Berlian benar-benar mendapati hari yang sial. Kesialannya sejak pagi terus berdatangan satu persatu hingga langit menjadi gelap.
"Kenapa ponselmu nggak aktif, sih, Be?" tanya Geva sembari mencuci alat makan yang kotor.
"Ponselku rusak, tadi jatuh dan wafat kayaknya, sih."
Geva menutup kran. Dia menoleh dan menyipitkan mata. "Wafat? Beneran nggak bisa di apa-apain?"
Berlian mengangkat bahu. "Nggak ada tanda-tanda kehidupan sampai sekarang." Helaan napas pasrah menandakannya sudah kehilangan harap akan kehidupan ponselnya.
"Udah waktunya kamu ganti ponsel, Be. Ponselmu itu udah kelewat lelah nemenin kamu bertahun-tahun. Lagian, sih, masih aja betah pakai ponsel tua," ejek Geva yang kembali membuka kran air untuk membilas gelas.
"Hm," gumam Berlian malas menanggapi. "Mau sampai kapan dia di sini, Ge?" desis Berlian hati-hati, dia menjaga suaranya agar tidak terdengar oleh Louis yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Sebentar lagi. Nggak enak, Be. Masa kuusir, sih? Atasanku loh itu." Geva mengeringkan tangannya menggunakan handuk kecil. Dia menghampiri Louis dan menawari rokok. "Rokok?"
"Terima kasih." Diambilnya satu batang rokok oleh Louis dari dalam kotak rokok milik Geva.
"Nggak apa-apa merokok di sini, Berlian?" Dia menelengkan kepalanya ke arah Berlian yang berjalan dengan langkah kecil memasuki ruang tengah.
Berlian berhenti sebentar untuk menganggukkan kepalanya, kemudian dia lanjut berjalan dan duduk di sofa. "Mau, Be?" Geva menawarinya rokok. Tanpa pikir panjang Berlian langsung mengambilnya dan memantikkan api pada sumbunya.
Geva dan Louis membahas pekerjaan mereka yang mana membuat Berlian merasa tidak berguna berada di antara mereka.
Menyadari akan ketidaknyamanan Berlian, akhirnya pun Louis pamit untuk pulang. "Terima kasih, ya, Berlian," ucap Louis selagi berjalan menuju teras rumah.
"Aku yang makasih untuk sop iganya." Berlian memaksakan senyumnya.
Louis mengangguk ringan. Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Berlian dan Geva. "Sampai jumpa besok, Ge." Lirikannya yang tertangkap oleh sudut mata Berlian, membuat wanita itu ketakutan dan memilih menatap jari kakinya sendiri."Lekas sembuh, Berlian. Sampai jumpa."
Derap langkah kaki Louis terdengar menjauh. Suara mesin mobil terdengar meninggalkan halaman rumah Berlian, baru lah dia mengangkat wajahnya dan menghela napas lega.
"Be, aku ke tower, ya. Nanti balik lagi ke sini."
"Eh, nggak usah, Ge. Kalau kamu balik lagi ke sini capek banget pasti. Lagi pula, besok mau ke Surabaya, kan? Kamu istirahat aja lah. Toh, aku juga udah ngerasa lebih baik," tutur Berlian dan Geva mengamati wajah wanita di hadapannya.
"Yakin?"
Anggukkan kepala saja tidak akan cukup meyakinkan. Berlian juga menunjukkan senyum yang menggambarkan dirinya baik-baik saja pada Geva.
Berjalan bersama ke dalam rumah. Geva mendesak Berlian ke dinding. Menekankan bibirnya ke bibir Berlian. "I'm gonna miss you, Be," ucapnya dalam sela-sela ciuman panasnya.
Tangan liarnya meremas bokong Berlian. Membuat wanita itu mendelikkan matanya tapi Geva tidak menghiraukan. Ciumannya kian menuntut dan semakin menuntut.
"Ge," panggil Berlian.
