Terik matahari siang ini terlalu panas untuk seseorang yang sedang diselimuti amarah dan kecewa.
Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Geva kehilangan fokusnya saat berkendara. Menyebabkannya nyaris celaka dan mencelakai pengerndara lain juga pengguna jalan lainnya.
Geva ingin segera pulang dan mencelupkan kepalanya ke dalam ember yang diisi air dingin. Dia butuh sesuatu untuk mendinginkan kepalanya.
Alunan musik yang dua dengarkan melalui airpods pun sama sekali tidak dapat mengusir suara Louis pada saat pria itu mengakui perbuatannya bersama Berlian di belakangnya selama ini.
Geva sangat sadar bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk melarang siapa saja yang berhak berhubungan dengan Berlian, pria mana yang pantas untuk menjadi kekasih atau hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksualnya.
Karena kesadarannya sangat tinggi akan tidak bisanya dia melewati batasan itu, membuatnya kehilangan akal sehat pada saat mendengar pengakuan Louis tadi.
Pukulan yang telah dilayangkannya pada Louis pun sangat disesali. Beruntung, atasannya itu menerima tanpa membalas dan tidak memperpanjang masalah ataupun memecatnya.
Setibanya di Steels Tower, Geva bergegas ke unitnya untuk membersihkan diri dari keringat yang bercucuran di tubuhnya sebelum menemui Giana.
Dia pikir, keramas dapat membuat kepalanya dingin. Memang benar kepalanya dingin secara harfiah, tapi tidak sama sekali menenangkannya maupun menghilangkan suara Louis dari kepalanya dan bayangan kebersamaan pria itu bersama wanita kesayangannya.
Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Geva mengulangin hingga lima kali sebelum dia mengetuk pintu unit Giana. Geva sudah siap menerima sambutan amarah dari wanitanya, dia bahkan siap jika hubungannya harus berakhir.
Karena jujur saja, di kepala Geva kini hanya dipenuhi segala tentang Berlian.
Mengenakan jubah mandi yang panjangnya hanya menutupi sedikit bagian paha. Giana membuat Geva tertegun sewaktu wanita itu membuka pintu.
Tidak ada raut wajah marah maupun tatapan mematikan dari wanita itu. Hanya sambutan yang dingin membuat Geva akhirnya membuka suaranya lebih dulu.
"Hai."
"Masuk." Giana membuka lebar pintu unitnya dan mempersilakan Geva masuk ke dalam, kemudian wanita itu menutup pintu menggunakan kakinya.
Sambutan dingin yang benar-benar dingin. Se-dingin suhu di dalam unit Giana. Satu jam yang lalu, Geva memang membutuhkan sesuatu yang dingin untuk kepalanya, tapi sekarang dia justru disuguhkan oleh suasana yang dingin.
Aroma red berries dan pear yang bercampur dengan pink pepper, mulai menyeruak masuk ke dalam indera pengciuman Geva.
Pria itu sudah sangat hafal dengan aroma parfum milik wanitanya yang memberi kesan segar dan sensual yang menggoda.
"Mau minum apa?" tanya Giana sambil berjalan ke dapur. Dia bahkan tidak perlu repot menoleh untuk menatap Geva.
"Aku nggak haus." Langkah kaki wanita itu terhenti. Dari belakang, Geva dapat melihat bagaimana bahu Giana naik beberapa detik kemudian turun saat wanita itu menghela napas kasar dan berbalik.
Mencoba untuk tidak menjadi seorang bajingan, Geva mengulas senyumnya. Berjalan mendekat dan mencoba untuk meraih tangan wanitanya yang dingin.
Giana diam saja, tidak menolak, tidak juga terlihat senang akan sentuhan prianya. Hal itu membuat Geva menjadi salah tingkah dan kebingungan.
Usapan hangat dari tangan kekar pria itu pada perutnya, membuat Giana memejamkan mata. Semula dia merasakan perutnya sedikit tegang, namun sesaat Geva mengusapnya ... janin di dalam kandungannya pun menyambut dengan pergerakan.
Kilat bahagia terpancar di mata Geva. Dia tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Membungkukkan tubuhnya untuk mendekatkan wajahnya ke perut Giana.
Geva mulai bicara pada janin di dalam sana. Dan lagi ... buah hatinya merespon dan membuat Giana meringis.
"Sakit ya?" tanya Geva khawatir dan Giana menggelengkan kepalanya. Tangan Giana mengusap kepala Geva—membuat pria itu tersenyum senang. "Aku kangen kamu, Gi."Tidak menjawab. Giana memegang kedua bahu Geva, meminta prianya untuk berdiri. "Aku pun," ucap Giana dengan suara rendah yang menyerupai bisikan. Dia tersenyum pada saat membelai wajah Geva, menyentuh rambut halus yang mulai memenuhi kedua bagian rahangnya. "Kamu nggak pernah bercukur lagi?"
Geva menggeleng dan memiringkan kepalanya.Mendekatkan bibirnya ke bibir Giana yang sedikit terbuka dan mengeluarkan aroma berries. "Aku kangen banget sama kamu, Gi." Ibu jari Geva mengusap bibir bawah Giana, lalu melumatnya perlahan.
Manis adalah satu kata yang menggambarkan bagaimana rasa bibir Giana saat ini. Geva sangat tahu kalau wanitanya senang sekali menggunakan pasta gigi dengan rasa buah-buahan, sabun mandi hingga parfum yang juga memiliki aroma buah.
Kecupan rindu yang sudah cukup lama tertahan, kini telah tersalurkan. Bibir yang saling memagut satu sama lainnya kini saling menuntut. Tangan-tangan yang bergerak bebas ke tubuh satu sama lain sudah berhasil melepaskan kain-kain dari tubuh keduanya.
Terengah setelah melepaskan pagutan keduanya. Geva dan Giana tersenyum saling tatap. Kini Geva mulai mencecap setiap inci dari kulit Giana, meninggalkan jejak lembap pada setiap lekuk tubuh wanitanya.
Menuntun pernuh hati-hati, Geva membaringkan Giana di atas sofa. Satu hal yang tidak Geva mengerti, bagaimana bisa seorang wanita yang tengah hamil besar justru nampak sangat menggoda dan menyulut birahinya.
"Apa aku keliatan buruk?" Giana bertanya sambil menggigit bagian bibir bawahnya sewaktu Geva cukup lama mengamati.
"Kamu sempurna."
Geraman bersalut birahi berkumpul di kerongkongan. Tangan Giana menarik rambut Geva kuat-kuat ketika dia mulai merasakan pangkal pahanya berdenyut hebat. Suara desahan dan geraman Giana, membuat Geva semakin bernafsu menikmati kelembapan wanitanya.
Giana harus mengakui bahwa Geva selalu tahu di mana titik kelemahannya. Tidak butuh waktu lama, permainan lidah pria itu berhasil membawa Giana pada ledakan pertamanya. "Luar biasa," desah Giana.
Geva menyeka sudut bibirnya dan mendongak. "Apa yang luar biasa?"
"Kamu. Selalu luar biasa." Memandangi wajah Geva dari celah kedua pahanya yang terbuka.
Pria itu merangkak naik sambil mencecap perut Giana. Dia tertawa karena merasa geli, tapi Geva sama sekali tidak menghentikan aksinya. Justru sengaja membuat Giana semakin terkikik hingga akhirnya dibungkam oleh kejantanan pria itu yang menerobos ke dalam lembah kenikmatannya.
Desahan dan geraman yang berbalut kenikmatan mengisi ruangan. Suhu yang semula dingin, kini berubah menjadi panas. Napas mereka berdua terengah-engah setelah lepas akan penyatuan.
Kecupan ringan didaratkan tepat di kening Giana. "Maafin aku, Gi." Giana tidak menjawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...