Berlian menarik napas panjang sebelum dia melewati sekumpulan ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran di dekat portal gang.
Pada awalnya dia mengira, tinggal di daerah perkampungan akan membuatnya mengenal banyak orang ramah ketimbang komplek perumahan yang tak jarang, tetangga sebelah pun tidak saling kenal. Tapi ternyata, dirinya selalu dijadikan bahan gosip setiap hari.Geva yang dipercaya untuk menyetir hari ini, justru dengan sengaja membuka kaca jendela mobil untuk menyapa ibu-ibu tukang gosip itu.
"Selamat pagi, Ibu-Ibu, permisi, ya, numpang lewat," ujarnya sambil menebar senyum yang mengandung virus.
"Iya, Mas, silakan," sahut sekumpulan ibu-ibu itu bersamaan dan Geva mengangguk lalu menutup kaca jendela mobil kembali.
"Kamu ngapain, sih, pakai menyapa segala?" omel Berlian.
"Loh? Ada yang salah? Harus sopan, Be. Kalau kita sopan, ramah dan baik hati, mereka akan segan membicarakan keburukan kita."
"Nggak usah ceramah, Ge. Cepetan, deh."
"Iya, Nyonya Berlian," sahut Geva dengan nada mengayun.
Setibanya di Sunflower Land by Steels, mobil mereka berhenti di pos penjaga. Sang petugas keamanan meminta kartu identitas, Geva langsung menunjukkan kartu pegawainya dan baru boleh dipersilakan masuk.
"Wah, ketat juga, ya, Ge," ujar Berlian sembari menggelengkan kepala.
"Makanya, kamu tinggal sama aku aja, sih. Aman, nyaman, tentram dan dapet bonus lainnya." Geva menyeringai dan Berlian langsung mendorong kepala sahabatnya itu sampai nyaris terbentur kaca jendela mobil. "Sumpah, Be, di sini harga rumahnya mahal banget."
"Terus kenapa? Aku punya uang, kok." Berlian mengalihkan pandangannya ke sisi kiri. Dia menurunkan kaca jendela sewaktu melintasi bundaran air mancur.
"Keren banget, Ge."
"Norak," cibir Geva. "Mau langsung ke bagian marketingnya aja, Be?" Berlian mengangguk tapi Geva tidak melihat. "Be!" tegurnya.
"Iya, Ge, iya. Aku bilang, iya. Astaga!"
"Kapan kamu bilang 'iya'?" Geva menoleh dan Berlian masih asik memandang keluar. "Ah, pantesan!"
Geva memarkir mobilnya di depan kantor marketing. Dengan semangat Berlian keluar lebih dulu dan langsung menemui seorang marketer.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa dibantu?" sambut seorang marketer pria dengan setelan kemeja rapi dan rambut yang klimis seperti diberi minyak goreng kebanyakan.
"Siang, Mas. Saya mau liat brosurnya dong, boleh?" Berlian tersenyum riang. Geva menunggu di depan kantor marketing sambil merokok.
Marketer bernama Ardi itu menjelaskan dengan sangat detail tentang apa saja kelebihan Sunflower Land by Steels dibandingkan dengan perumahan lain di sekitarnya.
Berlian sangat tertarik, tapi seperti kata Geva, rumah di sini sangat luar biasa sekali harganya dan rasanya cukup berat untuk Berlian, walaupun dapat dicicil dengan bunga rendah. Tapi, gaji seorang penulis baru ... belum sanggup untuk itu.
Bisa saja Berlian meminta uang orangtuanya, tapi pasti mereka tidak akan memberikannya dengan cuma-cuma. Terlebih, Berlian sangat mengenal sosok kedua orangtuanya.
"Ge, udah. Yuk!" Berlian menghampiri Geva yang sudah mengisap dua batang rokok selama menunggunya.
"Mau lihat rumahnya?"
"Boleh, deh."
Berkeliling mengitari tiap cluster dan blok perumahan. Berlian tidak henti-hentinya berdecak kagum dengan desain bangunan yang berbeda setiap cluster, tapi tetap mengambil tema Eropa. "Kamu tertarik yang mana, Be?" tanya Geva ketika mereka memasuki cluster sunflower. "Ini keren rumahnya, kayaknya lebih besar ya?"
Berlian menatap brosur yang sejak tadi dipegangnya, kemudian dia beralih pada rumah-rumah di cluster tersebut. "Iya, Ge. Tapi cluster ini yang paling mahal, apalagi di blok J. Katanya di Joy Street cuma ada lima rumah dan salah satunya milik Mr.Steels."
"Oh ya? Coba lihat! Aku penasaran." Geva antusias ketika memasuki kawasan Joy Street. Rumah di blok tersebut memang hanya ada lima dan luar biasa besar sekali. Di blok lain biasanya terdiri dari lima belas sampai dua puluh rumah, tapi khusus blok satu ini hanya lima. Bayangkan saja besarnya seperti apa?
"Nah, ini, Ge! Yang ini rumah Mr.Steels!" tunjuk Berlian pada sebuah rumah yang paling besar di antara rumah besar lainnya. "Besar banget, Ge."
"Kamu nggak perlu memuji adikku kayak gitu, Be," kelakar Geva. Berlian meliriknya sinis kemudian kembali mengagumi rumah mewah di hadapannya. "Ge, maju dikit! Ada mobil mau lewat," ujarnya ketika melihat sebuah mobil dibelakang mobilnya dari kaca spion.
Mobil yang melintas menekan klakson sebagai tanda ucapan terima kasih karena Geva telah menepi dan memberinya jalan.
"Eh? Kok, masuk ke situ, Ge?" tunjuk Berlian pada mobil tadi yang memasuki rumah mewah yang kabarnya milik Mr.Steels. "Bule, Ge, bule! Astaga! Ganteng-ganteng banget, Geva!" Berlian menjerit heboh dan mendadak seperti cacing kepanasan.
"Be, norak banget, sih?!" decih Geva yang kemudian bergidik jijik. "Loh, itu Mr.Peterson—orang kepercayaannya Mr.Steels. Tapi, itu siapa, ya? Cantik banget! Dadanya besar pula." Geva menurunkan kacamata hitamnya sampai ujung hidung. Satu pukulan mendarat tepat di kepala Geva. Pria itu mengaduh dan mengusap kepalanya sendiri. "Be, tanganmu enteng banget, sih!" omelnya.
"Lagian, kamu itu nggak bisa lihat perempuan cantik, dadanya besar, langsung kotor pikirannya!" Berlian memukul kepala Geva satu kali lagi. "Otakmu kurang satu ons, Ge. Goyang nih." Wanita itu mengocok kepala sahabatnya layaknya buah kelapa.
"Namanya juga laki, Be. Kalau aku nggak tertarik melihat perempuan seksi, tandanya nggak normal, dong?"
Berlian mengibaskan tangannya tanda 'tak peduli. Dia kembali mengamati setiap orang yang keluar dari mobil. "Ge! Geva!" Tangan Berlian menarik-narik lengan kemeja pria di sampingnya. "Apa, sih, Be? Ah!" Geva mendecak kesal.
"Itu Niall James Smith, Ge!" pekik Berlian heboh dan Geva hanya menghela napas. "Aduh, aku belum dandan. Mau ngajak foto bareng." Berlian mengeluarkan cermin dari dalam tasnya. "Be, nggak usah norak, dong!" Geva mendesah dan langsung menginjak gas, meninggalkan area Joy Street.
Berlian tertawa terbahak-bahak. "Kamu panik, Ge?"
"Menurutmu? Aku tau kalau kamu sinting, Be. Kamu suka melakukan hal gila yang memalukan." Mobil mereka memasuki jalan utama komplek perumahan. Berlian masih terbahak-bahak menertawai wajah sahabatnya yang sangat panik.
"Santai, Ge. Aku nggak akan mempermalukan diri sendiri. Tapi kayaknya, aku jadi, deh, beli rumah di sini."
"'Kan, kamu sinting!" Geva menepikan mobilnya di pinggiran jalan utama. "Memangnya kamu sanggup beli rumah di sini? Lihat, Be!" Geva meraih brosur dari pangkuan Berlian dan menunjukkan list harga rumah di Sunflower Land by Steels.
"Yang paling murah aja, Ge. Bisa dicicil, kok. Nanti atas namamu, kalau pegawai di Steels Corp dapat diskon katanya." Berlian mencengir lebar.
"Cicilannya juga besar, Be. Berat, kamu nggak akan kuat, biar Dylan aja."
"Nggak lucu!"
"Siapa yang melucu?" Geva mendengkus. Dia kembali menginjak gas dan meninggalkan Sunflower Land by Steels. Keduanya saling diam, membiarkan James Bay mengisi kekosongan di dalam ruang kecil itu dengan lagunya yang berjudul; 'Let it go'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Fiksi Ilmiah18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...