Beban Pikiran

20 2 0
                                    

Berlian merenung selepas kepergian Louis dari kamar kosnya. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya seperti yang belakangan ini sering dia lakukan.

Kedatangan Louis yang seperti sinetron, secara tiba-tiba dan sangat kebetulan ... membuatnya meragu untuk melakukan niat awalnya menggugurkan kandungan.
Terlebih setelah pria itu membuang obat penghancur janin yang dibelinya susah payah ke dalam closet.

Mendesah putus asa. Memikirkan kembali permintaan Louis untuk tidak menggugurkan kandungannya. Tentu saja itu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tidak semudah pada saat mengatakannya.

Menjadi wanita hamil tanpa pasangan bukanlah hal yang mudah untuk Berlian. Wanita itu tersenyum miris untuk dirinya sendiri. Untuk hidupnya yang dikasihani oleh Louis—temannya berbagi ranjang.

Lalu bagaimana permintaan Louis yang lainnya?

Permintaan agar Berlian mau pindah dari indekosnya ke Sunflower Land By Steels untuk tinggal bersama teman yang katanya adalah seorang perawat.

Tidak. Tidak bisa. Berlian tidak bisa melakukan semua permintaan Louis.

Mengusir penat dan berharap dapat meringankan beban pikirannya. Berlian keluar dari dalam kamarnya dan menuju balkon yang menghadap ke jalan besar.

Indekos yang masih berada di pinggiran Ibukota ini terbilang cukup sepi karena letaknya yang berada sedikit ke dalam. Jalan utama yang pas-pasan dan hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil dan satu sepeda motor.
Jika berpapasan dengan mobil lainnya di arah berlawanan, maka salah satunya harus siap mengalah untuk memberi jalan.

Mata Berlian menangkap dua sosok wanita yang baru saja keluar dari dalam gerbang indekos yang berada di sebrang. Berlian mengenali kedua sosok yang tengah saling berpegangan tangan ketika hendak menyebrang.
Kedua sosok wanita itu adalah Sherly dan Fanisya.

Sudut bibir Berlian berkedut sewaktu Sherly nampak sedang mengumpat entah pada siapa, saat kakinya tersandung dan nyasir tersungkur.

Ingatan Berlian membawanya pada hari di mana, dia, Jessie, Sherly dan Fanisya pergi ke kafe hits di Bogor dan bertemu Geva bersama Giana yang kemudian disusul oleh Louis dan Niall.

Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah bisa Berlian lupakan sampai kapanpun. Hari di mana, dia berpikir bahwa dirinya telah jatih cinta pada Louis dan cemburu melihat Geva bersama Giana.

Apa? Cemburu? Berlian cemburu? Tidak. Tentu saja tidak. Dia hanya merasakan hari itu adalah awal dia mulai kehilangan sosok sahabatnya karena kehadiran seorang wanita di tengah-tengah mereka.

Sherly dan Fanisya kembali menyeberang dan saling dorong sewaktu akan membuka pintu gerbang indekos mereka.

Ingatannya pindah, membawanya pada sosok Jessie yang biasanya selalu ada di tengah-tengah kedua wanita yang sedang dia perhatikan sejak tadi.

Hatinya sedih kembali mengingat cerita Louis tadi tentant Jessie. Wanita sebaik Jessie tidak pantas diperlakukan sehina itu oleh seorang pria. Tapi, di sisi lain ... dia merasa bersyukur karena ada Louis yang bersedia menambal lukanya dengan tulus.

Dibalik kisah menyedihkan, Jessie masih memiliki keluarga yang menjaganya, teman-teman yang menghibur dan Louis yang selalu melakukan apapun untuknya.

Lalu, kembali Berlian tersenyum miris mengingat hidupnya yang menyedihkan ini benar-benar sangat sepi. Jauh dari keluarga. Menjauhkan diri dari sahabat yang kemungkinan besar sudah menikah dan hidup bahagia sekarang.

Ternyata berdiri di balkon sembari menghirup udara sore hari tidak membantu Berlian meringankan beban di kepalanya.

Berlian menemukan sebuah pesan masuk dari Louis pada saat dia kembali ke kamarnya.

Louis :
Aku udah buatkan janji temu dengan dokter kandungan di Steels Care sore ini jam empat.

Kening Berlian mengerut saat membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Louis.

Berlian :
Janji temu? Untuk apa?

Louis :
Memeriksa kandunganmu setelah kamu berusaha untuk menggugurkannya dengan bourbon yang kuberikan. Ingat?

Bibir Berlian membentuk garis lurus mendatar. Dia ingin sekali Louis melihat ekspresinya saat ini, maka dia berswafoto—menunjukkan ekspresi malasnya dan mengirimkannya pada pria itu.

Louis :
Aku nggak akan membatalkan janji dengan dokter hanya karena ekspresi penolakanmu itu.

Di atas kasurnya Berlian tergelak ringan. Akhirnya dia bisa tertawa lagi setelah hampir lupa bagaimana caranya menghibur diri.

Berlian :
Kenapa aku harus menurutimu?

Louis :
Karena kalau enggak, aku yang akan menyeretmu.

Berlian :
Ancaman?

Louis :
Bentuk perhatian versiku. Jangan banyak protes. Aku bisa menemanimu sebelum penerbangan.

Berlian :
Nggak perlu, Lou. Aku bisa sendiri. Makasih ya.

Louis :
Sama-sama, Be.

Berlian :
Oh ya! Untuk permintaanmu ... kayaknya aku nggak bisa deh, Lou.

Kolom pesan singkat antara Berlian dan Louis seketika hilang ketika pria itu meneleponnya.

"Apa?" Berlian tersenyum.

"Maksudmu apa, Be? Nggak bisa apa?" Nada suaranya terdengar sangat serius. Ada suara kendaraan yang berlalu lalang di sekitarnya.

"Kamu lagi di jalan?"

"Jawab pertanyaanku dulu, baru kujawab pertanyaanmu," tuntut Louis yang kemudian terdengar suara klakson.
"Bloody Hell!" umpatnya kesal. "Nanti kutelepon lagi, Be."

Sambungan teleponnya terputus begitu saja. Berlian hanya menggelengkan kepala dan meletakkan ponselnya di bawah bantal.

Berlian merasa aneh dengan perubahan sikap Louis yang mendadak menjadi lebih serius dari sebelumnya dan menjadi sedikit memaksa akan kehendaknya pada Berlian.

"Bahkan dia bukan pacarku," gumam Berlian sebelum akhirnya memejamkan mata.

Mendadak Berlian merindukan sosok Geva. Sosok sahabat yang tidak pernah memaksa atau memberinya perintah. Justru Geva adalah sosok pria yang selalu dipaksa dan diberi perintah oleh Berlian. Tapi itu dulu. Sebelum Geva mengungkapkan perasaannya terhadap Berlian dan sebelum ada Giana di tengah-tengah mereka.

Kembali mengingat Geva kenapa dada Berlian terasa sakit? Setiap kali menyebutkan nama Giana dalam hatinya, atau mengingat kembali seperti apa rupa sosok wanita itu dalam benaknya ... Berlian menjadi sangat kesal sekali untuk alasan yang masih belum dia mengerti.

Apakah Geva mencari Berlian selama beberapa bulan terakhir ini? Apakah pria itu masih mengingatnya? Mungkinkah dia juga merindukan Berlian sebesar Berlian merindukannya?

Semua pertanyaan itu hanya menambah beban pikitan Berlian saja. Wanita itu sendiri yang menjejalkan beban ke dalam kepalanya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang