Menyangkal

37 2 0
                                    

Geva tidak dapat menahan kekecewaan setelah dia meninggalkan rumah Berlian. Apa yang menjadi harapannya sudah benar-benar pupus. Niat hati dirinya datang untuk mengungkapkan perasaannya satu kali lagi pada wanita itu, tapi ternyata gagal. Karena Berlian memberitahu, dia sudah memiliki kekasih.

Sebenarnya Geva ingin tahu siapa pria yang beruntung itu. Dia ingin bertanya tapi terlalu kecewa hingga akhirnya dia berpura-pura Bahagia untuk Berlian. Yang pada kenyataannya, hati Geva sangat hancur mendengar hal itu.

...

"Geva akan menikahi Giana." Berlian memberitahu Louis sesaat setelah pria itu datang ke rumahnya.

"Wow! Bagaimana perasaanmu?" Tangan Louis melucuti pakaian Berlian dan menggiring wanita itu ke dalam kamar mandi.

Berlian mengedikkan bahu. "Aku senang."

"Yakin? Aku nggak melihatnya di matamu," ucap Louis sembari memutar kran shower di belakang Berlian. "Kamu cemburu, Be." Tangannya terulur untuk mengangkat dagu Berlian.

Menghela napas dan menatap pria di hadapannya beberapa saat. Tangan Berlian memeluk leher Louis. "Enggak. Aku nggak cemburu."

"Menyangkal lagi?" Pria itu menyeringai, kemudian mencecap kulit leher Berlian sehingga wanita itu mendesah dan mencengkram bahunya. "Kamu masih bisa menahannya sebelum terlambat, Be."

Berlian terkesiap ketika Louis memasukkan miliknya dan mulai menggerakkan pinggulnya. "Giana hamil, Lou." Louis berhenti bergerak. Dia menatap Berlian cukup lama, sampai wanita itu melepaskan diri darinya dan beralih duduk di atas closet dengan wajah muram. "Dia datang ke sini, setelah kamu pergi."

"Tadi pagi?"

"Jam tiga pagi," jelas Berlian dengan senyum tipis.

Louis meninggalkan bilik shower untuk mendekati Berlian. Dia berdiri di antara kedua kaki wanita itu. Menangkup wajahnya dan mencium bibir ranumnya perlahan, hingga gairah keduanya kembali terbakar dan Berlian berdiri lagi—melingkarkan tangannya di pinggan Louis.

Membalikkan tubuh Berlian membelakanginya. Wanita itu bertumpu pada closet yang di tutup dengan kedua lututnya dan Louis menghujamnya dari belakang sambil menarik rambut panjangnya yang digulung ke tangan.

Sentakkan kuat, berulang kali membuat Berlian mendesah nikmat dengan satu tangannya yang berpegangan pada tepian wastafel di sampingnya.

"Kamu mencintainya, Be."

"Nggak. Aku nggak mencintainya," sangkal Berlian dengan cepat. Dia bergerak cepat menghentikan gerakan Louis. Menarik pria itu untuk duduk di closet dan dia yang mengambil alih di atasnya. "Ah!" Louis mengusap punggungnya sembari mencecap puncak dadanya dengan sangat rakus hingga dia terengah-engah.

"Kamu siap kehilangannya?"

"Aku nggak akan kehilangannya, Lou. Kenapa kamu tanya begitu?"

Louis memeluk Berlian erat, sewaktu dia merasakan denyutan kuat pada pangkal pahanya. "I'm so close, Be," desahnya menahan gelombang kenikmatan yang akan meledak sebentar lagi. "Be!" Louis menahan pinggul Berlian yang semakin bergerak cepat, tapi wanita itu tidak peduli dan justru semakin kehilangan kendali.

"Fill me up!" pinta Berlian.

"No!" tegas Louis sembari menggelengkan kepala.

"Please! I wanna feel it."

"Bahaya, Be. Gimana kalau kamu hamil?"

"Nggak akan." Berlian memaksa dan memberikan tekanan lebih kuat dari sebelumnya yang mana sungguh membuat Louis tidak lagi sanggup untuk menahannya. "Aku sampai, Lou!"

Tubuh Berlian gemetar, kepalanya terdorong ke belakang dan dia mencengkram kuat bahu pria di bawahnya.

Sesaat setelahnya, Louis pun menyusul. Pria itu sampai pada puncak pelepasannya dan membuat Berlian tersenyum senang. Wanita itu masih duduk di atasnya dengan napas terengah-engah. "Aku mau melakukannya sepanjang hari," kekeh Berlian pada ucapannya sendiri. "Pasti Jessie bakalan senang punya kamu, Lou."

Seulas senyum tipis tercetak di bibir Louis sewaktu Berlian menyebut nama Jessie. "Aku yang senang kalau bisa memilikinya, Be." Louis mengecup dagu Berlian kemudian beralih pada leher dan memainkan lidahnya pada ceruk lehernya. "Kamu mau berdiri atau mau melakukannya lagi?" goda Louis dengan sengaja.

Berlian tergelak. "Aku udah bilang tadi, aku mau melakukannya sepanjang hari."

"Sayangnya, aku butuh istirahat sebelum penerbangan ke Atlanta, nanti."

"Amerika?" Berlian melepaskan dirinya perlahan. Keduanya mendesah dan tertawa setelahnya.

"Ya. Mengurus proyek lama yang sempat terhenti." Louis berjalan ke bilik shower untuk membersihkan dirinya. Berlian pun ikut bergabung dan ikut membersihkan diri. "Oh iya! Aku udah bicarain tentang kamu sama salah satu rekan di perusahaan penerbit. Kamu bisa langsung ketemu dia besok, untuk wawancara."

"Serius? Langsung wawancara?" Louis mengangguk. Dia menggosokkan sponge pada bahu Berlian. "Kamu beneran baik banget!" jerit Berlian. Dia melompat kecil dan nyaris terpeleset saking girangnya. Untung saja Louis cepat menangkapnya sebelum dia membenturkan kepalanya di kran air. Keduanya pun tergelak ringan setelahnya.

Usai mandi bersama. Berlian dan Louis makan malam bersama dan pria itu menceritakan beberapa pengalamannya selama bekerja di Steels Corp. Berlian semakin tertarik dan jauh di lubuk hatinya yang terdalam terdapat keinginan untuk bekerja di perusahaan itu. Tapi, jika dia melakukannya ... sama saja memulai perang dengan sang ibu yang sangat membenci Steels Corp.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Steels Corp. Hanya saja, Muthia menganggap bangkrutnya perushaan GC Industries disebabkan oleh Steels Corp. Namun pada kenyataannya, perusahaan itulah yang membantu perusahaan suaminya terbebas dari sengketa karena gedungnya berdiri di atas lahan milik Steels Corp.

GC Industries kala itu sedang berada dalam masa sulit. Galih Chandra Wijaya sang pemilik, sudah tidak lagi sanggu membayar gaji karyawannya. Yang mana akhirnya Steels Corp membantu memberikan dana pinjaman dan tidak melanjutkan perkara lahan ke ranah hukum.

Tahun-tahun berlalu, akhirnya Galih melunasi hutangnya pada Steels Corp. Dan pada pertengahan tahun ini, dia kembali menghidupkan GC Industries yang sudah lama mati.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang