Sepulang dari kantor, Geva segera mendatangi Steels Care. Dia terlambat lima belas menit. Dengan Langkah lebar dan tergesa-gesa, berjalan menyusuri Lorong rumah sakit dan berhenti di depan salah satu ruangan yang sudah diberitahu sebelumnya oleh Giana.
Tidak etis jika tiba-tiba Geva masuk ke dalam ruangan itu untuk menyusul Giana, bukan? Maka dia memutuskan untuk menunggu di depan ruangan. Dia sangat gelisah sejak Giana memberitahu kabar pagi tadi.
"Aku udah selesai," ujar Giana yang baru saja keluar dari ruangan.
"Gimana?"
Giana tidak tahan untuk menahan senyumnya. Dia pun langsung memeluk Geva dengan girang. "Empat minggu, Ge."
"Serius?" Geva bingung harus bereaksi bagaimana.
Giana positif hamil. Sudah sejak lama wanita itu menginginkan keturunan. Sebelumnya dia sudah pernah menikah lalu bercerai karena dikira tidak subur sehingga tidak dapat memberi keturunan. Tapi hari ini dia berhasil membuktikan kalau dirinya baik-baik saja dan bisa memberi keturunan seperti yang diimpikannya selama ini.
Terduduk lemas di kursi tunggu yang dingin. Geva mengusap wajahnya beberapa kali sesaat bayang-bayang Berlian muncul dalam benaknya. Dia tidak menduga kalau hubungannya dengan Giana akan sejauh ini. Dia belum memikirkan untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang sangat serius, yaitu pernikahan.
"Kamu nggak senang, ya?" Giana mengusap pipi Geva.
Pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Kemudian dia berdiri dan merangkul Giana menuju loket administrasi. Menyelesaikan pembayaran juga menebus obat. Mereka pun kembali ke unit Giana.
"Kamu mau teh atau kopi, Ge?" tanya Giana sambal melangkah ke dapurnya.
"Aku butuh yang lebih kuat dari itu, Gi."
Menyadari ada yang berbeda dengan Geva, wanita itu menghela napas dan kembali ke ruangan di mana Geva tengah terduduk sambal menenggelamkan wajahnya ke tangannya yang dilipat di atas lutut.
Mengusap punggung Geva perlahan. Pria itu menoleh. Matanya berkaca-kaca—membuat Giana menjadi bingung. "Kamu kenapa, Ge?"
"Aku nggak tau harus gimana, Gi," lirihnya menjaga suaranya agar tetap terdengar biasa saja.
Gemuruh di dalam diri Geva tidak dapat dia tahan lagi. Memang benar dia sudah jatuh cinta pada Giana, menyayangi wanita itu seperti layaknya kekasih. Tapi tidak dapat dipungkiri kalau ada bagian dari hatinya yang selalu ditempati oleh Berlian. Ruang istimewa di sana yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
Bagaimana cara Geva memberitahu Berlian soal ini? Apakah sahabatnya akan baik-baik saja? Tunggu! Geva baru ingat kalau dirinya terlalu sibuk dengan Giana sampai-sampai melupakan Berlian selama ini. Dia bahkan tidak pernah mencaritahu apakah sahabatnya itu sudah memiliki ponsel baru?
"Ge, aku nggak minta apapun dari kamu. Aku bahkan nggak berpikir meminta kamu untuk tanggung jawab," kata Giana membuat Geva sedikit terkejut.
"Maksudnya?"
"Aku sadar, seorang janda kayak aku begini nggak pantas menuntut apapun dari pria seperti kamu."
"Apaan, sih, Gi? Kenapa bicara begitu. Aku nggak suka kamu punya pemikiran kayak begitu." Geva menarik merengkuh tubuh Giana, mengecup puncak kepala wanita itu. "Aku bakal bertanggung jawab, Gi." Giana tersenyum senang mendengar itu. Sedangkan Geva masih resah akan pikirannya.
Geva menyayangi Giana juga Berlian. Dia tidak ingin melukai hati keduanya. Walaupun dia sangat yakin kalau Berlian tidak akan merasa tersakiti bila dia menikahi Giana, karena sudah terang-terangan Berlian tidak menginginkan Geva. Tapi, ada satu sisi di mana Geva berpikir, sekeras-kerasnya hati manusia, pasti memiliki sedikit celah untuk terluka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science-Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...