Kehilangan Akal Sehat

47 3 0
                                    

"Aku mencintaimu, Be." Berlian membuat tawanya di sela-sela desahan yang tertahan. "Aku mencintaimu selama ini, Berlian. Dan aku tau kalau kamu juga mencintaiku sebesar aku mencintaimu."

Bersamaan dengan itu, keduanya telah sampai pada puncak pelepasan mereka. Berlian menarik diri. Dia memberi jarak dengan Geva dan memberi tatapan tidak percaya. Apa yang dikatakan oleh Louis, benar terjadi.

Geva mencintainya dan sewaktu pria itu mengungkapkan
perasaannya, Berlian merasakan getaran yang aneh dari dalam dirinya.

Geva berpegangan pada tepi kitchen island di belakangnya. Dia mengatur napas sejenak tanpa melepaskan tatapannya pada Berlian.

"Sebaiknya kamu pulang, Ge." Berlian melangkah cepat ke kamar mandi, mengunci pintunya dan dia duduk di bawah air shower yang mengalir.

"Be, buka pintunya!" pinta Geva sembari mengetuk pintu kamar mandi. "Berlian, aku nggak bisa menyimpannya lagi. Kamu harus tau kalau aku mencintaimu dan kamu juga mencintaiku. Iya, kan, Be?" Dia berusaha mencari jawaban untuk pertanyaannya sendiri.

"Pergi, Geva! Keluar dari rumahku!" Suara Berlian tenggelam dalam kucuran air yang membasahi tubuhnya dan menyamarkan air matanya yang sudah menetes.

Tidak memedulikan. Geva dikuasai oleh egonya. Dia mendobrak pintu kamar mandi dan bersimpuh di bawah shower—di hadapan Berlian yang tengah menangis. Tapi, wanita itu buru-buru menghapus air matanya. Walaupun terlambat, karena Geva sudah melihatnya lebih dulu.

"Apa perkataanku belum jelas? Keluar dari rumahku, Geva!" seru Berlian. Dadanya menjadi sangat sesak. Terlebih ketika dia melihat mata Geva yang sendu. "Kumohon, Ge. Pergi." Berlian menekankan setiap kata yang dia ucapkan.

"Aku nggak akan pergi sampai aku mendengar pengakuanmu, Be. Kamu mencintaiku juga, kan? Iya, kan, Be?" Geva mengguncangkan bahu Berlian.

"Apa-apaan, sih, Ge!" Berlian mengamuk padanya. Dia berdiri dan mengusir Geva lagi. Tapi pria itu tidak gentar, Geva berdiri dan memohon dengan matanya. "Pergi!" Didorongnya tubuh Geva hingga punggung pria itu bersentuhan dengan dinding di belakangnya.

"Jawab aku, Be," tuntut Geva lagi yang kembali mendekat.
Satu tamparan. Dua tamparan berhasil dilayangkan oleh Berlian. "Aku nggak mencintaimu, Geva! Pergi dari rumahku!" jerit Berlian tepat di wajah Geva, hingga dia nyaris kehabisan napasnya.

Geva menggelengkan kepalanya tidak percaya. Bukan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena dia tidak dapat menerima jawaban dari Berlian. Karena dia memiliki keyakinan kalau Berlian juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Ego benar-benar menguasai Geva kali ini.

"Kamu mencintaiku, Berlian!"

"Kamu udah kehilangan kewarasanmu, Ge!" Berlian keluar dari bilik shower. Dia meraih handuk sekenanya dan langsung melilitkan pada tubuhnya. Geva melakukan yang sama dan menyusul Berlian keluar. "Berhenti mengikutiku seperti anjing hilang!" Berlian berbalik untuk menghardik
Geva yang mengekor di belakangnya.

Geva mendorong Berlian hingga jatuh ke atas ranjangnya. Dia membuat Berlian berada di dalam kukungannya. Rahangnya mengeras dan tatapannya sangat tajam, seolah sebuah belati yang mampu melukai siapapun.

Bukan hanya ego yang menguasainya. Tapi juga kekalutan hingga aura negatif ikut membungkus Geva saat ini. Dia kembali menciumi wajah Berlian. Menarik paksa handuk yang dikenakan oleh wanita itu sampai terlepas dan dia melemparkannya ke sembarang arah.

Menjadikan Berlian layaknya sebuah hidangan yang menggugah seleranya. Geva pun segera mencecap setiap inci kulit Berlian, mulai dari wajah hingga ujung kaki wanita itu.

Berlian ingin melawan, tapi amarahnya terbungkus oleh gairah yang kembali membakarnya. Dia pasrah sewaktu Geva kembali memasukinya. Tubuhnya melenting dan erangannya tidak lagi terkendali.

Lama kelamaan, desahan dan erangan Berlian berubah menjadi ringisan dan keluhan akan perlakuan kasar Geva padanya.

Geva menjadi sangat gila dan tidak terkendali. Ini adalah percintaan terpanas yang pernah mereka berdua lakukan. Tidak ada kelembutan kali ini.

Pria itu hanya melakukan apa yang dia ingin lakukan, tanpa memedulikan Berlian yang sudah menjerit kesakitan meminta ampun padanya.

"Sakit, Ge!" jerit Berlian dengan sisa suaranya. "Ampun, Geva! Aku mohon berhenti," mohonnya. Suara Berlian semakin menipis dan benar-benar kecil, nyaris tidak terdengar—menyerupai sebuah bisikan.

"Aku nggak akan berhenti sampai kamu menjawabnya, Be."

"Aku udah jawab, Ge. Aku nggak cinta sama kamu.
Perasaan kamu ke aku pun sal—Ah!" Gesekan di inti Berlian terasa sangat panas dan menyakitkan.

Dia tidak merasakan nikmat apapun. Hanya ada rasa sakit yang teramat menyiksanya.

"Aku cinta kamu, Be. Kamu juga cinta aku. Kamu harus akui itu." Geva mencengkram wajah Berlian.

"Enggak, Geva! Ini salah. Perasaanmu salah! Kamu mencintai Giana, bukan aku. Aku mohon hentikan!" Air mata Berlian sudah tidak terbendung lagi. Suaranya pun sudah benar-benar habis hingga dia merasakan sakit pada tenggorokkannya.

Bukan hanya sakit pada tenggorokkan yang dia rasakan. Tapi juga sakit di sekujur tubuh hingga hatinya pun ikut sakit dengan semua yang Geva lakukan padanya saat ini.

Geva semakin menjadi, layaknya hewan liar yang kelaparan dan menyerang korbannya tanpa ampun. Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Sampai semuanya akhirnya dia hentikan ketika melihat bercak darah di atas sprei. Tepat di bawah bokong Berlian.

Seketika dia tersadar. Hatinya merosot sewaktu melihat tubuh Berlian terkulai tidak berdaya di bawahnya. Dia menarik diri dan segera membungkus tubuh wanita kesayangannya menggunakan selimut dan memindahkannya ke bagian tengah ranjang.

"Be, maafin aku ...."

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang