Kejutan Tengah Malam

91 4 0
                                    

Di sepanjang perjalanan pulang, Berlian menyanyikan lagu-lagu yang diputar di radio.

Berlian merasakan ada sesuatu yang menggelitik perutnya setiap kali mengingat Louis. Mengingat sentuhan pria itu yang membuat tubuhnya meremang.

Tiba di rumah, Berlian segera membersihkan tubuhnya. Karena hari sudah malam, hampir pukul dua belas malam. Berlian memutuskan untuk mandi lebih cepat.

Biasanya dia melakukan ritual berendam dengan chamomile sebelum tidur agar relaks. Tapi malam ini cukup mandi cepat untuk menyingkirkan keringat dan debu saja.

Baru saja dia membuka pakaiannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk membuatnya nyaris melompat.

"H-halo."

"Aku di depan rumah."

Berlian meletakkan ponselnya di atas wastafel. Dia meraih jubah mandi dari gantungan dan memakainya buru-buru.

Setengah berlari dia menuju pintu depan rumahnya. Ketika tangannya sudah berada di knop pintu, Berlian mengatur napas sejenak sebelum membuka kunci.

"Hai!" sapa Geva dengan wajah datar. Berlian mempersilakannya masuk.

Tepat setelah Berlian mengunci pintu. Geva mendesaknya ke pintu. Mengunci tubuh Berlian di dalam kukungannya.

"Ge," keluh wanita itu yang terkejut dengan pergerakan sahabatnya yang tiba-tiba.

Geva membawa kedua tangan Berlian ke atas kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanannya menjelajahi setiap lekuk tubuh Berlian dari dalam jubah mandinya.

"I want you so bad, Be," desah Geva di telinga Berlian.
Sisa getaran yang dibuat oleh Louis tadi masih tersisa.

Kehadiran Geva membuatnya memiliki kesempatan untuk melampiaskan hasratnya yang tertahan dari Bogor sampai Jakarta tadi.

"Me too, Ge."

Tidak butuh ranjang yang empuk. Mereka melakukannya di lantai ruang tamu. "Maafin aku, ya, Be," ucap pria itu selagi menghujami Berlian dengan kenikmatan.

Mata Berlian terbuka lalu kembali menutup. Dia tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang luar biasa. Hanya Geva yang mampu membuatnya seperti ini. Walaupun Louis sangat gentle, tapi Geva tetap nomor satu dalam urusan memuaskannya.

"Jangan banyak ngomong, Ge." Jeritan Berlian lepas bersamaan dengan pelepasannya yang lebih dulu dari Geva.

Geva mengangkat tubuh Berlian. Membawanya ke kamar dan membaringkannya di tepi ranjang.

Bersimpuh di lantai, Geva menenggelamkan wajahnya di antara kedua paha Berlian. Wanita itu melenguh dan menjambak rambut Geva sewaktu pusat gairahnya sedang dimanjakan.

"Ah! Geva!" lenguh Berlian merasakan kedutan hebat di pangkal pahanya. "Ge, aku—" Belum selesai bicara, dia sudah kembali mencapai pelepasan keduanya.

Geva menyeka sudut bibirnya menggunakan ibu jarinya secara sensual. Gairah keduanya kembali berkobar dan Geva kembali menenggelamkan kejantanannya di lembah kenikmatan yang lembap.

Tidak butuh waktu lama. Geva mencapai puncak pelepasannya dan Berlian juga kembali mencapai pelepasan ketiganya.

Tubuh Berlian terkulai lemas. Kakinya bergetar namun tidak mampu lagi untuk bergerak.

"Ge, tolong dong. Kakiku lemas banget." Berlian mengulurkan kedua tangannya sewaktu Geva menarik diri darinya.

Dengan napas yang terengah-engah, Geva memindahkan tubuh Berlian ke tengah ranjang. Kemudian dia mengambil tisu basah dari dalam laci nakas untuk membersihkan sisa kekacauan di sekitar paha Berlian.

Sentuhan Geva serta tisu basah yang dingin, membuat Berlian mendesah dan melenguh. "Be, ini cuma tisu, bukan adikku," canda Geva. Dia tergelak sendiri melihat Berlian yang benar-benar tidak berdaya saat sedang dibersihkan seperti bayi.

Bahkan wanita itu sampai tidak sanggup menanggapi candaan Geva. Untuk bernapas saja, dia masih kesulitan.
"Udah bersih. Mau lagi nggak?" Geva berbaring miring di samping Berlian.

"Sinting," sahut Berlian. Gemuruh di dadanya masih sangat kuat. Dan Geva semakin menertawainya.

"Lemah banget, masa begitu doang capek, sih?" ejeknya.

"Aku habis menyetir dari Jakarta ke Bogor lalu dari Bogor ke Jakarta, Geva."

"Aku juga."
"Kok, cepet banget sih kamu udah sampai dan tiba-tiba udah ada di depan rumahku?"

"Aku kan pembalap di malam hari, Be."

"Masa bodoh!" Berlian mengibaskan tangannya.

"Pas sampai di Steels Tower, aku langsung ambil motor terus ke sini."

"Loh?" Berlian berbaring miring. "Giana nggak apa-apa?"
"Emangnya kenapa?"

"Kamu emangnya mau apa ke sini? Sengaja mau ina-inu doang?"

"Enggak. Aku kangen aja sama kamu," kilah Geva. "Kamu mencurigakan deh," sambungnya.

"Mencurigakan gimana?"

"Kamu sama atasanku ada apa, sih, Be?"

"Atasan?"

"Iya. Louis. Kamu aneh banget tadi. Naksir ya?"

Berlian mengubah posisinya lagi. Menjadi berbaring telentang menatap langit-langit kamar yang polos berwarna biru muda.

"Enggak. Biasa aja," jawab Berlian. Sebisa mungkin dia menghindari kontak mata dengan Geva. Karena biasanya pria itu mengetahui kalau dirinya sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu.

"Kalau bohong, hidungmu bisulan sebesar telur ayam, ya!"

"Gila! Amit-amit!" Berlian menutup wajah Geva menggunakan bantal. "Aku mau mandi. Kamu pulang atau nginep?"

"Nginep aja."

"Ya udah. Ayo mandi!"

"Ih, tumben ngajak." Geva sangat senang. Dia melompat dari ranjang dengan antusias. "Biar aku isi bathubnya dulu," ujarnya.

"Nggak usah. Udah tengah malem gini, mandi cepet aja, Ge."

"Oke." Geva menggendong Berlian sehingga wanita itu menjerit kaget.

Di bawah kucuran air shower, Geva kembali membangkitkan gairah Berlian. Keduanya kembali bergumul dalam percintaan yany tidak ada habisnya. Sampai Berlian tidak sanggup lagi berdiri di atas kakinya sendiri. Dia duduk lemas di lantai kamar mandi.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang