Pria Baik Untuk Berlian

111 4 0
                                    

Mata sembab Berlian, adalah hasil dari tangisannya beberapa jam yang lalu pada saat dirinya bercerita pada sang ayah atas apa yang telah menimpanya beberapa bulan lalu.

Kehilangan buah hati sangat menyedihkan, bahkan menyakitkan. Terlebih, mengetahui fakta bahwa ayah dari buah hatinya adalah suami dari temannya sendiri.

Galih tidak membenarkan kehamilan di luar nikah, dan dia tidak pula menghakimi. Sebagai seorang manusia yang memiliki hati nurani, tentu saja dia merasa sangat sedih atas apa yang telah menimpa putri kesayangannya.

Tidak lupa, Berlian pun berulang kali mengucapkan kata 'maaf' pada sang ayah juga maaf pada sang ibu yang hanya mampu dia titipkan.

Seburuk apapun Mutiara memperlakukan Berlian, wanita itu tetaplah seorang ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, melahirkan dan merawatnya hingga tumbuh menjadi wanita dewasa seperti sekarang.

Berlian tetap merasa bersalah. Dan dia tahu, kata maaf tidak akan pernah menghapuskan seluruh dosa. Kata maaf juga tidak dapat meluluhkan hati sang ibu.

Sebelum pergi, Galih berkata, "Sekeras-kerasnya hati manusia, semakin sering kamu menggosoknya dengan kebaikan, pasti akan melembut pada waktunya, Lian. Dibalik kerasnya watak ibumu, dia sangat menyayangimu. Ibu hanya inginkan yang terbaik untuk kamu, begitu pula dengan Ayah. Sampai kapanpun, kamu adalah putri kami. Jaga dirimu baik-baik, dan ... kapanpun kamu butuh Ayah, jangan sungkan untuk menelepon."

Penuturan Galih membuat air mata Berlian tumpah. Wanita itu menghamburkan diri ke dalam pelukan sang ayah. "Kamu berhak bahagia, Lian. Kamu akan menemukan pria yang baik suatu hari nanti."

.

.

.

"Ya ampun!" Geva memekik dari tempatnya, pada saat sudah tersambung dalam video call bersama Berlian.

"Kamu kenapa? Nangis? Sakit lagi ya?" Di tempatnya berada, Geva berjalan menuju sofa kemudian berbaring di sana.

Berlian menggelengkan kepala, berusaha memberikan senyum terbaiknya yang sedikit dia paksakan. Matanya masih sembab, walau sudah mengompresnya dengan air dingin. "Kamu kenapa belum tidur?"

Geva memutar matanya dan mendecak. "Jangan mengalihkan. Jawab pertanyaanku. Kamu kenapa nangis? Sakit lagi atau kena—"

"Ayahku datang, Ge."

"Om Galih? Kok, bisa?" Geva terkejut. Bagaimana tidak? Berlian pun terkejut dengan kedatangan sang ayah tadi pagi. Wanita itu mengangkat bahunya lemah. Menumpuk beberapa bantal di belakangnya, kemudian bersandar. "Terus, kenapa nangis?"

"Nggak apa-apa." Lagi-lagi Berlian mengulas senyumnya.

"Oh, ayolah, Be. Aku kenal kamu. Kamu ini manusia paling keras, yang nggak akan pernah mengumbar air mata untuk sesuatu yang nggak penting." Tentu saja Geva sangat mengenal wanita kesayangannya.

Lagi, Berlian menggelengkan kepalanya dan masih mempertahankan senyumnya. "Kamu kapan pulang, Ge?"

"Masih lama, Be. Kenapa? Kamu kangen? Ke sini aja nyusul aku." Geva bangkit dari sofa sambil terkekeh. Pria itu memasuki kamar dan meletakkan ponselnya di atas nakas, menyandarkan benda pipih itu pada lampu meja.

"Emangnya boleh kalau aku nyusul?"
Geva yang sedang membuka lemari pakaian pun langsung menoleh mendengar pertanyaan Berlian. "Kamu nggak bakal mungkin nyusul ke sini, kan?"

"Gimana kalau aku beneran mau nyusul kamu?"

"Mau ngapain? Hari Jum'at kayaknya aku pulang, Be."

Geva mengeluarkan sebuah celana boxer dan kaus santai dari lemari, membawanya ke ranjang. Kemudian dia kembali mengambil ponselnya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang