Tangis Kesedihan

26 2 0
                                    

Hanya mengobati luka jahitan operasi yang terbuka serta mengganti perban dan plester dengan yang baru, kamar Geva nampak cukup kacau karena beberapa barang medis berhamburan di atas lantai kamarnya.

Pria itu bernapas lega setelah pekerjaannya sebagai petugas medis dadakan akhirnya selesai. Tidak mengira akan melakukan hal seperti itu dalam hidupnya, mengingat pria itu tidak memiliki dasar keahlian dalam bidang medis.

Geva biasa mengobati luka ringan akibat berkelahi atau semacamnya, hanya dengan mengompresnya dengan air dingin lalu meminum obat pereda nyeri.

Akhirnya Berlian dapat bernapas lega kembali, setelah dirinya menjerit dan menyumpah serapah karena rasa sakit yang dia rasakan pada saat Geva membersihkan lukanya tadi.

"Thanks a lot, Roman," ujar Berlian.

"Sama-sama, Berlian," sahut seorang pria dari ujung sambungan telepon dalam Bahasa Indonesia. Berlian dan Geva sama-sama melotot.

Pria bernama Roman itu menghubungi Geva dan dengan sabarnya memberi arahan serta langkah-langkah yang tepat untuk mengobati Berlian karena tidak mau mengambil risiko juga apabila terjadinya salah langkah yang menyebabkan infeksi atau semacamnya.

"Kenapa dia nggak pakai Bahasa Indonesia aja, sih, dari tadi?" gumam Berlian setelah sambungan telepon Geva bersam Roman sudah diakhiri.

"Aku pun nggak tau kalau dia bisa Bahasa Indonesia, Be."

Geva memunguti sampah-sampah kapas, memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Kemudian dia membawa pinset serta gunting dan mangkuk bekas air hangat tadi ke dalam kamar mandi.

Pria itu mencuci seluruh benda-benda itu, kemudian merendam pinset dan gunting ke dalam mangkuk yang berisi alkohol.

Sementara itu, dia kembali ke kamar. Melihat Berlian sedang berdiri menghadap cermin memeriksa hasil karya dadakannya, Geva kembali menelan ludah. Walau lemak-lemak berkumpul pada perut wanita itu, tapi ... di matanya ... Berlian tetaplah wanita cantik yang dia cintai.

"Ge, makasih, ya." Berlian menoleh dan melemparkan senyum tipis pada Geva yang berdiri mematung di depan pintu kamar mandi. Pria itu mengangguk ringan, lalu melintasi ruangan menuju dapur. "Kayaknya, nanti aku harus ke minimarket deh, Ge," ujar Berlian yang menyusul Geva ke dapur setelah memakai daster santai.

"Mau beli apa?"

"Pembalut."

"Emangnya masih banyak?" Geva mengangkat wajahnya dari cangkir kopi yang baru saja dia isi air panas. "Kamu kasih tau aku aja fotonya, nanti aku yang beliin."

"Jangan!" sergah Berlian cepat. Wanita itu menggeret kursi makan untuk dirinya sendiri, kemudian meraih toples keripik kentang yang isinya tinggal remah-remahnya saja. "Aku juga mau beli beberapa camilan, sabun mandi dan ... pasta gigi. Tempat ini benar-benar menyedihkan."

Geva tergelak, menyesap kopinya sedikit sebelum duduk di hadapan Berlian. "Udah lama, aku nggak pernah lagi belanja kebutuhan bulanan, Be. Banyak pekerjaan yang membuatku kelelahan." Raut wajah pria itu menggambarkan cerita versi lain. Namun Berlian hanya mengangguk untuk menanggapinya. "Kalau gitu, nanti aku anterin, deh. Sekalian mau beli rokok."

Berlian mendecak dan memutar matanya. Tangan kanannya sibuk meraih sisa remah-remah keripik kentang di dalam toples. Bagian paling menyenangkan adalah memakan remah-remah keripik yang mana bagian itu biasanya memiliki banyak micin.

"Kamu nanti bodoh kebanyakan makan micin."

"Bukan micin yang membuat manusia bodoh, tapi manusianya sendiri."

"Kamu emang paling bisa memutar balikan kata-kata, Be." Geva mendesah setelah menyesap kopinya. "Kopi ini enak banget. Mau coba nggak?" Pria itu mendorong cangkir kopinya ke arah Berlian.

Menghirup aromanya terlebih dahulu sebelum mulai menyesapnya sedikit. Kening wanita itu berkerut dan selepas cangkir kopi dijauhkan dari bibirnya, bibir wanita itu membentuk garis lurus yang kemudian disusul dengan bahu yang bergidik.

"Pahit banget, Ge. Kok, kental begini, sih? Ini kopi apaan?"

"Kopi Kona. Kopi asli dari Hawaii. Kopi dengan harga mahal di pasar Internasional yang disebut-sebut paling enak se-Dunia."

"Dapat dari mana?"

"Atasanku. Siapa lagi emangnya yang suka berpergian keliling Dunia?"

"Louis? Atau Harry?"

"Mereka berdua. Kamu tau, Be? Mereka berdua kayak anak kembar yang nggak bisa dipisahin." Geva terkekeh sembari mengingat sosok atasannya. "Apalagi sekarang udah jadi keluarga besar, makin lengket."

"Aku pernah liat Harry sekali, sewaktu Jess video call sama dia." Berlian mengingat hari itu di Starbun.

Hari di mana dirinya merasa sebal dengan Geva dan meninggalkan unit apartemen Geva dalam keadaan buruk.
Bertemu Niall di Starbun, kemudian bertemu Harry dalam sambungan video call yang membuatnya malu sampai sekarang setiap kali mengingatnya.

"Biasa aja, kan? Lebih tampan aku." Geva membusungkan dadanya dan mencengir lebar. Tidak mendapat tanggapan dari Berlian, dia pun menghela napas kecewa.

Saling diam beberapa saat. Geva memerhatikan genangan kopinya yang sudah mulai surut dan dingin, sedangkan Berlian menenggelamkan pikiran pada sosok bayi yang telah dia lahirkan namun tidak selamat.

Satu tetes air mata Berlian jatuh di atas punggung tangannya sendiri. Menyadari akan hal itu, Geva mengangkat wajahnya. Tetesan air mata wanita di hadapannya kini semakin deras dan tubuhnya mulai bergetar diiringi isak tangis yang kentara.

"Be." Geva mengulurkan tangannya di atas meja. Masih tidak mendapat respon. Akhirnya dia bangkit dan bersimpun di samping kursi Berlian. Meraih satu tangan wanita itu yang basah oleh air mata. "Ada apa?"

Berlian menoleh. Memperlihatkan kesedihannya pada Geva. Hati pria itu longsor, mengingat betapa kasar sikapnya tadi saat menyeret Berlian ke Steels Care.

Rasa bersalahnya kembali muncul. Pikirannya sibuk menerka-nerka alasan dari air mata Berlian.

"Be, aku minta maaf. Aku ... tadi ... aku tadi kasar banget sama kamu. Maafin aku, Be. Aku nggak bermaksud untuk nyakitin kamu. Tanganmu sakit ya?" Geva membolak-balik tangan Berlian dan wanita itu masih diam saja, terisak dalam tangisannya. "Be, yang mana yang sakit?"

"Yang ini, Ge." Berlian membawa tangan Geva ke dadanya.

"Hatiku yang sakit, Geva. Aku ... aku bukan wanita yang sempurna. Aku nggak layak jadi seorang ibu. Memang seharusnya aku nggak pernah jadi seorang ibu." Tangisnya kini pecah di bahu Geva.

Kedua tangan Geva memeluk pinggang Berlian, kemudian mengusap punggungnya dalam gerakan naik—turun untuk menenangkan wanita itu juga dirinya sendiri.

Mengingat bayi itu, membuat Geva kembali sedih dan kecewa pada kenyataan. Kenyataan bahwa tidak satupun dari bayi yang dilahirkan hari itu adalah darah dagingnya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang