"Nanti aku coba cari informasi untuk aborsi deh, Be." Geva membelai rambut Berlian.
Berlian mendorong tubuh Geva, melepaskan diri dari pelukan pria itu. "Siapa yang hamil, sih? Ini hasilnya negatif semua!" decak Berlian jengkel sembari memperlihatkan keempat alat tes kehamilan yang dipegangnya ke depan wajah Geva.
Dengan kedua mata yang memicing, Geva mengamati satu per satu dari masing-masing alat tes kehamilan tersebut yang menunjukkan hasil negatif. Setelahnya dia beralih menatap Berlian dengan kening yang berkerut.
"Terus, kenapa kamu nangis? Bikin heboh aja," gerutu Geva.
Pria itu melemparkan keempat alat tes kehamilan ke dalam keranjang sampah. Kemudian dia kembali berbaring di atas ranjang, menarik selimut dan memeluk guling.
"Aku nangis karena senang, Ge. Tapi, juga takut." Berlian menggigit bibirnya. "Aku belum datang bulan."
"Coba cek ke dokter. Ke bawah gih sana! Coba buat janji dulu." Geva memejamkan matanya, mencoba untuk kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu.
Berlian meraih ponselnya kemudian menghubungi Steels Care di lantai bawah. Pihak rumah sakit memberitahukan kebetulan hari ini sedang ada jadwal praktik dokter kandungan.Janji telah dibuat, pukul satu siang yang artinya, Berlian masih memiliki waktu kurang lebih lima jam lagi.
Berlian ikut bergabung di atas ranjang—berbaring di samping Geva. Mengamati wajah pria itu yang nampaknya sudah terlelap.
Tangan kiri Berlian terulur untuk mengusap pipi Geva. Dia tertawa kecil ketika rambut halus di sekitar wajah Geva mengelitik kulitnya.
"Aku tau, kamu sedang mengagumi ketampananku," ujar Geva dalam keadaan mata yang terpejam.
Berlian langsung mendorong wajah Geva menggunakan telapak tangannya. "Aku kira udah tidur!" semburnya.
Geva membuka mata, kemudian mencengir lebar. "Kamu udah nggak panik, kan?" Berlian mengembuskan napas pelan lalu mengangguk ragu. "Sini!" Geva merengkuh tubuh Berlian—mendekapnya hangat.
"Gimana kalau ternyata aku salah pakai testpack-nya tadi, Ge?" Berlian menjelajahi ukiran tato di lengan Geva dengan ujung kuku dari jari telunjuknya yang diberi warna cokelat.
"Untuk pastinya nanti kamu bisa konsultasi ke dokter. Mau aku temenin?"
"Enggak, ah. Nanti jadi pertanyaan, dikiranya kamu suamiku. Ribet."
"Emangnya kenapa, sih? Lebay banget."
"Nanti biar aku sendiri aja, Ge. Sekalian pulang deh, aku. Ya?" Berlian mendongak, menatap wajah Geva dari bawah.
Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Berlian. Menggesekkan hidungnya ke hidung wanita di hadapannya. "Kenapa harus pulang?"
"Ada urusan mendadak, Ge."
Sebelah alis mata Geva terangkat. "Urusan mendadak? Sejak kapan kamu punya urusan mendadak? Ada apa? Kamu nggak usah sembunyiin apa-apa dari aku, deh, Be."
"Sembunyiin apa, sih? Aku beneran harus pulang, ada urusan mendadak. Temanku mau datang."
"Teman yang mana? Temanmu cuma aku."
Berlian memukul dada Geva. "Temanku banyak! Jangan sembarangan ya."
"Siapa?" desak Geva penuh keingintahuan.
"Alara. Astaga! Kenapa mau tau banget, sih, Ge?"
"Takutnya kamu ina-inu lagi sama pria sembarangan, terus nanti panik lagi, pusing lagi, repot lagi."
Berlian menggeser tubuhnya menjauh. "Kamu merasa repot karena keluhanku? Kok, kamu bisa-bisanya ngomong begitu sih, Ge?" Wanita itu melompat turun dari ranjang.
Sedangkan Geva sangat terkejut dan mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada headboard.
"Bukan gitu maksudnya, Be. Kok, kamu jadi sensi begini, sih?" Pertanyaan Geva justru menyulut emosi Berlian karena nada bicaranya.
Berlian mengibaskan tangannya tanda tidak peduli. Dia menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas. Dengan gerakan sangat cepat dia mengganti pakaian dan mengikat rambutnya asal juga tidak memakai skincare seperti biasa.
"Kamu mau ke mana, Be?"
"Pulang!" sahut Berlian penuh kekesalan.
"Kok, jadi marah, sih? Aneh banget kamu!" Geva berdiri di samping ranjang. Memerhartikan Berlian yang mondar-mandi mencari sesuatu.
"Charger-ku mana?" tanya wanita itu sembari mengulurkan tangan.
Geva mendecak kesal. Mencabut kabel charger yang dengah mengisi daya ponselnya, lalu memberikannya pada Berlian.
Setelah memastikan semua barang-barangnya sudah lengkap dan masuk ke dalam tas, Berlian melesat pergi meninggalkan unit Geva tanpa bicara apa-apa lagi.
Geva menjadi ikut kesal karena sikap Berlian yang mendadak menyebalkan seperti itu. Dia berusaha mengingat bagian mana yang salah dari perkataannya tadi? Menurutnya, tidak ada.
Pria itu mengempaskan tubuhnya kembali ke atas ranjang. Meraih ponsel untuk mengirim pesan.
Geva :Kalau aku salah ngomong, aku minta maaf deh.
Pesan yang sudah diketik itu pun kembali dihapus. Geva menggeram kesal pada dirinya sendiri. Dia tidak bisa membiarkan Berlian merajuk seperti itu, tapi ego menguasainya kali ini, sehingga dia tetap membiarkan Berlian pergi begitu saja.
Di lantai delapan, pintu lift terbuka. Seorang wanita masuk ke dalam. Wanita cantik, kulitnya sawo matang, dan memiliki kerutan halus di sekitar mata ketika tersenyum.
Di dalam lift hanya ada Berlian dan wanita itu. Berlian menundukkan kepala, berusaha menutupi wajahnya yang polos tanpa riasan wajah. Dia merasa malu karena wanita di sampingnya nampak sangat cantik dengan riasan wajah sederhana dan perona bibir yang gelap namun terkesan seksi.
Ketika sampai di lantai dasar, wanita itu memberi jalan untuk Berlian keluar lebih dulu. "Terima kasih," ucap Berlian.
"Sama-sama." Wanita itu menjawab lalu berjalan di belakang Berlian.
Suara hak sepatu yang bersentuhan dengan lantai marmer, membuat Berlian menghela napas. Terlebih ketika dia menyadari kalau dirinya hanya memakai sandal rumahan yang jelek dan kusam.
"Berlian!" panggil seseorang dari dalam Starbun.
Itu Jessie. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum cerah.
Berlian sudah membuat janji dengan dokter kandungan. Dia malas, jika harus pulang ke rumah dan kembali lagi ke Steels Tower siang nanti. Akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri Jessie.
"Kamu sendirian, Jess?" tanya Berlian yang sudah berdiri di sisi kursi Jessie.
"Iya. Sambil menunggu sepupuku," jawabnya sangat ramah. "Ngopi bareng?" Jessie mengangkat cangkir kopinya.
"Nggak apa-apa emangnya kalau aku di sini sama kamu?"
"Nggak apa-apa, dong. Aku senang ada teman ngopi." Jessie mencengir lebar kemudian Berlian mengangguk. Wanita itu memesan Earl Grey untuk mengawali paginya kali ini
"Maaf, Jess. Aku nggak ngopi," ujar Berlian sembari meletakkam cangkir tehnya di atas meja.
"Santai aja." Jessie terkekeh. "Kamu mau ke mana?"
"Niatnya mau pulang, tapi ... aku lupa, udah bikin janji mau cek up."
"Di Steels Care?" Jessie menunjuk ke atas dan Berlian mengangguk. "Pasti mau perawatan ya?"Berlian hanya tertawa kecil menanggapinya."Sepupumu tinggal di sini juga?"
"Enggak. Dia tinggal di London. Kebetulan aja lagi liburan ke sini." Jessie mengecek ponselnya kemudian mengalihkan pandangannya ke jendela. "Nah! Itu dia!" Dia melambaikan tangan pada seseorang.
Berlian membuka mulutnya. Rahangnya nyaris saja jatuh ketika melihat sosok Niall James Smith sedang berjalan menghampiri.
"Kopiku mana?" tanya pria itu pada Jessie. Berlian mengerutkan keningnya ketika mendengar sosok Niall bicara dalam bahasa Indonesia.
"Pesan sendiri. Aku nggak tau kamu maunya apa."
"Ah, kamu ini, Jess!" decaknya sebal kemudian melenggang pergi untuk memesan kopi.
"Niall James Smith?" tanya Berlian tidak percaya. Jessie hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Sepupumu, Niall James Smith?" Berlian mengulang menyebut nama Niall.
"Sial! Kenapa keadaanku harus seburuk ini ketika bertemu pria tampan?" Berlian merutuki dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Ficção Científica18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...