Kenyataan Pahit

19 2 0
                                    

"Kenapa kamu di sini? Mana Niko?"

"Dia pulang. Katanya lupa mengunci pintu kamarmu dan pintu kamarnya."

"Dasar bodoh!" gumam Berlian kemudian menghela napas kasar. "Kamu ngapain di sini, Ge? Bukannya seharusnya kamu sama Giana? Dia udah melahirkan?"

Geva tidak menjawab. Dia sakali tidak memikirkan Giana, terlebih setelah melihat kondisi wanita yang dicintainya seperti sekarang ini.

Menarik kursi mendekatkannya ke samping tempat tidur. Geva duduk sambil menggenggam tangan Berlian yang diinfus.

Mengusap area sekitar plester. Hatinya kini benar-benar hancur akan kondisi Berlian. Dia membawa tangan itu ke bibirnya. Mengecupnya beberapa kali dan Berlian hanya diam. Terlalu lemas untuk bergerak dan bicara lebih banyak.

"Apa ini anakku, Be?" Pertanyaan itu tidak asing di telinga Berlian. Pasalnya Louis juga pernah bertanya padanya. Berlian menggelengkan kepala, membuat sejuta pertanyaan mendesak di dalam kepala Geva. "Louis?" Wanita kesayangan Geva kembali menggeleng lemah.

Berlian menarik tangannya dan bergerak untuk membelai kepala Geva. Senyum simpul yang dia tampilkan kini terkesan sangat dipaksakan. Geva menatapnya nanar dengan sejuta pertanyaan di dalam kepalanya.

"Pergi, Ge. Temani Giana." Geva menggeleng cepat. "Ge, temani wanitamu. Wanita yang mengandung anakmu."

Geva menundukkan kepalanya. Memejamkan mata—merasakan pergerakan jari Berlian yang membelai kepalanya, menyusup ke dalam rambutnya. Gerakan yang dia rindukan berbulan-bulan lamanya.

Sentuhan Berlian selalu dapat membuatnya diserang kupu-kupu, bahkan di saat seperti ini.

"Aku mau di sini. Menemani wanita kesayanganku." Geva mengangkat wajah dan mengulas senyum tipis.

Dia mendekatkan wajahnya pada Berlian. Terlalu dekat sehingga Berlian dapat merasakan hangat napas pria itu menerpa wajahnya.

Berlian mulai meneteskan air matanya. Dia menangis karena merasa sangat buruk. Dia merasa bersalah karena membuat Geva berada di sini bersamanya sekarang.

Seharusnya Geva bersama wanitanya, menemani wanita kesayangannya melahirkan buah hati mereka.

"Maaf, kamu harus melewati ini, Be."

Sedetik kemudian Geva sudah mengecup bibir Berlian. Air mata Berlian semakin deras menetes. Bukan hanya merasa buruk sebagai wanita, dia juga merasa buruk sebagai calon ibu yang gagal.

"Tapi, Giana ...." Berlian menarik diri dan Geva mendesah kecewa.

"Aku sayang kamu, Be. Sayang banget. Aku mau di sini sama kamu. Aku nggak mau kamu melewati ini sendirian, Be." Kembali mengecup bibir Berlian, kali ini dibalas dan Geva tersenyum disela-sela ciumannya.

Rindu keduanya terbayarkan dalam kondisi yang tidak tepat, namun Geva tidak peduli. Dia senang dapat bertemu lagi dengan wanita pujaan hatinya, dapat kembali merasakan bibir manis wanita kesayangannya.

"Aku nggak tau, anak ini—"

Geva menggelengkan kepala. "Dia harus selamat, Be. Kamu juga."

.

.

.

Geva menghubungi Louis pada saat dia tengah menunggu Berlian di depan ruang operasi. Aneh rasanya, dia menjadi sangat panik akan Berlian daripada Giana yang kemungkinan besar sedang menyusui anaknya sekarang.

"Berlian melahirkan."

"Apa? Kapan? Kamu udah—" Suara terkejut Louis dari seberang sana terdengar sangat jelas.

"Ya. Aku udah tau dan sekarang di rumah sakit, menunggunya operasi."

