Pelaku Kejahatan

19 2 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Geva sudah bangun dan pria itu tengah serius menundukkan kepalanya—duduk di tepi ranjang.

Masih dalam keadaan mengantuk dan pandangan yang masih samar, Berlian melihat Geva sedang menepuk-nepuk punggung tangan kanannya dengan sesuatu.

Beringsut di atas ranjang, pergerakan Berlian membuat Geva menoleh. "Eh, kamu udah bangun." Pria itu mendaratkan satu kecupan selamat pagi di pipi kanan Berlian.

Lalu kembali menyibukkan dirinya dengan sebuah sponge dan foundation.

Benar.
Sama sekali tidak salah.

"Kamu ngapain, sih?" tanya Berlian yang kini sudah duduk, menyilangkan kedua kakinya.

Geva menoleh lagi. Kali ini, Geva tertawa geli melihat penampilan Berlian. Rambut wanita itu kusut dan berantakan. Wajah bangun tidurnya sungguh menggemaskan.

"Nggak usah ketawa!" omelnya.

"Kamu lucu kalau bangun tidur, kayak singa betina," kekeh Geva yang masih memandangi wajah Berlian. Dalam hati pria itu berkata, "kamu cantik banget, Be."

Memutar matanya malas. Berlian menyisiri rambutnya menggunakan jari tangan, kemudian mengikatnya asal. Saking asalnya, dia tidak peduli dengan helaian rambut yang masih menjuntai di atas bahunya dan beberapa helai anak rambut di sekitar keningnya.

"Mau aku bantuin, nggak?" Senyum Geva mengembang sewaktu Berlian menawarkan diri untuk membantunya.

Dengan senang hati pria itu memberikan botol foundation serta sponge pada Berlian. "Makanya, nggak usah gaya-gayaan pakai tatoan segala. Jadi repot sendiri, kan? Udah tau pengacara, tapi gayanya kayak preman," gerundel Berlian sambil menepuk-nepuk punggung tangan Geva, menutupi ukiran tinta di bagian kedua punggung tangan pria itu.

"Siapa yang tau kalau aku bakalan jadi seorang pengacara beneran?" jawab Geva santai. "Tato itu bukan gaya preman, Be. Tato adalah sebuah seni. Kebanyakan or—"

"Orang salah mengartikan seni tato. Karena kebanyakan pelaku kejahatan memiliki tato. Jadi mengira kalau orang yang punya tato adalah pelaku kejahatan. Padahal nggak semuanya begitu dan belum tentu begitu." Geva tersenyum sewaktu Berlian menyelesaikan kalimatnya.

Wanita itu sudah hafal dengan kalimat yang biasa diucapkan olehnya setiap kali membahas tentang tato.

"Pelaku kejahatan nggak selalu punya tato, Be. Contohnya Arkan."

Berlian mengangkat wajahnya. "Arkan pelaku kejahatan? Dia seorang pengedar? Atau ... penjual organ tubuh manusia?"

"B-bukan." Geva sedikit menyesali perkataannya. Ah, tapi tidak. Bagaimanapun dia harus memberitahu Berlian soal pria menyebalkan itu. "Be, uh ... sebenarnya ...."

"Tunggu!" Berlian mengangkat jari telunjuknya. "Ini mau ditutupin semuanya? Dua lengan? Atau punggung tangannya aja?"

"Punggung tangan sampai pergelangan deh, Be. Walau pakai kemeja dan jas, takutnya tetap kecolongan, tetap keliatan. Klien besar soalnya, agak rese." Berlian mengangguk mengerti.

"Nggak mesti klien besar, Ge. Kalau aku jadi klienmu juga risih liat tato banyak begini," cibir Berlian sambil menuangkan sedikit lagi foundation ke atas punggung tangan Geva. "Kamu mau bilang apa tadi? Sebenarnya apa? Ayo lanjutin!" desaknya.

Baru hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari unit sebelah yang disusul dengan jeritan anak kecil. Berlian terkejut! "Kenapa tuh?" tanyanya waspada.

"Biasa ... anak tetangga sebelah suka tantrum kalau pagi-pagi gini."

"Oh ...." Berlian manggut-manggut. "Aku nggak pernah dengar, perasaan."

"Perasaanmu itu bermasalah kayaknya, Be." Berlian memajukkan bibirnya. "Hampir setiap pagi, anak itu tantrum. Orang tuanya udah beberapa kali minta maaf setiap kali ketemu sama aku. Kamu nggak pernah dengar karena tidurmu kayak orang mati."

"Sembarangan! Tapi bener, sih," kekeh Berlian yang diakhiri dengan juluran lidah menggemaskan di mata Geva. "Jadi, pria menyebalkan itu pindah ke mana, Ge? Sedih dong kamu, ditinggal Arkan?" goda Berlian.

Pertanyaannya lebih menyerupai sebuah kalimat sarkas.

"Arkan?"

"Ya iyalah, Geva. Astaga! Siapa lagi emangnya pria menyebalkan di sini? Oh iya, kamu!" Berlian tersenyum miring dan Geva mendengkus.

"Arkan udah nggak ada."

"Aku tau. Makanya aku tanya, dia pindah ke mana? Oh iya, Louis cerita nggak sih, soal Jessie? Ya ampun, Ge. Aku kasian banget sama dia. Pas dengar, rasanya mau nangis banget. Wanita sebaik dia bisa-bisanya jadi korban kejahatan begitu."

"Tau, kok. Aku bahkan tau siapa pelakunya."

Berlian mengangkat wajahnya lagi. "Siapa?" Raut wajahnya kini bercampur antara penasaran dan amarah yang tertahan.

Siapa saja tentunya akan sangat marah, apabila seorang sahabat menjadi korban kejahatan seksual. Termasuk Berlian. Walaupun baru mengenal Jessie sebentar, tapi ... dia sudah menganggap Jessie seperti adiknya sendiri.

"Arkan."

"Hah? Sumpah? Si bajingan itu yang melakukannya? Astaga! Seandainya dia masih ada di sebelah, udah kugedor pintunya, kuseret dia ke depan kompor, lalu kutempelin wajahnya ke atas wajan panas."

Nada bicara Berlian jelas menggambarkan dirinya benar-benar sangat marah. Geva pun kesal bila mengingat kejadian hari itu. Bukan hanya kesal, tapi juga iba.

Bahkan Geva masih mengingat dengan jelas, seperti apa kondisi unit Arkan hari itu. Lantai yang dipenuhi genangan darah segar yang mengalir dari pelipis Arkan. Kondisi Jessie yang menyedihkan, kepanikan Sherly dan ... air mata Louis malam itu. Geva masih ingat semuanya dengan jelas dan mendetail.

"Kamu nggak perlu repot melakukan itu, Be. Arkan udah nggak ada untuk selamanya."

"Maksudmu? Meninggal?" Geva mengangguk. "Syukurlah! Semoga dia membusuk di Neraka."

"Seandainya kamu tau siapa yang mengirimnya pada kematian, Be ...," lirih Geva dalam hatinya.

Namun bibirnya mengulas senyum tipis dan kepalanya mengangguk setuju akan perkataan Berlian sebelumnya.

Pria itu setuju bila Arkan harus membusuk di Neraka. Karena apa yang telah dia perbuat pada Jessie tidaklah patut untuk diterima maupun diberi maaf.

Kemungkinan besarnya, kejadian itu akan selalu membekas dan menjadi trauma mendalam bagi wanita yang kini sudah menjadi istri dari teman sekaligus atasannya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang