Sepulang dari kantornya, Geva kembali ke Steels Tower dan disambut oleh Giana di depan pintu unitnya.
Wanita cantik itu memakai celana santai pendek serta atas tanpa lengan yang sedikit menggantung. Otot perutnya hasil dari olahraga dan pekerjaannya sebagai koreografer, membuat Geva tersenyum sewaktu melihatnya.
"Hai, Gi," sapa Geva.
Giana tersenyum dan medaratkan cupan hangat di pipi kiri Geva. "Pas banget. Aku baru aja mau ajak kamu makan bareng. Aku telepon, ponselmu nggak aktif."
"Ponselku habis daya. Maaf, ya." Geva memeluk pinggang Giana. Wanita itu melingkarkan kedua tangannya ke leher Geva. Saling menatap dan perlahan menggesekkan hidung keduanya kemudkan tertawa kecil.
"Get a room, guys!" seru Arkan yang baru saja keluar dari unitnya dan mendapati tetangganya sedang bermesraan di lorong.
Bukannya merasa malu. Geva dan Giana justru sengaja memamerkan kemesraannya di hadapan Arkan. "Mau ke mana, Bro?" tanya Geva.
"Jemput pacar." Arkan tersenyum lebar. "Eh, gue belum sempat cerita, ya." Pria itu melangkah mendekat.
Geva masih memeluk pinggang Giana—semakin posesif ketika Arkan memicingkan matanya ke arah pinggang Giana. "Minta dicolok 'tuh, mata!" tegur Geva tegas.
Arkan tergelak dan beralih mengangkat wajahnya. "Lo baru pulang, Ge?"
"Iya. Lo masih nganggur, Ar?" gurau Geva mengejek Arkan yang belum mendapat pekerjaan tapi mendapat hak istimewa tinggal di Steels Tower karena orang tuanya sangat menyayanginya dan masih memperlakukan Arkan layaknya seorang remaja.
Merasa sedikit tersindir, tapi Arkan tetap terkekeh. "Berlian mana, Ge?"
Geva menelan ludahnya. Tangan yang memeluk pinggang Giana menjadi semakin erat, sampai wanita itu menoleh dan melihat wajah pria di sampingnya yang tegang.
Arkan pernah bertemu dengan Berlian. Dia juga tahu kalau Berlian merupakan teman bukan sepupunya dari tetangganya itu.
"Di rumahnya lah," sahut Geva diiringi tawa kecil.
"Udah nggak pernah nginep lagi?" Geva menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan itu. "Kemarin Jessie cerita, katanya kalian hangout bareng ya?"
"Iya. Nggak sengaja ketemu Berlian, Jessie dan teman-temannya."
"Pasti ada Louis ya?"
"Iya. Kok tau?"
"Itu orang ada di mana-mana, Ge. Mencurigakan banget. Kalau gue jalan sama Jessie, nih. Nggak bisa santai, deh. Ribet si Louis itu. Jadinya gue nggak bisa ngapa-ngapain sama Jessie."
Geva terdiam setelah mendengar penuturan Arkan. Tetangganya itu benar-benar kelihatan sangat tidak menyukai atasannya—Louis. Bahkan ketidaksukaannya mengarah ke benci.
"Ya udah, gue jalan dulu. Lanjutin di kamar, jangan kotori lorong ini," pesan Arkan sembari menepuk bahu Geva sebelum dia melangkah gontai menuju lift.
Saling tatap sejenak, Geva dan Giana tertawa terbahak-bahak. Mereka menertawai diri masing-masing karena tertangkap basah sedang bermesraan di lorong.
Geva membuka pintu unitnya menggunakan fingerprint. Pintu terbuka setelah sensor di pintu mengeluarkan suara 'bip' dan lampu sensor berubah hijau.
Canggih memang fasilitas di Steels Tower ini. Pintu unit dapat dikunci dan dibuka menggunakan kartu akses, fingerprint, dan pin. Sehingga memudahkan seseorang jika salah satunya bermasalah, dia masih bisa menggunakan dua cara lain untuk masuk ke dalam unitnya.
"Mau makan di unitku?" Giana bertanya setelah mengakhiri tawanya.
"Boleh. Tapi aku ganti pakaian dulu, ya. Sekalian mandi deh sebentar."
"Mandinya nggak mau di unitku aja?" Giana mengedipkan matanya genit—sengaja menggoda Geva. Kemudian dia menggigit bibir bawahnya yang mana membuat Geva segera mencubit bibirnya gemas.
"Tunggu sebentar, aku taruh laptop dan ambil pakaian ganti dulu ya."
Giana tersenyum sewaktu Geva masuk ke dalam unitnya. Bersandar di dinding lorong sembari menggigiti kuku jari tangannya, Giana sabar menunggu Geva.
"Tuh, kan. Kok, gigitin kuku, sih?" tegur Geva yang baru saja keluar dari unitnya, membawa kaus dan celana olahraga panjang di tangan kirinya. Sambil mengunci pintu, dia menggelengkan kepala.
"Kebiasaan," kekeh Giana.
Wanita berkepala tiga itu memiliki kebiasaan menggigiti kuku jari tangannya setiap kali merasa bosan. Dia tipe orang yang mudah bosan jika tidak melakukan apapun, bahkan walau hanya sepuluh menit saja.
"Nanti kukumu habis, gimana?" Geva merangkul Giana—berjalan menuju unit wanita itu.
Giana membuka pintu unitnya. Masuk lebih dulu dan disusul oleh Geva yang langsung mengunci pintu dari dalam.
"Kalau habis, nanti bakalan tumbuh sendiri," kekeh Giana lagi yang tengah berjalan ke dapurnya.
Geva dibuat terperangah ketika melihat ruang tengah Giana yang diberi dekorasi aesthetic yang hangat. Lilin-lilin di atas meja, bunga yang dia tidak tahu apa jenisnya, kemudian aroma terapi yang membuat rileks.
"Kamu nyiapin semua ini?" tanya Geva kagum. Dia membuka tiga kancing kemejanya sebelum duduk di lantai yang sudah diberi alas bantal. Sofanya sudah digeser sehingga ada space yang cukup luas di sekitar meja.
Giana membawa menyajikan hidangannya ke atas meja. Aroma dari fuyunghai dan ayam asam manis buatannya membuat penghuni di dalam perut Geva berteriak minta makan secepatnya.
"Iya. Aku mau makan malam romantis sama kamu. Nggak apa-apa, kan?" Giana duduk di hadapan Geva. Jarak mereka hanya terhalang meja. Tapi keduanya masih dapat saling pandang dan mengagumi dalam hati masing-masing.
Ada sesuatu yang menggelitik dalam perut Geva ketika dia mendengar pengakuan wanita di hadapannya itu. Bisa dibilang, Giana cukup agresif, tapi justru itu yang membuat Geva tertarik padanya.
Geva memajukan posisi tubuhnya. Dia mengecup bibir Giana dan berkata, "terima kasih, Gi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Fantascienza18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...