Sudah hampir seharian sejak dirinya tersadar dari pingsan, Berlian tidak berhenti menangis. Di kamar yang dingin, dia sendirian memeluk perutnya.
Berlian tidak pernah membayangkan akan sesakit ini kehilangan buah hati yang tidak pernah dia inginkan sebelumnya.
Semua rasa sesal dan memorinya membawa pada hari di mana dirinya hendak menggugurkan kandungannya, di mana dia mendatangin klinik illegal serta meminum banyak alkohol.
Namun, ketika dirinya sudah mulai menerima kehadiran buah hati di dalam perutnya dan mulai menyayanginya, justru dia kehilangan untuk selamanya.
-Kehilangan akan mengajarkanmu bagaimana caranya engkau menghargai sesuatu yang masih di dalam genggaman-
Salah satu kutipan yang ditemukan oleh Berlian di dalam laman web, membuat air matanya jatuh lebih deras.
"Be? Kamu udah sadar ...." Geva membuka pintu dan Berlian segera menghapus air matanya menggunakan kedua tangannya.
"Hai." Memaksakan senyum namun gagal. Berlian justru kembali menangis tersedu-sedu.
Geva segera merengkuh tubuh wanita kesayangannya, membiarkan Berlian menangis di bahunya. Menumpahkan seluruh air mata kesedihan akan kehilangan buah hatinya.
"Aku tau, ini masih terlalu cepat. Tapi ... aku udah bicara sama Louis kalau kamu bersedia, kami mau tes DNA untuk mengertahui, dia milikku atau mili—" Belum sempat menyelesaikan maksudnya, Berlian sudah lebih dulu menarik diri dan melotot pada Geva. "Be, maaf kalau—"
"Aku ngerti," ucapnya dengan lesu dan tatapannya pun melembut.
"Jadi?" Berlian mengangguk dan Geva menghela napas lega. "Lusa Louis ke sini." Wanita di hadapannya kembali mengangguk lemah, kemudian menyandarkan punggungnya pada bantal yang telah di tumpuk.
"Kapan aku boleh pulang?" tanya Berlian sambil menundukkan kepalanya, menatap jemarinya yang saling terjalin di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
"Aku belum tau, Be. Nanti aku coba tanyain, ya." Geva mengusap punggung tangan Berlian. Wanita itu mengangkat wajahnya pelan-pelan, menatap datar Geva tanpa mengatakan apapun selama beberapa saat.
Hingga akhirnya ....
"Bagaimana Giana?"
Geva mendesah. Mengusap wajahnya kemudian mengalihkan pandangannya pada gelas air minum milik Berlian di atas nakas. "Anak kami udah lahir, jenis kelaminnya laki-laki. Kuberi nama Genta Evano." Senyum yang disunggingkan oleh Geva adalah bukti nyata dirinya tengah berbahagia dan Berlian ikut mengulas senyum.
"Namanya bagus. Tapi, kenapa nggak ada nama kamu di belakangnya?"
"Karena ... Genta terlahir sebelum aku dan Giana menikah. Anak yang lahir dari hubungan yang belum sah di mata Tuhan, nggak boleh diberikan nama ayahnya di belakang."
Berlian mengangguk mengerti. "Nggak apa-apa, yang penting kamu dan Giana udah menikah sekarang.
Keluarga kalian udah lengkap.""Enggak, Be. Aku dan Giana nggak menikah, mungkin nggak akan pernah menikah."
"Kenapa? Aku kira kalian—" Geva menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangan pria itu kembali terulur untuk menggenggam kedua tangan Berlian dengan kedua tangannya.
"Aku nggak mencintai Giana, Be."
"Tapi kalian punya anak sekarang."
"Nggak merubah perasaanku padanya. Dan ... padamu."
"Ge."
"Aku mencintaimu, Berlian. Aku mencintaimu dari sebelum aku tau aku cinta kamu."
Berliah terkekeh. "Apa, sih! Nggak jelas banget omongannya."
"Pokoknya begitu deh, Be." Geva pun ikut terkekeh. "Aku sayang banget sama kamu, Berlian. Aku cinta sama kamu. Aku mau menikahnya sama kamu."
Berlian menarik tangannya pelan-pelan, tapi Geva menahannya dan justru mempererat genggamannya sambil menggelengkan kepala.
"Ge, kamu nggak boleh begini. Dengan kamu mendapinginku kemarin aja, udah salah. Seharusnya kamu ada untuk Giana, bukan aku."
"Aku tau. Tapi itu kemauanku, Be. Aku mau kit—"
"Selamat siang, Berlian." Pintu kamar di dorong dan kepala Niko muncul dari celah pintu. Pria itu mencengir lebar dan Berlian segera menarik tangannya selagi Geva lengah. "Aku bawain kamu bunga dan ketoprak kesukaanmu. Tahunya buanyak banget!"
"Makasih, Nik. Tapi, aku belum boleh makan ketoprak kayaknya." Jawaban Berlian mendapat anggukkan setuju dari Geva dan seketika Niko nampak kecewa. "Nanti, Geva aja yang makan. Ya, Ge?" Berlian menelengkan kepalanya pada Geva sambil mendelikkan mata.
"I-iya," jawab Geva terpaksa.
"Terserah." Niko mengibaskan tangannya. Meletakan bunga di atas nakas serta plastik bungkusan ketoprak di sampin bunga. "Gimana keadaanmu?" Berlian tidak menjawab, hanya mengangkat bahunya. "Jadi, kapan aku bisa ketemu keponakanku? Apa jenis kelaminnya?"
Geva menatap Berlian. Mencoba untuk menguatkan wanita itu melalui senyuman tipis yang dia sunggingkan. Berlian mengangguk kecil padanya sebelum menjawab pertanyaan Niko.
"Dia ... nggak selamat, Nik. Aku kehilangan bayiku."
Mendengar jawaban Berlian, wajah Niko seketika pucat dan pria itu segera memeluk Berlian tanpa memedulikan Geva yang memicingkan mata padanya karena cemburu.
"Hati-hati, ada luka jaitan di dekat sana." Geva memberi peringatan sewaktu tangan Niko hendak turun ke pinggang Berlian.
"Maaf." Niko menarik diri kemudian mengusap matanya.
"Be, aku keluar sebentar, ya. Kamu mau apa?" tanya Geva setelah menggeser tubuh Niko supaya menjauh dari tempat tidur Berlian. Sekarang Geva sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Nggak mau apa-apa. Kamu mau ke mana? Giana, ya?"
"Iya. Dia udah bisa pulang hari ini. Aku mau mengurus administrasinya. Nanti aku ke sini lagi."
"Nggak usah, Ge. Kamu pulang aja. Ada Niko di sini yang temani aku." Berlian tersenyum dan mengusap bahu Geva.
Namun berbeda dengan Geva yang tengah dilanda cemburu saat ini, menampilkan ekspresi kesal yang sangat kentara.
Tetap pada keinginannya. Geva kini menjadi sedikit egois untuk sesuatu yang dia inginkan.
Kecupan hangat yang cukup lama di daratkan pada kening Berlian. Tidak sampai di sana. Bibir Geva juga menyambangi kedua pipi Berlian dan terakhir bibir wanita itu yang sudah lama dia rindukan.
"Aku bakal ke sini lagi, besok," ucapnya penuh penekanan setelah menyudahi kecupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Ciencia Ficción18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...