Kedatangan Galih

20 1 0
                                    

Berlian terkejut sewaktu pagi-pagi pintu rumahnya diketuk. Mengintip dari celah gorden, Berlian melihat sosok ayahnya berdiri di teras rumah. Indra penglihatannya belum rusak. Ayahnya benar-benar menginjakkan kaki di teras rumahnya.

"Ayah?"

Galih berbalik dan melemparkan senyum sekilas, sebelum mengalihkan pandangannya pada salah satu tanaman yang sudah mati kekeringan.

"Kamu nggak pernah menyiram tanamanmu, Lian?"

Berbeda dari kebanyakan orang, hanya Galih yang memanggil nama anaknya dengan nama 'Lian', bukan 'Berli' seperti ibunya, ataupun 'Be' seperti teman-temannya.

"Aku ... hm, silakan masuk, Yah." Berlian membuka lebar pintu rumahnya.

Dia masuk lebih dulu untuk membereskan bantal sofa yang berantakan. Menumpuk gelas kotor di wastafel dan cepat-cepat berlari untuk menutup pintu kamar ketika Galih sudah memasuki ruang tengahnya.

"Kapan terakhir kali kamu membersihkan rumah?" Jari telunjuk Galih menyapu debu yang menempel di bingkai foto.

Berlian lupa kapan terakhir kali dia membersihkan rumahnya. Bukan berarti dia sama sekali tidak pernah menyapu atau mengepel lantai. Tapi, untuk membersihkan debu dan semacamnya yang sepertinya sudah sangat lama sekali dia lakukan.

"Ayah mau teh atau kopi?"

"Air putih aja." Galih menepuk sofa sebelum duduk.

"Ternyata kopinya abis, Yah. Aku buatin teh madu jadinya." Berlian menyuguhkan secangkir teh hangat ke atas meja.

"Ini pasti teh sangrainya nenek?" Sudut bibir Galih berkedut selagi dia mengambil cangkir dan mengirup aroma dari uap panas teh.

"Iya. Aku ambil beberapa toples dari rumah nenek, sebelum nenek meninggal." Kaki Berlian mendorong kaus kaki ke kolong meja. Dia menyumpahi Louis yang meninggalkan kaus kakinya di ruang tengah. Kalau sampai Galih melihatnya, bisa-bisa akan mengeluarkan petuah sepanjang hari sampai Berlian tertidur.

"Apa yang terjadi, Lian?" Berlian terdiam. Mencoba mencerna maksud pertanyaan sang ayah. Apa yang terjadi? Maksudnya apa? "Apa yang membuat hidupmu kacau seperti ini?"

"Kacau? Aku nggak merasa hidupku kacau, Yah," kekeh Berlian. Dalam hatinya dia menjerit, karena ajaibnya Galih mengetahui kekacauan hidupnya sekarang.

"Kamu sekarang keliatan kurus. Wajahmu kusam dan pucat. Pasti makannya sembarangan dan telat."

Kenapa orangtua selalu tau?

"Aku lagi nggak enak badan, Yah."

"Pacarmu yang bule itu, tinggal di mana? Nggak di sini, kan?"

"Eng-enggak, Yah. Dia tinggal di Steels Tower."

"Kenapa kaus kakinya ada di sini?" Galih melirik ke bawah kakinya dan Berlian mengumpat dalam hati. Percuma saja dia menyembunyikan sebelah kaus kaki ke kolong meja kalau ternyata sebelahnya lagi berada di dekat kaki ayahnya.

"Tadi pagi dia datang ke sini untuk bawain aku sarapan dan obat," bohong Berlian.

"Kamu sadar, kan, kalau kamu nggak bisa bohong sama Ayah?"

Benar! Berlian bisa saja membohongi ibunya, tapi dia tidak pernah berhasil berbohong pada ayahnya, dalam hal apapun. Seperti memiliki keahlian membaca pikiran, ayahnya selalu tahu setiap kali Berlian mencoba untuk membohonginya.

"Ayah juga tau kalau pria bule yang kamu ajak ke rumah, bukanlah pacarmu, Lian."

"Kenapa Ayah bilang begitu?"

"Karena kamu anak Ayah. Kamu nggak pernah bisa bohongin Ayah." Galih meletakkan cangkirnya ke atas meja. "Kenapa kamu harus bohong?"

Berlian menjalin jemari tangannya dengan kepala tertunduk. "Karena aku nggak mau dijodohin, Yah," lirihnya.

"Liat Ayah, Lian!" pinta Galih dengan suara tegas. Berlian pun menurut dan mengangkat wajahnya. "Ibumu yang memaksa?" Berlian mengangguk. "Siapa calonnya?"

"Aku nggak tau, Yah. Tapi ibu bilang Namanya Rio kalau nggak salah."

Galih menghela napas kasar dan menepuk sofa, meminta Berlian untuk pindah duduk di sampingnya. Lagi-lagi Wanita itu menurut. "Ayah sayang banget sama kamu, Lian. Sejak kecil, Ayah selalu menuruti apapun kemauanmu, sekalipun ibu melarangnya. Bahkan sampai hari ini, Ayah masih menuruti apapun kemauanmu, sekalipun ibumu akan mengamuk."

Hubungan Berlian dengan ayahnya sedikit lebih baik daripada hubungannya dengan sang ibu yang lebih banyak menuntut kesempurnaan.

"Kalau kamu nggak mau dijodohin, Ayah nggak akan memaksa. Tapi, nggak ada salahanya kamu menuruti kemauan ibumu dengan menemui calon pilihannya. Ketemu aja kan, nggak apa-apa." Tangan Galih mengusap kepala Berlian.

Termenung sesaat. Berlian ingin sekali menceritakan apa yang sedang terjadi pada hidupnya. Dia ingin menumpahkan segala beban pikirannya pada Galih. Hanya ayahnya yang sedikit mengerti dirinya.

Namun pikiran itu pudar sesaat setelah lintasan ingatan Berlian kembali pada masa di mana Galih berselingkuh hingga memiliki anak dari Wanita lain.

Berlian menarik diri. Memberi sedikit jarak antaranya dengan Galih. "Aku nggak mau, Yah. Sekalipun cuma untuk kenalan. Aku baik-baik aja hidup sendiri. Nggak masalah juga kalau aku nggak nikah."

Terkejut! Itulah reaksi Galih saat mendengar ucapan Berlian. "Jangan bicara begitu, Lian!"

"Maaf, Yah. Sebenarnya ... apa tujuan Ayah datang ke sini?"

"Ayah cuma mau liat kondisi anak kesayangan Ayah. Karena semalam Ayah mimpi buruk tentang kamu."

Berlian mendecih. "Anak kesayangan? Bukannya sewaktu
aku lahir, Ayah lebih pilih menyambut kelahiran anak dari selingkuhan Ayah daripada menyambut kelahiranku?"

"Bukan saatnya membawa masalah masa lalu, Lian!" bentak Galih.

"Kalau semalam Ayah nggak mimpi buruk, sampai kiamat pun Ayah nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Iya, kan?" Berlian mengangkat kedua tangannya di udara. Dia berdiri dan pindah duduk ke sofa di seberang Galih.

"Pulang, Lian."

"Ini rumahku, Yah. Aku harus pulang ke mana lagi?"

"Pulang ke rumah Ayah dan ibu," pinta Galih dengan nada memohon. "Liat hidupmu, Lian! Kamu sangat berantakan.
Kamu kacau dan seperti manusia yang nggak punya arah."

Semua benar! Semua yang dikatakan oleh Galih memang benar dan mendapat pengakuan dari dalam hati Berlian. Tapi, untuk kembali ke rumah itu adalah mimpi buruk bagi Berlian.

"Apa kamu juga berbohong soal pekerjaanmu sebagai Illustrator di sebuah perusahaan penerbitan?" Berlian ingin menggelengkan kepala, tapi dia hanya diam saja. "Pulang ke rumah, dan kamu bisa bekerja di perusahaan Ayah."

"Makasih untuk tawarannya, Yah. Tapi, aku nggak bisa dan nggak akan pernah mau kembali tinggal di rumah itu."

"Apa kamu akan hidup seperti ini terus? Kalau kamu nggak menikah dan bekerja, dari mana kamu mendapatkan uang untuk menunjang kehidupanmu kedepannya?"

"Menikah nggak akan membuat hidupku jadi lebih baik, Yah. Yang aku tau, menikah cuma menambah beban. Lagi pula, aku nggak bisa bergantung pada seorang pria, yang mana dengan berpikir dapat menafkahiku, dia bisa seenak-enaknya sama aku."

"Nggak semua pria begitu, Lian. Seorang istri memang wajib dinafkahi. Kalau kamu menikah, kamu nggak perlu bekerja."

"Jadi ibu rumah tangga yang diinjak-injak suami? Aku nggak sudi."

"Apa Ayah menginjak-injak ibumu?"

"Enggak. Tapi Ayah menyelingkuhi ibu sampai memiliki anak dari wanita lain. Kayaknya itu jauh lebih menyakitkan daripada diinjak-injak karena bergantung hidup."

Ucapan Berlian sungguh menohok dan membuat Galih menjadi gerah. Dia pun bangkit dari sofa dengan raut wajah yang menahan amarah. Tangan kanannya mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu dari dalamnya.

"Pikirkan baik-baik sebelum terlambat, Lian. Gunakan ini untuk memenuhi kebutuhanmu. Ayah menyayangimu." Galih memberikan sebuah kartu ATM dan mengecup puncak kepala Berlian. "Pinnya kombinasi tanggal lahirmu, Ayah dan ibu. Selamat ulang tahun, Nak."

Berlian benar-benar tidak mengingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Beban pikiran membuatnya melupakan hari yang biasanya selalu dia tunggu-tunggu. Ternyata kedatangan Galih ke rumahnya karena Berlian berulang tahun, tapi sayangnya dia justru melupakannya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang