Setelah percintaan mereka yang terakhir, Berlian benar-benar ambruk dan akhirnya tidak melanjutkan memasak mi instan, tapi Geva lah yang memasakkan untuk mereka berdua.
Setengah berbaring di atas sofa, Berlian menerima setiap gulungan mi yang diberikan oleh Geva secara telaten.
"Kamu berniat membunuhku ya?" Berlian menyeka bulir keringat yang bercucuran di wajahnya.
Mi instan rebus yang dibuat oleh Geva diberi irisan cabai rawit yang luar biasa banyak sehingga membuat wanita itu kepedasan hingga perutnya mulai terasa panas.
"Tapi enak, kan, Be?" Berlian mengangguk setuju, namun tetap saja dia tidak kuasa lagi menahan hawa panas yang mulai menyelimutinya.
"Ac-nya nyala nggak sih, Ge? Panas banget," kata Berlian sambil mengibaskan tangannya ke depan wajah.
"Nyala kok. Seharusnya udah dingin banget sih, Be. Tapi karena kamu terlalu 'hot' jadinya ... ac pun nggak ada gunanya sekarang." Geva mengerling sedangkan Berlian memutar mata malas. "Ayo, satu kali lagi." Pria itu kembali menyodorkan gulungan mi kepada Berlian yang langsung dijawab dengan gelengan kepala. "Terkahir, Be. Nanti ayammu mati kalau nggak abis makannya."
"Aku nggak punya ayam." Berlian hendak bangkit tapi Geva menahan pergelangan tangan wanita itu. "Aku mau mandi, Ge."
"Nanti dulu."
"Astaga ini udah sore," omel Berlian sambil megap-megap karena kepedasan dan kepanasan.
Geva tersenyum genit, membuat Berlian kembali duduk di sofa. Berlian menatap Geva penuh curiga, saat pria itu meletakkan mangkuk mi ke atas meja, lalu merapatkan duduknya pada Berlian.
"Mau apa lagi? Udah dong, Ge."
"Sssh!" Geva merosot—bersimpuh di depan Berlian.
Memisahkan kedua kaki jenjang nan mulus itu, kemudian mulai menyentuh intim Berlian yang sudah menangis sejak tadi.
Wanita itu tersentak karena sentuhan Geva. Dia benar-benar sudah kehabisan tenaga, bahkan masih bisa merasakan dinding kewanitannya berdenyut.
"Ge ... ah!" Tangan kiri Berlian mencengkeram lengan sofa. Tangan kanannya menahan kepala Geva yang beada di antara kedua pahanya yang terbuka.
Geva mengecup paha bagian dalamnya dan meninggalkan jejak basah hingga ke bibir kewanitaannya yang sudah meringis. "Oh!" Tangan kanan itu sekarang menarik rambut Geva, menekan kepalanya agar semakin dekat pada apa yang diinginkannya.
Kembali menyerahkan dirinya pada rasa nikmat yang diberikan Geva dengan keahlian lidahnya. Berlian mengerang, mendesah, hingga akhirnya berteriak pada puncak pelepasan yang menggetarkan seluruh tubuh.
Geva menyeka sudut bibirnya dengan punggung tangan. Lalu tersenyum puas sebelum mengecup seluruh bagian pada wajah Berlian. "Mau mandi sekarang?" tanya Geva setelah duduk di samping Berlian yang masih terengah-engah.
"Mau. Tapi ... a ... aku ...." Berlian mengangkat satu tangannya yang lemas, kemudian tangan itu jatuh ke atas pangkuannya. Geva tertawa melihat wanitanya yang sudah tidak berdaya.
"Oke." Pria itu mengangkat tubuh Berlian yang lemas, membawanya dalam gendongan sambil menghujaninya dengan kecupan sambil berjalan ke dalam kamar. "Kasian ... sampai nggak berdaya gini," ejek Geva.
Jika dalam kondisi normal, mungkin Berlian sudah memukul kepala pria itu. Tapi karena tenaganya sudah benar-benar habis, jadi Berlian hanya diam saja dan tidak menanggapi.
.
.
.
Suara ketukan di pintu membuat Geva beranjak dari ranjang. Berlian masih tidur pulas sambil memeluk guling. Pria itu tersenyum sekilas sebelum memeriksa siapa yang mengetuk pintunya. Nina berdiri di ambang pintu unitnya bersama dengan Raka di dalam gendongannya. "Mba Nina."

KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Ciencia Ficción18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...