"Hm?" Tangan Geva kini merayap ke balik kaus Berlian. Meremas dan memuntir gemas puncak dada wanita itu hingga Berlian 'tak kuasa menahan lenguhannya.
Mencecap setiap inci kulit Berlian yang mulus. Geva berhasil membangkitkan gairah wanita itu yang kini terengah-engah. Kakinya berjinjit pada lantai yang dingin. Tangannya meremas kepala Geva—ketika pria itu tengah melumat rakus puncak dadanya.
Aksinya terhenti karena suara dering telepon masuk. Dengan keringat yang berkumpul di kening, Geva meraih ponsel dari dalam saku celana.
Berlian memejamkan mata sesaat setelah melihat nama yang muncul di layar ponsel sahabatnya itu.
Giana.
Mengusap layar ponsel ke atas, Geva langsung tersambung dengan Giana.
"Hai, Gi! Ada apa?"
"Aku merindukanmu. Kapan kamu pulang?" Suara seksi yang menggoda di seberang sana, membuat Geva menelan ludahnya.
Geva melirik Berlian yang berjalan pelan masuk ke dalam kamarnya. Berlian sengaja menghindar agar tidak mendengat percakapam Geva dengan Giana.
"Sebentar lagi aku pulang," jawab Geva dan Giana tersenyum senang di tempatnya.
"Kamu udah makan malam?"
"Udah. Kebetulan baru aja selesai. Aku siap-siap dulu, ya. Sampai ketemu nanti."
"Oke. Hati-hati, Ge." Giana mengakhiri panggilannya dan Geva menghela napas sembari menarik rambutnya kuat-kuat. Dia mendatangi Berlian ke kamar.
"Be." Geva merangkak naik ke atas ranjang.
"Apa?"
"Kamu marah?"
"Marah kenapa?"
Kenapa Berlian harus marah? Geva tidak melakukan salah apapun.
Berlian hanya merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Dia mendadak gelisah dan sedikit tidak nyaman dengan situasi yang tengah dia hadapi saat ini. Situasi di mana dia berada di antara Geva, Louis dan Giana.
"Karena ... tadi Giana menelepon." Geva menggigit bagian dalam pipinya. Berlian menggelengkan kepalanya, kemudian mengecup pipi Geva lalu tersenyum. "Kamu yakin nggak apa-apa aku tinggal sendiri?"
"Iya, Ge."
"Nanti gimana cara hubungin kamu kalau nggak ada ponsel? Kamu mau pakai tabletku?"
Berlian menggeleng cepat. Dia melingkarkan tangannya di leher Geva. "Aku baik-baik aja di sini, sendiri, tanpa ponsel." Senyumnya kembali ditunjukkan agar meyakinkan. "Berapa lama di Surabaya?"
"Dua atau mungkin tiga hari. Tergantung kelancaran pengurusan surat izin dan sebagainya."
"Baiklah. Semoga semuanya lancar dan kamu bisa cepat pulang." Berlian menepuk pipi Geva.
"Cepatlah, kasian Giana lama menunggu," kekehnya terkesan dipaksakan.
"Kok kamu bilang begitu?"
"Gitu gimana?"
"Gitu." Geva mencebik dan Berlian tertawa geli melihatnya.
"Udah, ah. Aku mau bobo, nih. Kamu cepetan balik ke tower."
"Aku diusir nih jadinya?"
"Iya."
"Jahat banget." Geva membuat tangisan layaknya anak kecil. Berlian tertawa geli sembari mendorong pria itu turun dari ranjangnya.
Tangan Berlian membuka laci nakas dan mengeluarkan sebuah kunci. "Ini kunci pagar dan kunci rumahku. Tolong kunci dari luar dan simpan ini ya, jangan sampai ilang. Kunci pintu yang masih nyangkut, tolong taruh di meja, ya, Ge. Aku males ke luar."
"Siap, Mrs.Gerald soon to be." Geva menyeringai setelah mendaratkan kecupan singkat di bibir ranum Berlian.
"Ge!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...