Sarapan Pagi

39 2 1
                                    

Ketika alarm berbunyi tepat pukul enam pagi. Geva terpaksa bangun dari tidur nyenyaknya. Menggeliat seraya merenggangkan otot, dia tersenyum ketika menyadari Berlian masih terlelap—bersandar pada dadanya.

Dibelainya rambut panjang Berlian yang lembut nan indah itu. Kecupan sayang didaratkan pada puncak kepala wanita itu.

Berlian mengerang. Dia bergeser dan membuka matanya perlahan. "Selamat pagi, Ge," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Maaf, Be. Aku nggak bermaksud membangunkanmu," kata Geva merasa tidak enak.

"Kamu telat ke kantor ya?" Berlian mengusap dagu Geva. Ibu jarinya bermain di sepanjang bibir bawah pria itu.

"Belum, sih. Tapi kalau kamu mau membuatku telat ke kantor, aku sih, nggak masalah." Geva menyeringai dan Berlian mencubit bibir itu. "Masih sakit?" tanya Geva sembari mengelus perut Berlian.

"Sedikit."

"Aku mandi dulu ya, Be." Berlian mengangguk lemas. "Kamu nggak mau mandiin aku?" goda Geva dengan alis yang bergerak naik-turun.

"Nanti kumandikan kalau kamu lumpuh dan nggak bisa melakukan apapun dengan kaki dan tanganmu," jawab asal Berlian.

Geva mengetuk nakas berkali-kali lalu mengetuk keningnya. "Amit-amit, Be. Jangan sembarangan kalau ngomong!" Gemas pria itu mencubit bibir Berlian.

Berlian terkikik dan duduk bersandar pada headoard. "Ge, aku laper," keluhnya manja.

"Mau sarapan sosis?" Dengan bangga Geva menunjuk ke arah adiknya yang sudah mengeras dibalik celana boxer.

"Boleh kujadikan sosis asam manis?"

Geva meringis. Dia memegangi aset berharganya dengan ekspresi ngeri. "Ngilu, Be."

Berlian tertawa terbahak-bahak melihat wajah Geva yang mendadak pucat pasi. "Udah, sana! Cepetan mandi. Aku mau masak mi instan deh, kamu mau?" Pelan-pelan Berlian bergeser ke tepi ranjang, sembari menahan rasa sakitnya.

"Biar aku aja yang masak. Aku mandi dulu sebentar aja, sepuluh menit, deh." Geva menahan Berlian agar tetap duduk dan tidak beranjak ke dapur atau ke manapun. "Kamu tunggu di sini sampai aku selesai mandi. Nggak boleh ke manapun. Nggak boleh ke dapur masak mi."

"Posesif banget. Aku cuma sakit perut, bukan mau melahirkan."

"Aku bisa lebih posesif dari ini kalau kamu beneran mau melahirkan anakku."

"Sinting! Cepat mandi dan bersihkan otakmu."

Berlian tidak menghiraukan perkataan Geva. Dia tetap ke dapur untuk memasak mi, selagi Geva sedang mandi.

Rasa nyeri itu datang lagi sewaktu Berlian sedang merebus air. Dia berpegangan kuat pada kitchen island. Kepalanya pusing dan mendadak dia menjadi mual kemudian bergeser ke wastafel untuk muntah.

Martabak telur sisa semalam, keluar bersama dengan cairan. Lemas dan berputar, Berlian nyaris jatuh sewaktu terpeleset genangan air di bawah kakinya.

"Bocor lagi," desahnya menyadari kran air wastafelnya bocor.

Berjalan merambat ke arah kompor. Berlian membuka dua buah bungkus mie instan, memasukkan keduanya ke dalam panci yang berisi air mendidih.

"Emang dasar kepala batu!" gerundel Geva ketika menemukan Berlian sedang memasak mi instan di dapur. "Bagian mana yang kamu nggak ngerti dari 'kamu tunggu di sini sampai aku selesai mandi. Nggak boleh ke manapun. Nggak boleh ke dapur masak mi.'?" Geva mengulangi perkataannya yang tadi.

"Bagian mana yang kamu masih belum ngerti, kalau aku nggak suka diperintah," tegas Berlian. Wanita itu menyaring mi kemudian menyajikan ke atas dua buah piring yang sudah diberi bumbu. "Mau pakak telur sama sawi nggak?"

"Nggak usah," sahut Geva. Berjalan menghampiri. "Duduk!" Dia menuntun Berlian untuk duduk di kursi makan. Setelah itu Geva kembali ke dapur untuk membuat teh hangat dan membawanya beserta dua piring mi instan tadi menggunakan baki.

"Kok, tehnya nggak manis, Ge?"

"Minumnya sambil liatin aku, biar manis."

"Idih!" cibir Berlian dan Geva tertawa renyah. "Tumben banget ke kantor pagi-pagi?"

"Hari ini aku menemani Pak Louis untuk memeriksa surat kontrak kerjasama dengan klien. Setelah itu mengurus surat izin untuk pembangunan Steels Supermall di Surabaya."Nama itu masih saja membuat Berlian kesulitan bernapas—seberapa sering pun dia mendengarnya.

"Surabaya? Kamu berarti ke Surabaya?"

"Kemungkinan besok, Be. Kalau semuanya udah siap dan beres." Geva menggulung mi dengan garpu lalu menyodorkannya pada Berlian. Karena sedang tenggelam dalam lamunannya, Berlian membuka mulutnya—menerima gulangan mi dari Geva. "Enak, Be?" Berlian mengangguk. "Lebih enak kalau pakai sosis jumbo," sambungnya.

Berlian tersadar dari lamunan. Dia memukul meja dan mendelik tajam ke arah Geva yang tengah terkikik geli. "Gevariel Gerald!"

"Yes, Ma'am!"

"Diam sekarang atau kubuat kamu telat pergi ke kantor?!" Ancaman Berlian yang disengaja untuk menggoda, berhasil membangkitkan gairah Geva di pagi hari.

Meneguk air mineralnya sebanyak setengah gelas. Geva bangkit dari kursinya dan berdiri di samping Berlian yang tengah menyesap teh hangatnya.

Hangat dari teh yang masuk ke dalam tubuh, membuat perut Berlian ikut menghangat dan merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Geva menggesekkan adiknya ke bahu Berlian. Wanita itu menoleh sembari menahan senyum. "Apa?" Dia mengangkat wajah dan meninggikan sebelah alis matanya.

"Ayo!" pinta Geva dengan suara menggemaskan, seperti anak kecil yang sedang merengek minta jajan pada ibunya.

Berlian menghela napas, mengubah posisi duduknya menghadap Geva. Tangannya terulur untuk melepaskan ikat pinggang pria itu.Menggigit bibir ranum nam seksi—Berlian sesekali melirik pada Geva yang terengah-engah menunggu aksinya.

"Belum mulai, kok, udah terengah-engah gitu," ejek Berlian.

Geva mengumpulkan rambut Berlian di salah satu tangannya. Sewaktu celana kerjanya sudah meluncur turun, satu tangannya yang tersisa bergerak cepat menurunkan celana boxernya.

"Cepet banget udah bangun," ucap Berlian sembari memijat pelan kejantanan Geva menggunakan tangan kanannya.

"Belum tidur dari semalam. Aku tersiksa nggak bisa ina-inu sama kamu dari kemarin," papar Geva dengan nada sedih yang dibuat-buat.

Mengecup, menjilat, hingga mengulum dengan lembut. Berlian berhasil mengantarkan Geva ke gerbang kenikmatan.Suara erangan bersalut kenikmatan yang berkumpul di kerongkongan Geva menandakan dia tengah menikmati apa yang tengah dilakukan Berlian terhadap adiknya di bawah sana.

Terengah-engah, Geva menahan getaran hebat yang berkumpul di pangkal pahanya. Dia menekan kepala Berlian dan menggeram kencang ketika ledakan itu membuat kakinya lemas.Berlian menjilat bibirnya sendiri dan menyeka sisa cairan hangat kenikmatan milik Geva dari sudut bibirnya.

"Aku kayaknya ke kantor naik ojek online aja, deh." Geva berjalan ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Hanya sebentar, dia kembali ke luar sembari merapihkan pakaian kerjanya.

"Kenapa emangnya?" tanya Berlian setelah selesai berkumur di wastafel dan kembali duduk di kursi makan—menyantap mi instannya yang sudah mulai dingin.

"Kakiku lemas, Be. Gemetar gini." Berlian tertawa sampai tersedak mi sesaat setelah melihat kaki Geva yang benar-benar gemetar.

"Pakai mobilku aja. Nanti pulang ke sini lagi, kan?"

"Dari kantor, aku ke tower dulu, sebentar. Ambil pakaian dan kelengkapan berkas-berkas yang mau dibawa ke Surabaya."

"Ya udah, pakai aja mobilku. Toh, aku juga nggak ke mana-mana."

Geva memeriksa jam tangannya. "Udah setengah delapan, Be. Keluar dari gang rumahmu aja udah ketemu macet." Pria itu kembali duduk di kursi makan, menyantap sisa mi isntannya sembari memesan layanan ojek online.

Nampaknya Geva benar-benar tidak sanggup berkendara sendiri—menerjang kemacetan di pagi hari, menuju kantor. Bahkan dia pun tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri karena terlalu lemas akibat pelepasannya tadi.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang