Penawaran Menarik di Akhir Percakapan

28 2 0
                                    

Tidak ada kelanjutan setelah saling mengungkapan perasaan suka satu sama lainnya. Mereka tetap seperti biasa. Louis tapi menjadi lebih sering datang ke rumah Berlian, sekedar membawakannya makanan atau terkadang menginap untuk saling bertukar keluh kesah.

Suara dering ponsel membuat Berlian mengerang kesal. Dia menendang selimut yang menutupi tubuhnya. "Kenapa, sih, marah-marah?" Tangan Louis terulur memeluk pinggang wanita itu. Bernapas di tengkuk Berlian.

"Ponselmu berisik, Lou!" keluhnya.

"Not mine, but yours."

Tanpa membuka mata, tangan Berlian bergerak mencari-cari keberadaan ponselnya di atas nakas. Ruangan masih cukup gelap dan dia tidak sempat melihat siapa peneleponnya. Segera mengusap layer ke atas Berlian pun tersambung dengan sang penelepon.

"Halo."

"Berlian, kenapa lama banget, sih?"

"Ibu?! Ya, ampun! Ini masih pagi, Bu." Berlian membuka mata untuk melihat tampilan jam digital di layer ponselnya yang menunjukkan waktu masih pukul empat pagi. "Ada apa?"

"Kenapa kamu nggak pernah balas pesan Ibu?"

"Ibu tau kenapa," jawab Berlian malas. Dia merapatkan tubuhnya pada Louis yang segera memeluknya erat. Membelai rambutnya dan mengecup keningnya penuh kasih sayang.

"Bisakah Ibu meneleponku nanti? Aku mengantuk."

"Mengantuk atau sedang melayani pria sialan itu?" tuduh Muthia dari seberang sana. "Jangan kamu pikir Ibu nggak tau apa yang kamu lakuin sama Geva! Hubunganmu dengannya bukan hanya sebatas teman biasa. Ibu nggak bodoh, Berlian!"

Berlian segera melepaskan diri dari Louis. Dia turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Dia takut Louis akan mendengarnya. Dia takut, pria yang bersamanya merasa tidak nyaman karena ibunya membahas pria lain. Pria yang juga dikenal baik oleh Louis.

"Jangan menuduhku, Bu! Berhenti berpikiran buruk terhadap Geva!" desis Berlian. Dia menjaga suaranya agar tidak terdengar oleh Louis. "Kepentingan apa yang membuat Ibu meneleponku di saat matahari belum menampakkan dirinya?" ketus Berlian yang sudah terbakar emosi.

"Pulang, Berlian! Kamu harus menyetujui perjodohan Ibu."

"Enggak! Aku nggak mau! Aku bukan anak kecil, Bu."

"Justru kamu bukan anak kecil lagi. Seharusnya kamu sadar diri, Berlian! Mau sampai kapan kamu menjadi budak pemuas nafsu pria itu?"

"Bu, cukup! Ini nggak ada hubungannya sama Geva."

"Lalu apa?"

"Aku udah punya pacar, Bu. Aku udah punya pilihan sendiri. Aku nggak mau dijodohin! Titik," tegas Berlian. Dia terengah-engah karena bicara cepat dengan penuh emosi.

"Siapa? Geva?"

"Berhenti menyeret nama Geva ke dalam percakapan kita, Bu. Dia nggak ada hubungannya dengan semua ini."

"Kalau begitu, ajak pacarmu ke rumah. Malam ini! Kalau nggak, Ibu yang akan menyeretmu pulang ke rumah ini!" Sambungan telepon pun diputuskan secara sepihak oleh Muthia.

Berlian terduduk lemas di sofa. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menangis. Berlian menangis sampai dadanya terasa sangat sesak. Dia sudah terlalu lelah dengan tuntutan ibunya, juga lelah menuruti setiap keinginan ibunya.

"Be, ada apa?" Louis menghampiri. Duduk di samping Berlian dan segera memeluknya.

Tangis Berlian pun pecah. Dia berhasil mengeluarkan suara isakannya sampai tubuhnya bergetar. "Aku capek, Lou."

