Sepasang mata berwarna biru secerah langit di siang hari, mengintip ragu-ragu dari celah pintu.
Berlian tersenyum tipis sewaktu seluruh kepala Louis ditampakkan secara utuh dan bagian tubuh mengikutinya untuk terlihat seutuhnya.
Pria itu nampak lelah, sepertinya karena penerbangan yang memakan waktu cukup lama dari London ke Jakarta. Tentu saja.
"Hai." Berlian menyapa lebih dulu, kemudian mengangguk sebagai tanda bahwa pria itu diizinkan masuk ke dalam kamar rawatnya.
Langkah kaki Louis terkesan sedikit berat, sorot matanya menyiratkan kesedihan yang tidak dapat dia sembunyikan.
"Hai, Be."
"Manisnya," ucap Berlian menerima buket bunga dari Louis dan menghirup aromanya yang sangat harum juga menenangkan. "Terima kasih."
Louis mengangguk. Kemudian dia menggeret kursi, mendekatkannya ke sisi ranjang, lalu dia duduk di sana.
Masih diam sambil mengamati wajah Berlian yang dipaksakan terlihat ceria, namun pucat kulitnya tidak dapat berbohong bahwa wanita itu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Maafkan aku, Be."
"Kenapa?"
"Maaf karena...." Louis menghela napas, meraih tangan Berlian dan mengusapkan ibu jarinya pada punggung tangan wanita itu. "Bagaimana keadaanmu?"
"Kehilangan, tentu. Tapi, aku baik-baik aja." Sekali lagi, Berlian memaksakan senyumnya untuk terlihat baik-baik saja. "Gimana kabar Jessie? Apa dia tau kalau kamu ke Jakarta?"
"Baik. Dia baik. Dan ... dia tau aku ke Jakarta untuk... urusan pekerjaan."
"Aku mengerti."
Pintu ruangan dibuka. Geva berjalan sambil menunduk—membawa dua gelas karton di kedua tangannya. Cepat-cepat Louis melepaskan tangannya dari Berlian, kemudian bangkit dari kursinya.
"Ge."
Sapaan pria itu membuat Geva nyaris melemparkan gelas minuman di tangannya karena terkejut. Dia menghela napas sembari meletakkan kedua gelas tersebut di atas nakas, kemudian menyambut Louis dengan jabatan tangan serta pelukan singkat antar pria yang saling menepuk punggung dan membuat Berlian tersenyum ironi, mengingat dirinya pernah bercinta dengan kedua pria itu.
Geva memberikan salah satu gelas minuman yang dia beli tadi dari kantin rumah sakit kepada Berlian. Gelas tersebut berisi teh tawar hangat yang diminta Berlian. Wanita itu merindukan teh sangrai milik mendiang neneknya.
Setelah itu, Geva dan Louis duduk di sofa yang tersedia di dalam ruangan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tidur Berlian, sehingga wanita itu masih dapat mendengar samar apa saja yang sedang dibicarakan oleh kedua pria itu.
Seharusnya, situasi ini akan membuat mereka canggung. Terlebih Berlian. Tapi ternyata tidak seperti itu. Bahkan nampaknya, Geva dan Louis sama-sama sudah saling menerima kenyataan.
Mereka adalah dua pria dewasa yang bukan hanya secara umur saja, namun juga secara pemikiran juga cara pandanganya.
Berlian merasa bersyukur karena dapat mengenal kedua pria itu. Para pria yang menyayanginya dengan tulus, memberikan perhatian penuh dan ... pernah mengira dirinya jatuh cinta pada salah satunya yang ternyata... tidak.
Tidak sadar, Berlian menyunggingkan senyum tipis.
Senyum yang kali ini tidak dipaksakan, melainkan tercetak begitu saja saat dirinya tengah mengenang masa-masa bahagianya bersama kedua pria yang sedang asyik berbincang di dekatnya."Kamu ketawain apa?" tanya Geva dari tempatnya.
Berlian menoleh dan menggelengkan kepala, masih dengan senyumnya yang melekat pada bibir ranum itu.
"Kamu butuh sesuatu, Be?" Kini giliran Louis yang bertanya dan Berlian kembali menggelengkan kepalanya.
Kembali lagi. Berlian bersyukur, di saat seperti ini ... ada para pria yang mendampinginya, memerhatikan dan mengkhawatirkannya. Kehilangan buah hati adalah patah hati terbesar yang pernah dialami oleh Berlian semasa hidupnya, namun ... kehadiran kedua pria itu sedikit mengobati luka hatinya.
Geva berjalan mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang. Mengulurkan tangannya untuk membelai wajah Berlian yang kini memejamkan matanya, merasakan sentuhan tangan pria itu di kulitnya. "Louis udah mengurus semuanya, Be. Besok kami akan mulai melakukan tes-nya." Penuh keraguan, Geva memberitahu perihal tes DNA yang akan dilakukan besok, dia takut membuat Berlian terluka.
Membuka matanya perlahan, Berlian menganggukkan kepalanya, kemudian menoleh pada Louis yang masih duduk di sofa dengan wajah khawatir. "Apa kalian bisa janji sesuatu padaku?"
Louis bangkit dan mendekat. "Apa yang bisa kujanjikan?" tanyanya setelah duduk di kursi yang berada di sisi ranjang.
"Kalian akan baik-baik aja dengan apapun hasilnya nanti." Berlian menatap Geva dan Louis bergantian, mencoba mencari jawaban dari balik kerutan kening kedua pria di hadapannya kini.
"Ya. Tentu kami akan baik-baik aja, Be. Kenapa emangnya harus nggak baik-baik aja?" kekeh Geva namun terdengar palsu di telinga Berlian.
"Aku dan Geva udah membicarakannya, dan... kurasa... ya, kami akan baik-baik aja dengan apapun hasilnya nanti." Louis bicara dengan tenang. Setenang air laut di malam hari.
"Aku menyayangi kalian. Kalian tau itu, kan?"
"Ouch! Aku nggak tau, dan... aku merasa telah diselingkuhi." Geva memegangi dadanya secara dramatis.
"Aku tau. Dan... aku menyayangimu, Be." Louis mengulas senyumnya.
Sungguh. Harusnya ini menjadi situasi yang sangat canggung, ketika saling mengungkapkan rasa sayang di hadapan Geva yang jelas-jelas mencintai Berlian.
"Terima kasih atas kejujurannya, Mate." Geva menekankan kata 'mate' diujung kalimatnya, dan Louis tertawa sambil menepuk bahu pria itu.
"Terima kasih, udah menjagaku dan selalu ada di saat terburukku," ujar Berlian bersamaan dengan jatuhnya satu tetes air mata yang langsung membasahi pipinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/276766638-288-k635810.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
خيال علمي18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...