Geva menghela napas panjang ketika dia terbangun di sofa ruang tengah dan melihat kekacauan yang dia lakukan beberapa jam lalu.
Ada penyesalan yang menyelimuti, mengingat apa yang telah dia lakukan terhadap Giana. Amarah dan ego yang tidak terkendali membuatnya menyakiti wanita yang tengah mengandung darah dagingnya.
Kepalanya masih sedikit pengar dan pandangannya sedikit berbayang ketika dia berjalan ke dapur, untuk mengambil air minum.
Mengusap wajah beberapa kali, pria itu frustasi dan ingin membenturkan kepalanya ke dinding karena tidak dapat menyingkirkan Berlian dari dalam benaknya.
Suara ponsel berdering membuatnya mencari benda pipih itu yang seingatnya semalam dia letakkan di atas meja makan, namun tidak ada.
Mencari sampai ke kolong meja dan sofa, ternyata ponsel Geva tertutupi kaus kotornya di lantai.Dalam hatinya, dia berharap Berlian yang menghubungi. Tapi ternyata, sang ibu yang menghubunginya. Kening Geva pun berkerut. Suatu hal yang aneh, mengingat hubungannya dengan sang ibu tidak terbilang cukup baik sejak bertahun-tahun lalu.
Awalnya Geva membiarkan panggilan itu sampai berakhir. Jika memang penting, maka ibunya akan menghubungi kembali, dan ternyata benar. Ponselnya kembali berdering.
"Geva." Suara sengau wanita paruh baya di seberang sana sangat kentara. "Ayah, Ge."
"Kenapa? Membuat masalah lagi? Cari pengacara lain aja, Bu." Geva mengaktifkan mode pengeras suara dan meletakkan ponselnya di meja makan.
Pria itu memunguti barang-barang yang jatuh di lantai. Kursi makan yang terbalik—tidak pada posisi seharusnya. Bingkai foto, botol antiseptik, dan mangkuk yang pecah. Lampu meja yang rusak pada bagian penutupnya, serta benda kecil lainnya yang dilemparkan olehnya karena terbakar emosi.
"Bukan, Nak."
"Nak?" Geva mencibir. Dia memasukan pecahan kaca ke dalam kantung plastik dan membuangnya ke keranjang sampah.
"Ayahmu serangan jantung dan—" isak tangis sang ibu semakin jelas dan Geva buru-buru mengambil ponsel, menunggu kelanjutan kalimat dari ibunya.
"Bu ...."
"Ayahmu udah nggak ada, Ge." Tangis ibunya pecah. Terdengar suara gaduh dan beberapa orang yang memanggil nama ibunya.
Geva meyakini kalau ibunya jatuh pingsan. Dia sangat membenci sang ayah, tapi mendengar kabar buruk pagi ini membuat kakinya mendadak lemas sehingga dia terkulai lemas duduk di kursi makan.
Setelah panggilan di akhiri pun, Geva masih merasa lututnya seperti 'tak bertulang. Bayangan akan kenangan masa kecil bersama ayahnya kembali tersiarkan dalam ingatan.
Tanpa sadar, satu tetes air matanya jatuh ke atas layar ponsel.
.
.
.
Sudah sangat lama, Geva tidak pernah menghadiri pemakaman. Tapi sore ini dia pergi ke pemakaman untuk mengantar mendiang ayahnya ke tempat peristirahatan terakhir.
"Pulang, ya, Ge," pinta ibunya yang sejak Geva tiba di rumah, sedikitpun wanita paruh baya itu tidak melepaskan tangannya dari tangan Geva.
Seburuk apapun orangtua, seorang anak harus tetap hormat dan menyayanginya. Geva menuruti permintaan ibunya untuk kembali ke rumah hari ini.
Dia sudah memberitahu kabar duka pada Berlian, tapi tidak mendapat balasan. Dia pun memberi kabar pada Giana yang mana hanya dibalas 'turut berduka'.
Di saat seperti ini, Geva merasa kalau alam sedang
mengujinya. Mendorongnya hingga jatuh ke lapisan dasar kehancuran.Geva telah kehilangan sahabatnya, sosok ayah, dan kemungkinan ... sosok ibu dari anaknya. Tidak! Geva tidak membiarkan itu terjadi.Dia mengirimi pesan untuk Giana.
Geva :
Gi, aku minta maaf.Geva :
Seharusnya aku nggak marah sama kamu. Bisa kita ketemu besok?Giana :
Nggak bisa. Aku harus keluar kotaGeva :
Ke mana? Ngapain?Giana :
Kamu nggak perlu tau. Kita bukan apa-apa, Ge.Geva :
Apa maksudnya?Giana :
Berhenti mengasihaniku. Aku bisa merawat diriku dan calon anakku sendiri.Geva :
Siapa yang mengasihanimu, Gi? Aku tulus mau jaga kamu dan calon anak kita, tolong diingat. Anak kita, bukan cuma anakmu.Giana :
Terserah.Meremas ponsel menahan emosi yang akan meledak. Geva berusaha menahan agar tidak membuat kekacauan di rumah orangtuanya.
"Makasih, ya, kamu mau pulang," ucap sang ibu sembari mengusap punggung Geva.
"Cuma menginap malam ini."
Sang ibu menghela napas dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Gimana kabarmu?"
"Sangat baik setelah keluar dari rumah ini." Helaan napas kecewa pun kembali terdengar. "Bu, aku ke sini karena menghormati ayah. Tapi bukan berarti aku bisa melupakan semua yang udah ibu dan ayah perbuat selama ini." Geva meninggalkan ibunya di ruang keluarga. Dia berjalan masuk ke kamar yang dulu adalah kamarnya.
Ruangan besar yang terasa hampa, membuat Geva merindukan masa kecilnya. Masa di mana dia hanya mengenal dua buah masalah, yaitu mendapat nilai jelek dan membolos les.
Menjadi orang dewasa ternyata sangat tidak mudah. Masalah yang dihadapi pun sungguh menyakitkan hingga menyesakkan dada.
Berbaring di ranjang besarnya yang dingin dan sepertinya sudah lama tidak tersentuh tangan manusia. Sudah jelas, kamar ini tidak pernah lagi digunakan sejak dia meninggalkan rumah dan memilih untuk menyewa unit di Steels Tower.
Sebuah tulisan di meja belajar, menarik perhantian Geva. Dia mendekat dan menyingkirkan selembar kertas yang menutupi sebagian tulisan itu. Dia pernah mengukir nama Berlian di meja belajarnya menggunakan mata pisau yang di tekankan ke meja.
Sudah sangat lama dia mencintai wanita itu. Sudah sangat lama dia menyimpan cintanya untuk menyelamatkan persahabatn antara keduanya.
Tapi kini, semua sudah rusak berantakan. Sesal. Hanya itu yang tersisa.Seperti keajaiban yang terjadi secara kebetulan, tiba-tiba Berlian menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Geva segera menerima panggilan masuk itu.
"Be?"
"Hai, Ge. Aku turut berduka, ya. Maaf ... aku nggak bisa datang. Tadi ada wawancara kerja soalnya. Kalau pun aku datang, nanti malah—"
"Aku ngerti, Be. Makasih, ya ... udah mau telepon." Diam-diam Geva tersenyum tipis. "Kamu wawancara kerja di mana?"
"Penerbitan. Ge, maaf. Udah dulu, ya. Pacarku datang. Salam untuk Giana."
Pacar? Giana?
Perasaan senangnya hanya berlangsung kurang dari lima menit. Senyumnya pudar saat Berlian mengucapkan kata 'pacar'. Hati Geva kembali merosot dan perih sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science-Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...