"Tapi usia kandungannya belum sembilan bulan, kan?"

"Ada masalah dengan miom dan beberapa kondisi lainnya yang mengharuskan Berlian dipaksa melahirkan sekarang juga."

"I'm so sorry for her."

Memejamkan matanya sebentar sambil menarik napas dalam-dalam. "Jadi ... gimana cara membedakan kalau anak itu adalah anakmu atau anakku?" Pertanyaan bodoh terucap begitu saja.

Louis menghela napas. "Mungkin warna matanya, dan tentu aja pesonanya," kekehnya mencoba untuk mencairkan suasana yang cukup canggung dan menegangkan.

Geva terkekeh. "Apa yang bakal kamu lakuin kalau ternnyata dia anakmu?"

"Berlian nggak memperbolehkanku mengambilnya, katanya nanti dia nggak punya teman. Dia juga nggak mau Jessie tau soal ini, jadi kemungkinan aku bakal jadi pendosa yang dikukung rasa bersalah sepanjang hidup."

"Kita sama-sama pendosa. Kasian Berlian ...." Lampu di atas pintu ruang operasi sudah padam, artinya Tindakan operasi sudah selesai. "Lou, nanti kusambung lagi. Kayaknya udah selesai operasinya."

"Kabarin aku, ya. Dan titip salamku untuk Berlian."

"Pasti."

Bersamaan dengan diakhirinya panggilan telepon bersama Louis, pintu ruangan operasi terbuka. Seorang perawat memanggil Geva dan mengajaknya ke dalam.

Sebelumnya, terlebih dahulu Geva diminta mengenakan pakaian medis serta mencuci tangannya dengan hand sanitizer. Barulah dia memasuki ruangan yang sangat terang dan melihat sosok wanita kesayangannya tengah berbaring.

Bukan hanya itu. Tubuh Geva mendadak lemas ketika melihat bayi kecil yang berbaring di atas dada Berlian.

Bayi itu sudah lahir. Bayi yang kemungkinan besar adalah buah hatinya. Pada saat mencium puncak kepala wanita kesayangannya, Geva menyadari bahwa bayi itu sangat kecil. Benar-benar kecil untuk seukuran bayi pada umumnya.

Berlian terpaksa melahirkan pada usia kandungannya yang masih di bawah tiga puluh tujuh minggu. Dia harus melahirkan bayi prematur demi keselamatan keduanya.
Operasi caesar yang sudah dia lewati juga sekaligus mengangkat miom yang menghuni di dalam perutnya.

Berlian menangis terisak sambil mengeratkan rengkuhannya pada bayi kecil itu. Pada saat seorang perawat hendak mengambil buah hatinya, Berlian menolah. Dia tetap memeluk erat bayinya.

Pada awalnya Berlian tidak menginginkan kehadiran bayi itu, tapi kini ... dia tidak rela melepaskannya.

Ternyata, bayi yang dilahirkan oleh Berlian tidak dapat terselamatkan. Melainkan, meninggal setelah sepuluh menit di lahirkan. Dia sangat terpukul pada kenyataan pahit yang menerjangnya tanpa henti selama tujuh bulan terakhir.

Tangan Geva gemetar menyentuh kulit halus bayi yang terbaring lemah tak bernyawa di atas dada Berlian.
Hatinya sakit sekali. Dia merasa sangat dekat dengan bayi itu. Merasa sangat mengenal sosok yang belum mengenal dirinya.

Memeluk Berlian dan bayinya. Air mata Geva tumpah. Rengkuhannya mencoba untuk menguatkan Berlian, namun tanpa sadar ternyata dirinya juga terlalu lemah untuk menguatkan.

Entah kenapa, Geva merasa sangat yakin kalau bayi itu adalah miliknya. Darah dagingnya.

Seharusnya hari ini Geva tengah berbahagia karena buah hatinya terlahir ke dunia. Buah hatinya bersama Giana.

Tapi ... justru dia sekarang menangis karena kehilangan buah hatinya yang lain, hasil percintaannya bersama Berlian yang tidak diketahuinya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang