Tidak banyak yang dibicarakan Berlian dan Louis di dalam perjalanan pulang. Berlian tenggelam dalam perkataan Muthia, sedangkan Louis tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita apa yang terjadi.
Hanya alunan musik dari radio yang mengisi keheningan di dalam ruangan kecil yang dingin di tengah kemacetan Ibukota.
Melepaskan stiletto, Berlian memijat kakinya sebentar. Louis duduk di sofa, melepaskan ikat pinggang serta dua kancing paling atas pada kemejanya.
"Maafin ibuku, ya, Lou," lirih Berlian dan Louis hanya tersenyum simpul. "Kenapa kamu bilang aku kerja di penerbitan? Kan, kamu tau, kalau aku belum dapat pekerjaan. Bahkan ... aku udah nggak menulis lagi." Berlian berbaring di sofa—meluruskan kakinya.
Louis mendekat. Menempatkan kedua kaki Berlian ke atas pangkuannya. Lalu dia memijat kaki jenjang yang sedikit merah pada bagian tungkainya.
"Karena aku mau merekomendasikan kamu ke salah satu perusahaan penerbitan yang berada di bawah naungan Steels Corp."
"Apa?"
"Kamu mendengarnya, Berlian."
"Aku tau. Tapi, aku nggak tau kalau Steels Corp punya penerbitan."
"Apa barusan aku bilang perusahaan penerbitan itu milik Steels Corp?"
Malas berdebat. Berlian pun mengakhirinya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. "Makasih banyak ya, Lou. Kamu udah banyak menolongku malam ini. Juga sebelum-sebelumnya," jujur Berlian dengan tulus.
Tangan Louis menggapai tubuh Berlian untuk direngkuhnya. Menenggelamkan wajah wanita itu pada lehernya. Louis mengusap punggung Berlian.
"Aku ada untukmu, kapanpun kamu butuh aku, Be."
Usapan di punggungnya cukup membantu menenangkan kekalutan Berlian. "Ah, feels so good," desahnya sembari memejamkan mata.
Kedua tangan Berlian melingkar erat pada pinggang Louis. Meremas bagian belakang kemeja pria itu setiap kali Louis menyentuh bagian pinggulnya.
"Kenapa ibumu nggak suka orang asing?" Pertanyaan dari Louis membuat Berlian mendongak untuk menatap wajahnya dari bawah.
"Karena ibu pernah dikecewain sama bule sewaktu masih muda. Ibu dibohongi dan akhirnya ... ditinggal nikah."
"Jadi, ibumu takut kalau aku akan melakukan hal serupa sama kamu?"
"Mungkin." Berlian mengedikkan bahunya dan kembali menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Louis yang mengeluarkan aroma maskulin dari sisa parfum yang masih menempel di sana.
"Tapi itu nggak bakal terjadi. Kan, kita cuma pura-pura di depan ibu."
"Aku kira, kita bisa serius, Be."
"Serius gimana?" Berlian menarik diri, kemudian berjalan ke dapurnya untuk mengambil sisa anggur dan dua buah gelas. Membawanya ke ruang tengah. "Aku nggak ahli dalam berhubungan, Lou," ujarnya sembari menuangkan anggur ke dalam dua buah gelas. Memberikannya satu untuk Louis dan satu untuknya.
"Tapi kamu ahli di ranjang." Louis menyesap anggurnya. Tapi Berlian dapat melihat senyuman mesum Louis dari balik gelasnya. "Kukira, wanita di sini pengin sebuah komitmen. Aku nggak menyangka kamu bakal jawab begitu."
Berlian terkekeh. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu Louis sambil menikmati anggurnya. "Jujur, pada awalnya kukira aku mencintaimu, Lou. Ternyata ... aku cuma suka, tertarik dan akhirnya nyaman didekatmu."
"Jadi, cintaku bertepuk sebelah tangan?" tanya Louis dengan kerutan di keningnya yang membuat Berlian tergelak.
"Kamu jatuh cinta sama aku? Mana mungkin. Lagi pula, apa kamu percaya cinta?"
"Tentu aku percaya. Emangnya kamu nggak percaya?" Berlian menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu pernah patah hati?"
"Pria yang membuatku patah hati pertama kali adalah ayahku, Lou." Perih rasanya untuk Berlian kembali membuka ingatan lamanya.
"Maaf, aku nggak bermaksud membuatmu ... membuka luka lama, Be."
"Bukan masalah. Aku harus sering-sering mengingatnya supaya terbiasa."
"Apa yang terjadi?"
"Ayahku menikah diam-diam di belakang ibuku. Baru ketahuan, ketika ayah punya anak yang seumuran sama aku. Bedanya, dia punya nasib yang lebih baik. Nggak kayak aku."
"Kamu mikir kalau nasibmu nggak baik?" Berlian mengangguk. "Kamu cuma belum menemukan ritme dan celahnya, bukan berarti nasibmu nggak baik. Kamu juga belum ketemu pria yang sesuai, yang mencintaimu dengan tulus."
"Sejak ayah mematahkan hatiku untuk pertama kalinya, aku berpikir kalau cinta itu memang ada, tapi bukan untukku. Pria yang ada di dekatku bukan ditakdirkan untuk mencintaiku, tapi cuma untuk membuatku merasa dicintai." Mata Berlian berkaca-kaca. Tapi dia berusaha mengalihkan rasa sedihnya untuk mengingat hal lain.
"Kamu berhak dicintai, Be. Kamu wanita istimewa yang layak diberi cinta sebanyak-banyaknya."
"Nggak ada cinta untukku, Lou. Pria yang deketin aku, nggak jauh cuma pengin memuaskan hasrat aja. Jadi, aku nggak pernah berhubungan sama pria sembarangan."
Louis menghela napas. "Tapi, kuharap kamu bisa merubah cara berpikirmu."
Berlian menenggak habis minumannya dan meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Kemudian dia berbaring di sofa, menjadikan satu paha Louis sebagai bantal.
Tangan Berlian meraih tangan Louis. Menyatukan tangan mereka. Dan Louis mengecup puncak kepalanya. "Geva mencintaimu, Be."
Berlian tersentak. Dia terkejut dan tidak menduga kalau Louis akan bicara seperti itu. Dia mencoba untuk mengabaikan dan mengingat kecewanya terhadap Geva yang benar-benar menghilang dari hidupnya.
"Aku dan Geva memiliki kemiripan dalam soal cinta." Louis memainkan ujung rambut Berlian. Melilitkannya pada jari telunjuk kemudian dilepaskan, mengulanginya terus menerus.
"Apa? Kamu juga cinta sama Giana?" seloroh Berlian dan Louis mendecak.
"Aku mencintai seseorang yang selama ini ada didekatku, tapi ... dia menolak keberadaanku. Jadi, aku menyimpan rasa ini bertahun-tahun."
"Persamaan sama Geva, apa?"
"Geva juga mencintai kamu, tapi kamu selalu menyangkal kalau kamu juga mencintainya. Karena pola pikir kamu yang nggak percaya cinta."
Ada sakit yang tidak dikenali oleh Berlian. Rasa sakit yang baru dia rasakan setelah mendengar perkataan Louis barusan.
"Sok tau, ih." Berlian mengikuti pola ukiran tato di sepanjang kengan Louis menggunakan kukunya yang diberi gliter warna silver.
"Aku bisa melihatnya, Be. Sewaktu kita ketemu di kafe hits bogor. Sorot matanya dan matamu itu memancarkan sesuatu yang berbeda."
Berlian mendecak. "Ah, kamu ini!" Kemudian dia bangkit dan merangkak ke atas pangkuan Louis. "Siapa wanita yang kamu cintai, Lou?" Jemari Berlian meraba rambut halus di sekitar wajah Louis. "Fanisya?" Louis menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Jessie?" Pria itu menghela napas kemudian mengangguk
Berlian tidak merasa terluka ketika megetahui Louis mencintai sosok wanita lain. Sejak awal dia sudah menebaknya.
"Kamu kayak Jessie. Menyangkal keberadaan pria yang mencintai kalian. Kalian juga sama-sama punya trauma soal cinta di masa lalu. Itulah kenapa, aku sayang banget sama kamu, Be. Rasanya di dekat kamu kayak berada di dekat Jessie." Louis membelai wajah Berlian. "Maaf kalau aku terkesan mempermainkan kamu."
"Aku nggak merasa dipermainkan. Justru awalnya aku punya niat mengambil keuntungan dekat sama kamu," kekeh Berlian dan Louis ikut terkekeh juga bersamanya. "Tapi ternyata kamu baik banget. Aku jadi berubah pikiran," sambungnya dan Louis mengecup bibir ranum Berlian.
Berlian merasa sangat lega setelah dia berhasil berkata jujur pada Louis akan semua niatnya hingga perasaannya. Dia juga merasa lega setelah tahu kalau ternyata Louis menyayanginya karena dia menganggap Berlian seperti Jessie yang sulit digapai.
Lalu bagaimana dengan Geva?
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Ficção Científica18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...