"Kenapa? Mau cerita sama aku?" Louis mendorong rambut Berlian yang menutupi wajahnya. Kemudian dia mengusap wajah cantik Berlian, menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Sebentar, kuambilkan minum."

"Nggak usah," cegah Berlian—menahan tangan Louis. "Aku capek menghadapi ibuku."

"Kenapa bicara begitu?"

"Karena ibuku nyebelin, Lou. Ibuku banyak menuntut dan nggak pernah puas." Helaan napas kekecewaan Berlian langsung dimengerti oleh Louis. "Ibu mau jodohin aku sama anak dari temannya. Aku bukan anak kecil lagi, Lou. Aku berhak memilih pria untuk teman hidupku kelak."

Usapan lembut Louis, berhasil membuat Berlian merasa sedikit lebih tenang. Dia sudah bernapas dengan normal lagi. "Aku terlanjur bilang udah punya pacar, dan ibuku menantangku untuk membawa pacaku ke rumahnya nanti malam," lirih Berlian menyesali perkataannya. "Aku mau sewa orang di mana, Lou? Waktuku kurang dari dua puluh empat jam, bahkan aplikasi pencarian jodoh pun nggak bisa membantuku menemukan pria yang cocok dalam waktu 1x24 jam."

Sudut bibir Louis berkedut—dia menahan tawanya mendengar kalimat terakhir Berlian. "Lalu, kamu mau gimana?"

"Aku nggak tau, Lou. Aku pusing. Maaf ya, kamu jadi bangun gara-gara aku." Berlian mendongak dan mengusap dagu Louis. Pria itu pun tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. "Mau lanjut tidur?"

"Aku harus mengurus pekerjaan jam enam nanti. Kalau aku lanjut tidur, bisa sakit kepalaku nanti pas bangun. Boleh aku membuat kopi?"

"Boleh. Biar aku aja yang bikinin. Kamu duduk manis di sini, ya." Louis mengangguk mengerti.

Berlian segera berjalan ke dapur, membuat kopi untuk Louis. Dalam benaknya sibuk memikirkan alasan apa lagi yang akan dia gunakan untuk menghindari tantangan sang ibu dan ancaman jika dia gagal membawa sosok pacarnya nanti malam.

"Be!" Suara teriakan Louis yang memanggil namanya berhasil menyadarkannya yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Jangan manis-manis, ya."

Tidak menjawab. Berlian menurut saja. Dia mengurangi takaran gula yang biasanya dipakai untuk membuat kopi. Membawa cangkir kopi ke hadapan pria yang sudah menunggunya di sofa. "Satu sendok kecil gulanya." Berlian memberitahu.

Louis mengambil cangkir itu dan berterima kasih. Kemudian menyesapnya perlahan sambal menatap Berlian. "Pas," ujarnya dan Berlian bernapas lega. "Manis dari kopinya pas, ditambah manisnya senyum kamu, membuat kopi ini jadi terasa istimewa."

Berlian tertawa terbahak-bahak akan gombalan Louis yang sangat receh menurutnya. Dia tidak mengira, pria asing seperti Louis bisa mengeluarkan gombalan seperti itu. Tawa Berlian masih belum berhenti sampai menit-menit selanjutnya, dia sampai menangis karena terlalu lama tertawa.

"Gimana kalau nanti malam, kamu kerumah ibumu sama aku?" Pertanyaan Louis berhasil membungkam Berlian dari tawanya. "Aku bisa pura-pura jadi pacarmu, atau kalau mau beneran juga nggak apa-apa."

Seperti terkena serangan jantung. Berlian tidak dapat bergerak. Dia terkejut bukan main akan ucapan Louis. Dia masih mencoba mencerna maksud dibalik 'aku bisa pura-pura jadi pacarmu, atau kalau mau beneran juga nggak apa-apa'.

Apa maksudnya?

"Louis menawarkan diri untuk jadi pacar pura-pura atau beneran?" tanya Berlian dalam hatinya. Dia ingin menjerit akan pikirannya, di waktu yang bersamaan dia juga takut kalau tanggapannya salah. Berlian benar-benar dibuat bingung oleh Louis.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang