Fakta Menyedihkan

20 2 0
                                    

Aku hamil."

Bagaikan sebuah peluru mematikan, dua kata yang Berlian ucapkan mampu membuat Mutiara berbalik dan membolakan matanya dengan sempurna sembari memegangi dadanya.

Raut wajah terkejut Mutiara bercampur dengan pucat pasi yang menakutkan layaknya manusia tanpa darah, membuat Berlian bangkit dari sofa.

Berlian menoleh ke arah Galih yang sudah berdiri dari sofa dan kini melangkah mendekati sang istri yang diam terpaku di tempatnya.

"Bu," panggil Berlian sembari mengulurkan tangan untuk menyentuh Mutiara.

Tangan Berlian disentak dengan kasar. Kemudian tangan yang menyentak itu lantas mengayun dan mendaratkan tamparan kuat pada pipi bagian kiri Berlian.

Wanita itu meringis sambil mengelus pipinya sendiri. Rasa sakit yang diberikan Mutiara padanya, diterima sebagaimana mestinya.

Berlian—seorang anak nakal yang dibenci oleh ibu kandung sendiri dan kini tengah mengandung janin dari pria yang belum dia ketahui.

Hanya sebuah tamparan di pipi? Berlian rasa itu cukup sebanding.

"Apa maksudmu, Lian?" Kini Galih bertanya dengan seratus kerutan di wajahnya. Ada guratan menahan amarah yang kentara, ditambah kepalan tangan pria paruh baya itu di kedua sisi tubuhnya.

Bergantian—Berlian menatap nanar kedua mata ayah dan ibunya. Air matanya sudah mendesak akan keluar. Dadanya mulai sesak menahan tangis yang akan meledak.

Berjalan mendekati Mutiara. Berlian melepaskan kancing-kancing dari lubang parka yang dikenakannya. Membiarkannya terbuka dan memperlihatkan perut Berlian yang sudah besar.

Kedua mata Mutiara membelalak sempurna dan mendadak merah padam, sudah tidak lagi pucat pasi.
Galih membawa Mutiara ke dalam dekapannya.

Keduanya terkejut dan masih belum bicara. Hanya sorot mata yang menggambarkan kekecewaan serta rahang yang mengeras menandakan amarah yang tertahan.

Berlian bersimpuh di bawah kaki Mutiara dan Galih. Wanita itu mulai menangis terisak meminta ampun. Namun apa yang dilakukan Mutiara, membuat Gema berlari dari ruang lain sambil berteriak.

"Hentikan, Bu!" Gema menarik tubuh Berlian yang nyaris saja ditendang oleh sang ibu yang murka.

Berlian mendongak, menatap penuh ketidakpercayaan bahwa Gema baru saja menolongnya. Gema seorang kakak yang selalu memusuhinya sejak kecil, kini membelanya.

"Apa itu anak dari pria asing yang kamu bawa ke sini?" Pertanyaan Mutiara lebih mirip dengan sebuah tuduhan.
Berlian menggelengkan kepala. "Apa maksud gelengan kepalamu, Berlian? Jawab!"

"A-ak-aku ...." Berlian mencoba Menyusun kata-kata yang berantakan di dalam kepalanya. Dia sudah terlanjur membuat kekacauan. Kebohongan tidak akan bisa menyelamatkannya keluar dari masalah ini. "Aku nggak tau ini anak Louis atau Geva."

Bukan hanya Mutiara yang terkejut mendengar jawaban Berlian. Galih dan Gema pun sama terkejutnya. Sedangkan Berlian sudah benar-benar tidak memiliki wajah di hadapan keluarganya sekarang.

Tapi, dia tidak menyesali kejujurannya. Kedatangannya ke sini hari ini memang untuk memang bukan untuk memberi omong kosong.

"Pergi dari rumah ini, Berlian! Ibu nggak sudi punya anak kotor kayak kamu!" pekik Mutiara bersamaan dengan luruh air mata kemarahannya yang bercampur kecewa.

"Maafkan aku, Ibu ... Ayah ... Kak Gema."

Berlian menoleh pada Gema sebelum memposisikan tubuhnya kembali bersimpuh, kembali mendekati Mutiara. Namun kali ini tidak meleset. Mutiara menendang tepat sasaran—perut Berlian

Berlian jatuh duduk di lantai. Namira berlari meninggalkan Zayn. Dia yang sejak tadi menahan diri untuk tidak mencampuri urusan keluarga suaminya, kini sudah benar-benar tidak tahan karena melihat apa yang baru saja dilakukan oleh ibu mertuanya terhadap putri kandungnya.

Namira menjadi sangat panik melihat adik iparnya yang tengah mengandung, kini meringis kesakitan sambil memegangi perut besarnya. Namira tahu kalau Berlian sedang kesakitan, tapi adik iparnya itu berusaha untuk tetap terlihat biasa saja. Walau remasan tangan di sekitar perut besarnya tidak dapat membohongi rasa sakit dibaliknya.

"Pergi kamu!" jerit Mutiara kemudian pergi dengan langkah kesal menuju kamarnya, diikuti oleh Galih yang sempat memperlihatkan sekali lagi wajah kecewanya pada Berlian.

"Maafkan aku," lirih Berlian disela-sela rintihan sakitnya.

"Biar Gema yang antar kamu pulang," ujar Namira setelah menatap suaminya yang akhirnya memberi anggukkan ringan.

"Aku bisa sendiri, Kak." Menguatkan dirinya, Berlian bangkit dan berjalan ke teras dibantu oleh Namira juga Gema. "Maafkan aku Kak Gema, Kak Namira."

Namira menangis dengan tangan yang gemetar meremas tangan Berlian. Sesering apapun mereka berbeda paham, tapi untuk beberapa kondisi seperti sekarang ini ... Namira sungguh sangat iba pada adik iparnya.

Wanita yang dikenalnya sangat percaya diri, optimis, pintar dan tidak pernah mau mengalah ... kini ... terlihat lemah dan tidak berdaya dengan kondisi kehamilan yang cukup besar.

"Kamu bisa cerita sama Kak Namira, Berlian." Namira mengusap punggung Berlian saat adik iparnya dibantu berdiri oleh suaminya. Dia mengancingkan parka yang dikenakan Berlian sambil menahan air matanya yang sudah mendesak.

"Kakak nggak nyangka kalau kamu—" Ucapan Gema terhenti saat Namira mendelikkan mata ke arahnya. Lalu Gema menghela napas.

"Aku pamit, Kak." Berlian mengulas senyum yang dia paksakan.

"Kamu yakin bisa sendiri?" tanya Namira penuh rasa khawatir.

Pasalnya dia dan adik iparnya sama-sama tengah hamil besar, namun ... keadaannya sungguh berbeda. Namira memiliki suami serta keluarga yang menerimanya, tidak dengan Berlian yang kini harus melewatinya sendiri.

"Berapa usia kandunganmu, Berlian?" Namira bertanya sambil berjalan menuntun Berlian sampai masuk ke dalam mobilnya.

Menoleh untuk mengulas senyum sambil mengusap perutnya dengan perasaan yang entah dari mana datangnya, Berlian merasa senang dan lega. "Memasuki tujuh bulan, Kak."

"Penuhi nutrisi untuk calon anakmu, ya. Kamu harus kurangi minum kopi." Namira sangat tahu kalau adik iparnya sangat sering meminum kopi untuk membuatnya tetap terjaga agar dapat menulis setiap malam.

Gema dan Namira masih berdiri di teras, menatap lurus ke arah mobil Berlian yang masih belum meninggalkan halaman rumah.

Di balik kemudi, Berlian menangis ... menangisi kisah hidupnya yang berakhir seperti ini. Menangis karena menahan rasa sakit yang semakin parah di bagian perutnya.

Hingga akhirnya, Berlian menginjak gas ... meninggalkan rumah orangtuanya.

Mungkin untuk selamanya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang