Berlian dan Geva sudah kembali ke unitnya. Berlian menghempaskan tubuhnya ke atas sofa selagi Geva pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum serta obat untuk Berlian.
"Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, Be?"
"Nggak apa-apa. Cuma ditimpuk lego," kekeh Berlian mengingat kejadian beberapa menit lalu sewaktu Raka tiba-tiba tantrum.
Anak itu menangis sambil menjerit. Menendang dan melemparkan seluruh barang yang ada di sekitarnya. Salah satunya adalah potongan lego yang dilayangkan olehnya dan mengenai mata kiri Berlian.
Untung saja wanita itu menutup mata sewaktu melihat datangnya benda itu. Jika tidak, mungkin saja sekarang matanya sudah sangat sakit.
"Ini minum dulu obatnya." Geva memberikan satu gelas air mineral beserta tabung obat milik Berlian yang diberikan oleh Dokter Ezra beberap waktu lalu.
"Aku kasihan sama Raka, deh." Berlian mendorong obatnya menggunakan air. "Kamu liat nggak sih, tadi? Anak itu menggigit tangannya sendiri loh, Ge. Kayak ... apa ya?" Wanita itu mencoba memikirkan kalimat apa yang tepat untuk menggambarkan kejadian itu.
"Karena dia belum bisa bicara, jadi ... mungkin kesal karena apa yang dia maksud dan dia pengin nggak bisa tersampaikan. Nggak dimengerti sama orang tuanya."
Geva mengambil gelas kosong Berlian dan meletakkannya ke atas meja. Dia melingkarkan tangannya ke bahu Berlian, membawa kepala wanita itu untuk bersandar padanya.
Di dada Geva. Adalah tempat ternyaman Berlian. Karena di sana, dia dapat mendengar dengan jelas detak jantung Geva serta merasakan hangat tubuhnya dan hangat napasnya.
"Iya, sih. Tapi ... mungkin itu yang dibilang 'beda', Ge." Berlian mendongak dan Geva menunduk, sehingga wajah keduanya kini sangat dekat. "Katanya Mbak Nina ... Raka itu lahirnya premature. Jadi ... ada masalah tumbuh kembang gitu, aku nggak ngerti dan lupa apa istilah medisnya tadi kata Mbak Nina. Pokoknya Raka itu ikut terapi gitu, Ge. Anak itu juga harus sering-sering melatik motoriknya."
"Semoga aja Raka bisa sembuh ya." Geva mengecup kening Berlian.
"Aku jadi kepikiran Beril," lirih Berlian. Wajah wanita itu sekarang menjadi sendu. Sorot matanya sudah mendung dan siap akan menuurunkan hujan air mata sebentar lagi. "Kalau Beril selamat hari itu, dia juga terlahir premature. Kasihan kalau harus mengalami apa yang dialami oleh Raka."
"Tuhan maha mengetahui, makanya ... Tuhan mengambil Beril hari itu dan menempatkannya di Surga, Be."
Berlian mengangguk bersamaan dengan menetesnya air mata kesedihannya, mengingat bayi mungil yang telah dia lahirkan.
"Kamu udah tanya alamat tinggalnya Giana?" Berlian menghapus air matanya dengan bagian lengan bajunya. Geva menganggukkan kepala. Menempelkan keningnya ke kening Berlian. "Kapan kamu mau antar mainannya Genta?"
"Kayaknya ... aku kirim aja pakai jasa kurir."
"Kenapa?"
"Untuk apa juga aku datang?"
"Gimana pun, kamu dan Giana pernah menjalin sebuah hubungan, Ge. Masa ... mau berakhir nggak baik begitu?"
"Hubunganku sama Giana baik, kok. Kami mengakhirinya dengan baik-baik."
"Yakin?" Berlian menarik diri, membuat Geva mengeluh. "Aku emang nggak pintar bohong. Tapi kamu juga nggak jago, Ge."
Menghela napas berat. "Iya, deh. Nanti aku temuin Giana. Kamu ikut ya?"
"Jangan gila, Gevariel Gerald!" Berlian mendorong kening Geva dengan tari telunjuknnya. "Kamu ini pengacara tapi otaknya kosong, kok bisa sih?"
"Aku pun bingung, Be." Jawaban Geva membuat Berlian semakin gemas pada pria itu. "Emangnya kenapa, sih, kalau kamu ikut?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...