Kerinduan Berlian

30 2 0
                                    

"Akhirnya, kamu pulang juga! Kukira, kamu dipasung sama pacarmu yang posesif itu," sambut Niko sewaktu Berlian sedang menaiki tangga indekos.

"Pacar? Sejak kapan aku punya pacar?" Berlian telah sampai di lantai dua, dia membungkuk sedikit sambil mengatur napas.

"Itu si Geva!"

Berlian mendecak. "Mesti berapa kali sih, aku ingetin kamu? Geva itu sahabatku, Nikotin!"

"Tapi kayaknya dia nggak nganggep begitu."

"Berisik!" Berlian mendorong wajah Niko menggunakan telapak tangannya, kemudian dia membuka kunci pintu kamar kosnya.

Hampa.

Itulah keadaan kamar kecil Berlian yang sudah lama dia tinggalkan. Tiga bulan sudah, wanita itu meninggalkan ruangan yang menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai wanita hamil.

Dinding-dinding yang berdebam hampir setiap malam karena aktivitas seksual tetangganya, Berlian merindukan itu.

"Kamu ke sini naik apa?" Kepala Niko muncul dari balik pintu.

"Mobil."

"Aku sewa ya!" serunya antuasias.

"Pakai aja, nggak usah sewa."

"Serius?" Kedua mata Niko membulat dengan sempurna.

Bibir pria itu melengkungkan senyuman lebar hingga memperlihatkan barisan giginya. Berlian mengangguk dan membuat Niko semakin girang. "Asik!"

"Tapi, tolong dicuci ya! Dan ingat! Jangan kotori mobilku dengan kotoranmu." Berlian memperingatkan sambil mengarahkan jari telunjuknya ke area kejantanan pria itu.

Niko mengacungkan ibu jarinya kemudian Berlian melemparkan kunci mobilnya pada pria itu. "Aku nitip makanan ya."

"Siap, Berlian cantik." Niko menghilang dari balik pintu kamar Berlian, pria itu melangkah lebar kemudian masuk ke dalam kamarnya. Bersiap untuk menjemput teman kencannya malam ini.

Urusan pekerjaan, mengharuskan Geva untuk pergi ke Surabaya, selama sepekan. Pria itu sudah mewanti-wanti Berlian untuk tetap tinggal di apartemen saja, namun wanita itu tetap pada keinginannya. Yaitu kembali ke kosan, karena ... dia merasa tidak nyaman tinggal di Steels Tower yang menurutnya memiliki banyak kenangan kurang meneganakan.

Semua penderitaannya berasal dari gedung itu. Di sana lah, Berlian mengenal Giana, Jessie, Arkan, dan Louis yang mana akhirnya ... menjadi seseorang yang menanam benih ke dalam rahimnya.

Jessie teman baiknya yang diperkosa oleh Arkan—pria menyebalkan yang sejak awal sudah mencurigakan. Giana, wanita yang membuat persahabatannya dengan Geva menjadi renggang setelah kehadirannya.

Semua itu berawal dari Steels Tower, dan ... kini mereka semua sudah tidak beada di sana. Berlian tentu merasa sepi dan sedih setiap kali mengingatnya.

Berlian menyempatkan dirinya untuk sedikit membersihkan kamar dengan menyapu dan mengepel lantai. Setelah itu, dia membereskan beberapa sisa pakaiannya—memasukkannya ke dalam koper yang sudah dibawanya.

Berlian berniat untuk kembali tinggal di rumahnya. Dia sudah tidak hamil, tetangganya tidak akan usil bertanya tentang perutnya yang buncit. Maka, hidup wanita itu akan tenang.

Niko sudah berangkat kencan, gedung indekosnya sepi karena masih banyak yang belum kembali dari bekerja. Berlian memutuskan untuk pergi ke warung, membeli beberapa minuman serta makanan ringan untuk mengganjal perutnya.

'Tak di sangka, sewaktu wanita itu membuka pintu gerbang indekos, dia menemukan Sherly dan Fanisya sedang menyantap bakso di samping gerobak bakson Bang Mamat, tukang bakso yang biasa mangkal di depan gedung indekos Berlian tinggal.

"Eh? Neng Berlian. Apa kabar? Ke mana aja, baru keliatan," tegur Bang Mamat sambil mengeringkan mangkuknya.

"Ada, Bang. Lagi males keluar," kekeh Berlian. "Satu ya, Bang. Kayak biasa. Bakso kecil aja, jangan pakai toge dan jangan pak—"

"Jangan pakai saus tapi sambalnya yang banyak," lanjut Bang Mamat yang sudah sangat hafal dengan pesanan Berlian.

"Berlian?" Fanisya yang pertama kali menyadari. Yang disapa tersenyum ramah kemudian berjalan mendekat. "Kamu tinggal di sini?" tanyanya setelah meneguk air mineral kemasan.

Sherly buru-buru mengunyah bakso di dalam mulutnya. "Kok, aku nggak pernah liat kamu, sih! Ya, ampun. Ternyata kita tetanggan. Aku sana Fanisya kos di depan," ujar Sherly sambil menunjuk pintu gerbang indekosnya.

"Kalian apa kabar?" tanya Berlian setelah menggeret kursi plastik dan duduk di hadapan Sherly dan Fanisya.

"Baik. Walau nggak sebaik tinggal di penthouse," jawab Sherly diiringi tawa dan di akhir dengan suara yang keluar dari hidungnya menyerupai suara seekor keledai yang disertai cairan setelahnya.

"Jorok banget, ih!" omel Fanisya padanya.

"Ya elah, Fan! Gitu doang aja di bilang jorok."

"Ya emang jorok, Sherlok!"

"Lebay banget sih, Pan—"

"Apa?" sungut Fanisya.

"Enggak!"

Berlian menggelengkan kepala sambil mengulum senyum. Ternyata, sepasang sahabat itu masih saja seringkali bertengkar mengenai masalah-masalah kecil yang sepele.

"Ini baksonya, Neng Cantik." Bang Mamat memberikan pesanan bakso milik Berlian.

"Ih, Bang Mamat pilih-pilih banget. Kalau sama Berlian manis banget ngomongnya, dibilang cantik pula. Kalau sama Saya nggak pernah begitu," protes Sherly sambil memberikan mangkuk kosongnya pada Bang Mamat.

"Soalnya Neng Berlian nggak pernah pakai gas kalau ngomong, nggak kayak kamu," kelakar Bang Mamat mengundang gelak tawa Fanisya.

"Bang Mamat kan, seorang pria. Dia tau mana Berlian ... mana batu kali." Fanisya mengejek dan Sherly langsung melemparkan kemasan air mineral gelas yang sudah kosong hingga mengenai kepala sahabatnya. "Tuh! Kalau batu kali emang emosian, nggak ada anggun-anggunnya," tambah Fanisya lagi yang mana membuat Sherly semakin tersulut.

"Kamu udah berani ya sekarang ngatain aku. Awas aja nanti!"

"Awas aja apa? Berani ngancem aku? Aku nggak bakal mau temenin kamu kalau kebelet pipis tengah malam."

"Ih! Kenapa jadi kamu yang ngancem sih? Nyebelin."

Sherly kalah telak. Wanta itu akhirnya diam dan cemberut di tempatnya. Sedangkan Bang Mamat sudah tertawa terbahak-bahak sampai matanya berair.

"Ya ampun. Aku kangen banget sama kalian. Kangen juga sama Jessie ...." Mendengar itu, Sherly dan Fanisya saling melempar tatap kemudian hening setelahnya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang