Menikah

45 3 0
                                    

Berlian dan Louis terlelap di sofa ruang tengah. Mereka terbangun karena ponsel Louis berdering nyaring sekali. Sembari mengerang, Berlian menarik dirinya yang tertidur di atas tubuh Louis. "Maaf, Be. Aku harus pergi," kata Louis sembari bangkit dari sofa dan memakai kemejanya buru-buru.

"Kenapa?"

"Ada pekerjaan."

"Pekerjaan apa jam segini? Kamu bukan anggota geng motor yang lagi heboh di berita karena membegal orang, kan?" Louis tergelak akan pertanyaan Berlian. Wanita itu benar-benar mirip Jessie yang seringkali bicara sekenanya tanpa pikir panjang."

Louis mengecup kening Berlian. "Besok aku datang lagi, boleh?"

"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu." Louis mengangguk dan berjalan cepat membuka pintu. "Hati-hati, Lou!"

"Kamu juga. Jaga diri ya. Sampai jumpa besok."

Setelah mengunci pintu, Berlian berjalan seperti zombie karena kepalanya terasa sedikit pusing. Melangkah malas dan lemas menuju kamar. Tapi, baru saja dia berbaring di ranjang. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. "Ya, ampun. Pasti ada yang ketinggalan," decak Berlian.

Keluar dari kamar sambil berpegangan pada dinding, Berlian akhirnya sampai di pintu. "Pasti ada yang keting—Geva?" Cepat-cepat Berlian melihat jam dindingnya. Sekarang pukul tiga pagi.

Apa yang membuat pria itu bertamu se-pagi ini? Wajah Geva pucat. Dia kelihatan sangat kacau.

Tanpa dipersilakan, Geva pun masuk ke dalam rumah Berlian. Dia langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Ada tamu?" tanya Geva yang melihat adanya dua buah gelas kosong dan satu botol anggur yang juga sudah kosong. "Loh? Ini kan, anggur dari Holmfirth? Kamu dapat dari mana?"

"Jessie! Kemarin kita ketemuan dan dia ngasih ini. Katanya oleh-oleh yang Louis bawa." Masih dalam keadaan yang sedikit pusing, Berlian membereskan kekacauan di ruang tamunya. Berdoa dalam hatinya, jangan sampai Geva mencurigai sesuatu.

"Siapa yang datang? Nggak mungkin Jessie, kan?" Geva melihat adanya ikat pinggang seorang pria yang jatuh di bawah meja. "Ikat pinggang siapa ini?" Dia mengambilnya dan membuat Berlian hampir saja melepaskan gelas yang dibawanya menuju dapur.

"Mau tau banget?" Berlian ke dapur untuk mencuci gelas kotor, sembari mengulur waktu agar Geva tidak lagi bertanya lebih lanjut. "Apa yang membawamu ke sini jam tiga pagi? Kukira, kamu udah lupa alamat rumahku," ketusnya kemudian meneguk air mineral sebelum duduk di samping Geva.

"Kamu deket sama siapa, Be?" Geva meninggikan sebelah alis matanya. "Kamu punya pacar? Kok, aku nggak tau?" Pria itu terus mencecar Berlian dengan banyak pertanyaan.

"Aku aja nggak tau kalau kamu ke London, dan ... mau menikah sama Giana."

"Pasti Arkan!" Geva menghela napas. Dia dan Berlian sama-sama menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Sedikit menengadah ke atas—menatap langit-langit yang berwarna putih polos dengan sedikit cat terkelupas di bagian dekat lampu. "Aku nggak tau kalau kamu udah punya ponsel baru," ucapnya setelah melihat ponsel baru di atas meja yang sudah dipastikan milik Berlian.

"Karena nggak cari tau."

"Aku ... aku sibuk, Be."

"Aku tau."

"Maafin aku ya, Be. Aku kangen banget sama kamu." Geva melingkarkan tangannya ke bahu Berlian, kemudian menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. "Kamu apa kabar? Udah sehat, kan?"

Sehat?

Berlian bahkan lupa akan penyakitnya yang belum berhasil terdeteksi karena dia melupakan proses laparoskopi yang disarankan oleh Dokter Ezra.

"Apa yang membawamu ke sini, Ge? Cepetan bilang, aku ngantuk banget, nih," keluh Berlian dengan matanya yang terpejam.

"Giana hamil."

Mendadak Berlian merasakan adanya batu besar yang menekan dadanya sampai sesak dan kesulitan bernapas. Dua kata sederhana itu membuat Berlian terserang asma dadakan, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam riwayat penyakitnya.

"Selamat! Kamu bakalan jadi ayah." Berlian menarik diri dan tersenyum lebar. Dia merasa ada yang tidak wajar pada dirinya. Bibirnya tersenyum tapi hatinya bersedih untuk alasan yang dia tidak mengerti. "Berapa bulan usia kandungannya?"

"Empat minggu."

"Waw! Kamu harus menjaganya ekstra, Ge. Jangan sampai Giana capek dan berdampak buruk untuk janinnya."

"Kamu nggak apa-apa?"

"Maksudnya?"

Geva menghela napas kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku bingung harus gimana, Be."

"Nikah lah. Kok, bingung? Kan, kamu udah kepengin banget nikah 'tuh." Berlian mengusap pipi Geva dan menatapnya lembut. "Aku senang kalau kamu senang, Ge."

"Kalau aku nikah, kamu gimana, Be?" Khawatir Geva mulai menyelimuti. Di hati kecilnya dia berharap kalau Berlian akan mengatakan sesuatu tentang perasaannya. Atau setidaknya dia mengucapkan sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat untuk menikahi Giana.

"Aku senang banget dong pastinya. Akhirnya, kamu nggak jomlo lagi. Auto jadi ayah pula," kekeh Berlian. Kekehannya terdengar sedikit dipaksakan dan Geva menyadari itu.

"Kamu nggak marah, Be?" Berlian menggelengkan kepalanya. "Cemburu? Sakit hati? Kecewa?" Berlian sempat diam sebentar, tapi akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.

"Ge, aku nggak mungkin cemburu. Kita kan, sahabatan. Aku ikut senang dengan apapun yang membuat kamu juga senang." Berlian meraih tangan Geva. Mengikuti pola garis tangan di telapak pria itu dengan kukunya. "Aku udah punya pacar, Ge. Dan ... mungkin aku bakal nikah juga kayak kamu." Niat hati ingin menghibur dirinya sendiri agar tidak terlihat begitu menyedihkan. Berlian justru merasa sangat perih ketika dia mengucapkan kalimat itu.

Rasa perih di hati Berlian juga dirasakan oleh Geva yang cukup terkejut mendengarnya. Geva tidak menyangka kalau Berlian akan memiliki seorang kekasih yang dia tahu pasti kalau wanita itu tidak percaya cinta. Bagaimana bisa Berlian akan menikah?

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang