohol dan plester dulu. Kamu mau nitip apa?"
"Enggak."
"Be. Maaf." Pintu lift menutup dan Berlian menghela napas.
Dia tidak habis pikir kalau Geva akan menjadi kasar seperti ini. Selama bertahun-tahun dia mengenal Geva, sebagai pria yang paling sabar, menyenangkan dan selalu menuruti perkataannya. Bukan justru sebaliknya seperti sekarang.
Berlian tidak dapat menyalahkan Geva atau siapapun atas perubahan yang belum bisa diterima olehnya, mungkin tidak akan pernah bisa.
Entahlah. Dia sadar, dirinya pun banyak berubah tanpa dia sadari dan sebagian lainnya dia sadari.
Manusia memang begitu, bukan? Berubah adalah hal yang biasa terjadi, tapi kembali lagi pada pribadi masing-masing.
Perubahan mana yang dipilih? Menjadi lebih baik atau menjadi lebih buru? Alasan perubahan juga banyak macamnya.
Cukup soal perubahan.
Berlian melepaskan cardigan dan menggantungnya di belakang pintu kamar Geva. Dia melepaskan pakaiannya satu persatu, menyisakan pakaian dalamnya saja.
Berdiri kembali di depan cermin, melihat lukanya yang semakin mengerikan dan membuatnya bergidik. Ditambah lagi aroma tidak sedap yang semakin membuatnya tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Ficção Científica18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...