Bencana Makan Malam

29 2 0
                                    

Berlian tidak dapat menelan kunyahan terakhirnya ketika Muthia tiba-tiba bertanya. "Kapan kalian akan menikah?"

Keringat dingin sudah berkumpul di telapak kaki juga telapak tangan Berlian. Dia tidak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Apa yang sudah dilatihnya bersama Louis hanyalah jawaban untum pertanyaan dasar.

"Berlian sudah memasuki usia yang cukup untuk membangun rumah tangga," timpal Galih.

"Kami belum ada pembicaraan sejauh itu, Yah. Aku dan Louis baru mengenal sekitar ...." Di saat Berlian tengah kebingungan mencari alasan, tiba-tiba Louis menyela.

"Kurang dari satu tahun, Om."

"Seharusnya itu udah cukup dong, untuk saling kenal," ketus Muthia yang sejak satu jam lalu menatap Louis sinis tidak henti-hentinya.

Ketidaksukaan Muthia terhadap orang asing benar-benar ditunjukkan sejak dia membuka pintu dan menemukan Louis berdiri di teras rumah bersama anak bungsunya.

Louis tersenyum, kemudian menyentuh tangan Berlian. "Kalau Saya, sih, terserah kapan Berlian siapnya." Dia menelengkan kepalanya pada Berlian.

Wanita itu tersenyum kikuk sambil menyumpah serapah dalam hatinya. "Aku masih mau kejar karir," kekeh Berlian. Dia mencoba mengusir rasa yang bercampur dalam dirinya.

"Karir apa? Berkhayal?" Muthia mencibir dan suaminya langsung menegur tapi tidak dihiraukan. "Lihat matamu, Berlian! Kamu menjadi budak khayalan sampai matamu hitam begitu."

"Berlian udah nggak menulis lagi, Tante. Dia udah bekerja di penerbitan sekarang. Benar, Sayang?"

Berlian ingin menyumpah serapah lagi karena Louis membuat kebohongan lain, yang mana akan membuat beban Berlian bertambah. Tapi dia tidak melakukannya karena Louis telah membuatnya seperti cokelat lumer oleh panggilan 'sayang'.

"I-ya. Benar." Berlian mengangguk cepat dan Louis mengusap punggung tangan Berlian.

"Kerja di penerbitan? Bagian apa?"

Kesulitan menjawab. Lagi-lagi Louis menjadi perisai Berlian yang dengan cepat melindunginya dari tajamnya lidah Muthia.

"Illustrator," jawab Louis.

Menyadari sesuatu, Berlian segera membawa tangan Louis ke bawah meja. Kemudian melepaskannya.

Terlambat! Muthia dan Galih sudah lebih dulu melihatnya. Melihat tato di jari tengah dan jari manis pria itu.

"Kamu kerja di mana, Louis?" Galih bertanya dengan nada seperti sedang mewawancarai seseorang yang melamar pekerjaan padanya.

"Saya bekerja di Steels Corp, Om."

"Oh, sama kayak Geva?" sambar Muthia.

Berlian berdeham. Membuat Louis menoleh dan raut wajahnya sedikit bingung tapi dia berusaha untuk tetap terlihat biasa.

"Ya, benar. Kebetulan Geva adalah pengacara perusahaan, Om, Tante."

"Kamu di bagian apa? Menagih hutang? Atau pesuruh yang diutus untuk menghancurkan bisnis orang lain?" ketus Muthia dengan tatapannya yang sinis pada bagian tangan Louis.

"Ibu," desis Berlian. Merasa tidak enak, Berlian pun meraih tangan Louis dan membawanya kembali ke bawah meja. Berlian menatapnya dengan raut wajah seolah berkata 'maaf' dan ajaibnya Louis mengerti. Dia menganggukkan kepala.

"Kebetulan Saya dipercaya oleh Tuan Steels untuk mengawasi beberapa perusahaannya yang ada di Indonesia," terang Louis dengan tenang.

"Steels," cibir Muthia. "Kenapa kamu pacarin anak saya? Bukannya wanita asing jauh lebih menarik?"

Jujur saja ucapan Muthia barusan, berhasil menggores perasaan Berlian. Dengan berucap seperti itu sama saja seorang ibu sedang merendahkan anaknya di hadapan seorang pria.

"Karena ...." Louis menatap Berlian untuk beberapa saat. "Selain cantik, Berlian juga pintar dan dia wanita yang luar biasa hebat dalam beberapa hal."

Tenggorokkan Berlian tercekat sewaktu kata 'luar biasa' yang diucapkan Louis, mengingatkannya pada pujian pria itu beberapa jam lalu setelah mereka melakukan percintaan.

Persis seperti dugaan Berlian. Acara makan malam ini hanya menjadi bencana untuknya. Muthia benar-benar tidak dapat menyembunyikan sedikit saja sikap iblisnya. Berlian benar-benar sangat malu dan mulai menyiapkan dirinya dari sekarang untuk kehilangan Louis.

Setelah berpamitan pulang, Muthia menahan Berlian selagi Louis sudah berjalan ke mobilnya. Muthia mencengkram tangan Berlian dan berkata, "putus dengannya atau kamu nggak akan mendapatkan apapun!"

"Apa masalahnya, Bu?" Berlian menjaga suaranya agar tidak terdengar oleh Louis yang menunggunya di depan pintu mobil.

"Pertama, dia orang asing. Kedua, tato di tangannya. Ketiga, dia bekerja untuk orang yang udah menghancurkan bisnis ayahmu. Dan terakhir, keyakinan kalian beda, Berlian. Kamu harus sadar itu!" Muthia menekankan setiap kata yang dia ucapkan.

Berlian berpikir ibunya mulai hilang kewarasan. "Dari mana pikiran itu datang, Bu? Pertama, apa masalahnya sama orang asing? Kedua, tato adalah seni, Bu. Bukan cap kriminal yang harus di waspadai. Ketiga, ayah bangkrut, bukan dihancurkan Steels Corp. Keempat—" Berlian tidak dapat menemukan bantahan untuk yang keempat.

"Kamu nggak bisa jawab, kan?" cibir Muthia. Wanita itu senang sekali mencibir seseorang.

Seperti kebiasaan buruk yang sudah melekat pada dirinya, seolah dia manusia maha benar dan sempurna. "Dengarkan Ibu. Putus dengannya, bekerja dengan ayahmu, lalu menikah dengan pilihan Ibu."

"Nggak akan pernah," tegas Berlian dengan tatapan marah.

Muthia tergelak melihat anak bungsunya berani bersikap seperti itu padanya. Dia menampar Berlian—membuat Louis khawatir tapi tetap berdiri di tempatnya. Pria itu mengerti batasan, mengetahui perannya malam ini tidak untuk mencampuri urusan keluarga.

Berlian menggelengkan kepala sembari mengusap pipinya. "Ibu bisa melakukannya lagi di pipi kananku," tantangnya sambil membawa tangan Muthia ke pipi kanannya.

Muthia menyentak dan beralih menjadi menuding Berlian. "Berani kamu sama Ibu? Ini semua karena kamu salah pergaulan, Berlian! Berteman dengan Geva dan pacaran dengannya." Muthia menunjuk ke arah Louis lalu kembali menuding Berlian. "Membuatmu menjadi kurang ajar dan bertingkah seperti wanita murahan!"

Air mata Berlian sudah mengancam keluar. Tapi dia berusaha menahannya. Menyunggingkan senyum tipis, dia menghela napas kesal dan berjalan cepat menyusul Louis.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang