"Aku pergi, ya, Be. Kamu yakin nggak kenapa-kenapa? Mau aku suruh Geva ke sini, nggak?" tanya Louis dengan sebelah alis terangkat dan senyum miring yang sengaja diperlihatkan untuk menggoda.
Berlian melemparkan bantal ke arahnya yang langsung ditepis. "Udah bisa melempar bantal, tandanya udah punya tenaga. Mau ina-inu lagi nggak?" godanya lagi yang mana membuat Berlian kembali melemparkan bantal yang lainnya kemudian mereka berdua tertawa.
Mengantar Louis sampai teras, keduanya saling tatap sebentar hanya untuk bertukar senyuman. Berlian menyukai kebersamaannya dengan Louis.
Pria itu sangat menyenangkan dan juga sangat perhatian. Tapi tetap saja, baginya Geva adalah segalanya. Geva adalah sosok pria yang paling menyenangkan dan paling perhatian, juga sangat memahaminya tanpa harus memberitahu apa yang sedang dia pikirkan.
"Kalau ada apa-apa, harus kabarin aku, ya, Be!" pesan Louis setelah mendaratkan kecupan singkat di kening Berlian. Wanita itu pun mengangguk dan melambaikan tangan mengantar kepergian Louis—meninggalkan halaman rumahnya.
Sewaktu Berlian menutup pagar rumahnya, lewatlah dua orang tetangganya dan dia tersenyum. Kedua ibu-ibu itu membalas senyum Berlian dan berhenti sebentar di depan pagar rumahnya.
"Mbak Berli, pacarnya ganti-ganti terus. Jangan sering-sering ganti-ganti pasangan, Mbak. Apalagi sama bule yang suka jajan sana-sini. Hati-hati nanti kena penyakit kelamin," ucap ibu-ibu yang memakai hijab cokelat.
Jujur saja, Berlian sangat tersinggung. Tapi dia mencoba untuk tetap memaksakan senyumnya.
"Jangan keseringan diajak nginep juga, Mbak. Nanti bisa-bisa dilaporin Pak RT. Kan, malu kalau sampai diarak keliling kampung. Emangnya mau?"
Menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. "Mohon maaf ya. Bu Tati, Bu Nenden ... Saya masuk dulu, lagi masak air soalnya. Permisi."
"Pantesan aja kita sial terus. Deketan sama orang yang suka berzinah, sih." Baru dua langkah, salah satu dari ibu-ibu tukang gosip itu mencibirnya. Yang mana cibirannya berhasil menyayat hati Berlian.
Setelah menutup pintu dan menguncinya. Berlian menyandarkan punggung pada daun pintu. Perlahan tubuhnya merosot hingga jatuh duduk di lantai, dan dia mulai menangis. Menangisi nasibnya dan perkataan ibu-ibu barusan. Dia merasa sangat murahan sekarang. Bercinta dengan Geva dan Louis bergantian.
Berlian merasa hidupnya sudah sangat berantakan dan tidak memiliki arah. Kehadiran Giana di antara dirinya dan Geva ternyata telah merubah segalanya.
"Kenapa hatiku sakit setiap kali menyebut nama Giana?" gumamnya.
.
.
.
"Ya, ampun. Ini banyak banget, Ge." Giana menggelengkan kepalanya tidak percaya sewaktu melihat delapan kantung belanja yang berisi makanan ringan, minuman sari buah, juga beberapa macam jenis buah, dan masih banyak lainnya. "Dua jam kamu pergi, untuk belanja semua ini?"
Geva terkekeh.Membawa seluruh kantung belanjanya ke dapur dan mulai memasukkannya satu persatu ke lemari penyimpanan. Giana ikut membantu—bagian memasukkan makanan beku dan beberapa minuman ke dalam kulkas.
"Aku beliin ini buat kamu." Geva memberikan satu kotak susu hamil pada Giana.
"Sok tau banget kamu beliin aku susu hamil."
"Justru karena aku nggak tau, jadinya aku beli tiga macam!" Dikeluarkannya dua kotak susu hamil lainnya dari dalam kantung belanja dan Giana tertawa geli. "Kamu pilih aja, deh, yang mana kamu suka dan mana yang sekiranya cocok. Tadi aku nanya sama pegawai swalayan, katanya ketiga susu itu yang paling bagus di antara susu lainnya," terang Geva yang mulai menyibukkan diri menyusul makanan di lemari penyimpanan.
Tangan Giana melingkari pinggang Geva. Wanita itu memeluknya dari belakang. "Makasih ya, Ge."
Geva pun berbalik dan membelai rambut Giana, kemudian mendaratkan kecupan hangat di puncak kepalanya. "Sehat-sehat ya, Gi. Jaga anak kita baik-baik." Bagaimana mungkin Giana tidak luluh hatinya, diperlakukan seperti itu oleh Geva?
Niat menguji keberuntungan, ternyata Giana masuk ke dalam jebakannya sendiri. Jatuh untuk mencintai Geva teramat dalam dan kecewa karena pria itu tidak mencintainya.
"Pasti, Ge," jawab Giana dengan mantap. "I love you." Geva hanya mengangguk dan kembali mencium puncak kepala Giana. Kecewa? Tentu saja Giana kecewa. Tapi, dia akan tetap mencintai Geva dan membuat pria itu jatuh cinta padanya, kelak. "Minggu depan aku mau cek up lagi, Ge."
"Kenapa emangnya?"
"Emang harus cek setiap bulan, Ge. Selama enam bulan. Nanti kalau udah memasuki usia tujuh bulan dan seterusnya, jadwal ceknya jadi dua minggu sekali. Kemarin sih, Dokter Ezra bilangnya begitu."
Geva menelan ludah mendengar penuturan Giana. Kepalanya mulai sakit membayangkan berapa banyak biaya yang akan dia keluarkan selama beberapa bulan kedepan dan seterusnya. Belum lagi biaya lahiran di zaman ini sangat mahal.
"Nanti aku temenin ya, Gi."
"Beneran?" Geva mengangguk mantap. "Makasih, Ge!" Giana kembali memeluknya erat-erat.
"Kalau pelukan terus kayak begini, kapan selesainya aku beresin semua makanan ini, Sayang?"
Sayang? Geva memanggil Giana dengan sebutan 'sayang'.
"Apa, Ge? Kamu panggil aku apa?" Wanita itu mendongak."Sayang? Kenapa? Kamu nggak suka, ya? Kalau gitu aku gan—"
"Aku suka!" pungkas Giana yang pipinya sudah menghangat dan merona.
Geva terkikik melihat wajah wanita itu yang tersipu malu-malu. Giana menjadi seperti anak kecil yang manja sejak hamil. Kadang, manjanya membuat Geva tidak habis pikir dan kehabisan sabar kalau sudah keterlaluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...