"Mau sampai kapan kamu begini, Berli?" tanya Mutiara sambil menyajikan ayam bekakak di atas meja makan.
"Begini yang gimana maksudnya?" Berlian pura-pura tidak memahami maksud dari pertanyaan sang ibu.
Mutiara mendecak. "Mau sampai kapan hidup tidak jelas seperti ini?"
"Kok, Ibu bilang begitu, sih? Hidupku jelas, Bu." Berlian merasa tersinggung dengan perkataan
Mutiara. Dia menahan emosinya agar tidak terpancing dengan menggigit pipi bagian dalamnya sembari mengatur napas. "Sekedar informasi, novelku akan terbit sebentar lagi."
Mutiara mengibaskan tangannya tanda tidak peduli. "Novel? Pekerjaan tidak jelas, pasangan pun, sama saja," cibir Mutiara tanpa memedulikan raut wajah anaknya yang sudah masam dan
kesal. "Kapan kamu mau menikah?"
"Untuk apa, sih, menikah? Aku bisa hidup sendiri."
Mutiara mengangkat wajahnya dan memicingkan mata ke arah Berlian. "Apa kamu sudah tidak waras? Apa yang ada di dalam pikiranmu, Berlian?"
Helaan napas kesal akhirnya terdengar juga. Berlian meninggalkan ruang makan, berjalan santai ke ruang tengah. Dia duduk di sofa kemudian mengecek ponsel.
Geva :
Kok, tiba-tiba pulang? Kenapa? Aku udah beli testpack, Be. Empat :)
Berlian :
Empat? Kenapa banyak banget? Ayahku ulang tahun hari ini.
Geva :
Supaya akurat, Be. Kalau beneran kamu hamil dan mengandung darah dagingku, sih, nggak apa-apa. Aku senang aja. Kalau ternyata anak pria lain? 'Duh, nggak sudi aku ngerawatnya.
Berlian :
Nggak usah mulai, Ge! Siapa juga yang mau hamil? Sinting!
Geva :
Biasanya orang hamil emang sensi, Be. Bawaannya marah terus.
Berlian :
Geva!
Geva :
Hahaha, bercanda. Salam untuk Om Galih, ya. Selamat ulang tahun, Om! Semakin lancar jaya untuk bisnisnya.
Berlian :
Amin. Makasih. Nanti aku pulang ke apartemenmu lagi ya, Ge.
Geva :
Dengan senang hati pintuku terbuka untukmu, Judes. See ya. Hati-hati.Tepat setelah membaca pesan terakhir dari Geva yang menutup percakapan, Mutiara datang dan langsung menghardik Berlian tanpa basa-basi.
"Kamu pilih, bekerja dengan ayahmu atau menikah dengan Rio!" Mutiara berkacak pinggang di hadapan Berlian dengan raut wajah yang mirip seekor serigala kelaparan yang hendak menerkam seekor rusa baik hati.
"Aku udah punya kehidupan sendiri, Bu," jawab Berlian santai sembari menggulirkan jarinya di atas layar ponsel—menyibukkan diri dengan menjelajahi laman media sesial.
Video empat ekor anak kucing yang sedang belajar jalan membuat Berlian tertawa kecil ketika melihatnya, mendadak dirinya menjadi gemas dan ingin memelihara seekor kucing.
"Kehidupan apa? Kehidupanmu di dalam sini?" Mutiara merebut ponsel Berlian, sehingga wanita itu mendongakkan kepalanya. "Buka matamu, Berlian! Sudah bukan lagi saatnya kamu untuk bermain dan bersantai. Ibu malu setiap kali bertemu teman dan tau kalau kamu belum juga menikah sampai sekarang."
Akhirnya.
Akhirnya emosi Berlian terpancing dengan sempurna. Darah dalam tubuhnya seolah mendidih dan menggolak. Dia bangkit dari sofa dan berdiri sejajar dengan Mutiara yang sedikit lebih pendek darinya. Tangan kanan Berlian bergerak cepat untuk merebut ponselnya kembali. Mutiara sampai terlonjak kaget, dia belum siap dengan gerakan cepat sang anak.
"Aku udah dewasa, Bu. Udah bukan lagi saatnya Ibu mengatur aku harus seperti apa dan menjadi apa. Aku senang menjalanin hidupku yang sekarang. Aku senang menulis, senang karena sebentar lagi cita-citaku akan tercapai menjadi seorang penulis."
Mutiara kembali mencibir. Wanita itu selalu mencibir setiap kali Berlian membahas tentang cita-cita yang kini juga menjadi pekerjaannya, yaitu menjadi seorang penulis. "Berapa penghasilanmu dari menulis? Andai ayahmu berhenti memberimu uang, apakah kamu bisa hidup dari penghasilanmu menjadi penulis? Bisa membayar listrik dan mengisi perutmu yang kelaparan?"
Mutiara mendelikkan matanya. "Aku datang ke sini untuk ayah, bukan untuk berdebat dengamu, Bu." Berlian mendecak kesal. Saking kesalnya, dia sampai mendorong rambutnya ke belakang dan menjambaknya frustasi.
"Ibu tidak memintamu untuk berdebat. Ibu memintamu untuk memilih, bekerja dengan ayahmu atau menikah dengan Rio! Kamu harus punya masa depan, Berlian!"
"Cukup, Bu! Aku nggak akan pernah memilih! Lagi pula, aku nggak kenal Rio yang Ibu sebut dari tadi. Dan aku juga nggak mau tau!" Emosi Berlian kian berkobar. Jantungnya berdebar cepat.
Suara deru mesin mobil di pekarangan rumah membuat Mutiara segera mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Perlahan bibirnya bergerak membuat lengkungan senyum tipis.
Senyum itu semakin berkembang ketika dirinya mendengar suara langkah kaki yang mendekat dan ... tibalah pintu depan dibuka. "Nenda!" Suara lengkingan Zayn yang khas membuat Mutiara akhirnya tersenyum lebar.
Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu berlari dan memeluk Mutiara yang kini sudah dalam posisi bersimpuh di lantai. "Aku bawa kado untuk kakek." Anak itu memperlihatkan kodak hadiah yang dibawanya.
Hadiah!
Berlian tidak membeli hadiah. Bahkan jika saja Mutiara tidak memberitahu, dia juga melupakan hari ulang tahun ayahnya."Onty!" Zayn beralih pada Berlian dan memeluk pinggang ramping wanita itu dengan erat. "Onty, aku bakalan punya adik bayi!" serunya dengan mata berbinar.
'Tak lama kemudian, sosok orang tua Zayn yang mana adalah Gema adalah kakak kandung Berlian, bersama dengan sang istri—Namira, melangkah masuk dan bergabung di ruang tengah.
"Eh, ada Onty Berlian," ujar Namira ketika melihat adik iparnya. Berlian hanya tersenyum simpul menanggapi."Ma, kasih tau Onty Berli kalau di perut Mama ada dedek bayinya!" Zayn beralih ke Namira dan mengusap perutnya yang belum terlihat membuncit.Namira terkekeh.
Sedangkan Mutiara nampak terkejut sekaligis tidak sabar menunggu pembenaran dari berita yang dibawakan ole Zayn. "Beneran, Na?" tanya Mutiara antusias.
"Iya, Bu." Namira tersenyum lebar dan Mutiara langsung memeluknya sembari menghujani kalimat syukur juga ucapan selamat untuk menantu kesayangan.
"Kamu kapan nikah, Ber?" Gema menepuk bahu Berlian.
Berlian menghela napas. "Santai aja, nggak usah pikirin hidupku."
"Bukannya begitu, masa Zayn udah mau punya adik, tapi kamu belum juga menikah? Kalau wanita udah mencapai usia tiga puluh, nanti malas mikirin nikah. Lebih baik dari sekarang."
"Ini kue ulang tahun ayah? Sini, biar aku taruh di meja makan." Berlian mengambil paksa boks kue ulang tahun dari tangan Gema. Dia sengaja menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sama dan membuatnya muak.
"Berlian, kamu harus pikirkan dari sekarang!" seru Gema ketika Berlian memasuki ruang makan. Suara kakanya bergema mengisi ruangan.
"Kenapa mereka repot banget, sih, mengurusiku?" gerutu Berlian sembari membuka boks kue ulang tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...